TintaSiyasi.com -- Sebagai manusia, selayaknya kita punya sosok yang menjadi teladan dalam seluruh amal kehidupan di dunia. Sosok tersebut haruslah sosok manusia mulia dan terpilih, yang akan mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Manusia pilihan itu adalah Rasulullah Muhammad SAW, yang diutus oleh Sang Pencipta Allah SWT untuk menjadi penyampai risalah dan suri tauladan umat manusia. Semestinyalah kaum Muslim mencontoh Rasulullah SAW dalam beramal di seluruh bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, pendidikan, hukum, kesehatan maupun dalam bidang politik.
Politik ada kalanya dimaknai sebagai sesuatu yang buruk; politik itu kotor, licik dsb. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politik didefinisikan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; dan cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah), kebijaksanaan (https://www.kbbi.web.id/politik).
Politik dari Bahasa Arab berarti siyasah, sasa-yassusu-siyasatan: mengatur dan mengelola. Sementara dari Bahasa Yunani politika-yang berhubungan dengan negara dengan akar katanya polites-warga negara dan polis-negara kota. Adapun secara makna istilah, politik adalah mengatur dan mengelola urusan masyarakat, baik di dalam dan luar negeri, dengan hukum atau aturan tertentu. Ini sesuai dengan hadist riwayat Muslim yang artinya, “Dahulu Bani Isra’il dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia akan digantikan oleh nabi (lain). Namun sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku, dan sepeninggalku akan ada para khalifah lalu jumlah mereka akan banyak”. Kata tasûsu berasal dari sâsa-yasûsu-siyâsah. Menurut As-Suyuthi, Abdul Ghani dan Fakhr al-Hasan ad-Dahlawi dalam Syarh Sunan Ibn Mâjah, as-siyâsah scr Bahasa, maknanya pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan umat (majalah Al-Wa’ie Juni 2023).
Sangat disayangkan, tatkala fakta perjuangan politik umat Islam secara global saat ini baru menjadi objek politik dan bukan subjek. Walaupun menjadi mayoritas di dunia, tapi umat Islam bukan sebagai pelaku utama dalam aktivitas politik untuk meraih kekuasaan, namun hanya sebatas umat yang suaranya diinginkan. Setelah kekuasaan diraih, umat pun ditinggalkan. Islam politik saat ini juga masih sebatas simbol. Partai politik Islam kehilangan idealisme dan mendapat tekanan politik yang kuat. Politik Islam juga masih based on person, bukan based on system. Adanya jebakan hiruk-pikuk pesta demokrasi dan isu politisasi Perempuan menambah bukti bahwa perjuangan politik Islam saat ini belum memiliki kesadaran utuh terkait hakikat perubahan. Ketika ada gelaran Pemilu, umat hanya ikut-ikutan, terjebak pada hiruk-pikuk pesta. Apalagi dengan propaganda “satu suara Anda sangat menentukan”.
Lantas bagaimana seharusnya berpolitik itu? Tentu dengan mencontoh Rasulullah SAW dan berdasarkan pada iman, tauhid, akidah Islamiyah, dan sesuai dengan ketentuan syariah. Di dalam QS. Al-Ahzab:21 disebutkan, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Rasul memulai aktivitas politik saat berada di Mekah dan berlanjut di Madinah. Realitas Masyarakat Mekah jahiliyah saat itu menganut pemikiran, perasaan dan sistem penerapan yang sangat rendah. Untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan mulia Islam, Rasul melakukan dakwah pemikiran dan politik. Rasul mengajak istri beliau Khadijah, sahabat terdekat Abu Bakar, sepupu Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Lalu dari Abu Bakar masuklah Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Saád bin Abi Waqash, Ammar bin Yassir dll. Mereka dibina secara intensif dan kolektif, dikumpulkan di rmh Arqam bin Abi Arqam. Setelah dibina selama tiga tahun dan terbentuk kepribadian Islam, Rasulullah SAW diperintahkan oleh Allah agar berdakwah secara terbuka. Hal itu dilakukan setelah pemikiran dan pengaruh dakwah mulai dirasakan masyarakat Mekah. Tahapan dakwah terbuka dilakukan dengan berinteraksi di masyarakat. Rasul dan para Sahabat menyerang keyakinan kaum kafir terkait penyembahan berhala, masalah rezeki, jodoh, ajal, kematian dsb. Rasul juga menyerang berbagai interaksi yang dilakukan kaum kafir di tengah-tengah masyarakat jahiliyah, mulai dari kebiasaan mengubur hidup-hidup anak perempuan, curang, judi, mabuk, seks bebas dll. Selain itu, Rasul juga meminta perlindungan dakwah dan kekuasaan untuk menegakkan Negara yang akan menerapkan Syariat Islam. Rasul mengajak kabilah-kabilah di musim Haji agar mau menerima Islam. Namun, tak a ada yang menerima. Sampai akhirnya cahaya fajar kemenangan menyeruak dari Madinah, yang dulunya dikenal sebagai Yatsrib.
Rasul dan para Sahabat pun berhijrah dari Mekah ke Madinah; bukan untuk melarikan diri, tapi untuk menerapkan Islam secara kaffah. Pendirian negara Islam adalah metode baku penerapan Islam kaffah. Baiat Aqabah yang kedua dilakukan untuk memberikan perlindungan dan kekuasaan kepada Nabi sehingga bisa menerapkan Islam kaffah. Negara Islam di Madinah dibangun berdasarkan pemikiran yang diterima dan diyakini oleh rakyat, bukan pemikiran asing yang dipaksakan. Musháb bin Umair diutus untuk membina penduduk Yatsrib sebelum hijrah untuk memeluk Islam. Pada akhirnya, Islam mampu mengubah bangsa Arab menjadi bangsa yang maju dengan peradaban emasnya, memimpin dunia selama 14 abad, memerintah 2/3 belahan dunia di 3 benua.
Kerja politik para sahabat sepeninggal Rasul pun dilakukan dengan melanjutkan pengurusan urusan umat dalam satu kepemimpinan yaitu Khalifah, dalam bingkai Khilafah dan dengan metode bai’at serta uslub (cara) memilih Pemimpin berdasarkan aturan Islam.
Demikianlah aktivitas politik Rasulullah SAW dan para sahabat yang harus diteladani umat Islam saat ini. Politik harus berdasarkan Islam, bersifat ideologis dan diarahkan pada perubahan; tidak hanya perubahan Pemimpin tapi juga sistem yang baik, yang akan menerapkan aturan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Perubahan dengan metode, cara, maupun sarana yang tidak sesuai dengan Islam (demokrasi), tidak akan mengantarkan pada tercapainya tujuan (Islam). Justru dengan dakwah seperti yang dicontohkan Rasul, terbukti mampu merubah kondisi jahiliyah ke peradaban mulia. Wallahu a’lam bishshowaab.
Oleh: Noor Hidayah
Aktivis Muslimah
0 Comments