Tintasiyasi.com -- Potret buram sistem pendidikan saat ini kembali tersaji. Konflik sosial pelajar seperti tawuran marak lagi. Tahun ajaran baru, baru saja dimulai namun serentetan peristiwa tawuran pelajar terjadi di beberapa daerah. Sungguh miris, ada apa dengan sistem pendidikan negeri ini?
Sebanyak 69 pelajar dari dua sekolah berbeda di Tangerang diamankan Polresta setempat karena berencana tawuran pada hari pertama masuk sekolah (Berita Satu, 18/7/2023).
Pada hari yang sama, aksi tawuran antar pelajar terjadi di Purworejo, Jawa Tengah. Tawuran itu sempat viral di media sosial, dimana dua kelompok pelajar saling serang dan kejar-kejaran dengan membawa senjata tajam (Tribun Jogja, 18/7/2023). Di Tangerang, seorang pelajar terluka parah akibat terkena sabetan senjata tajam setelah terlibat tawuran (Tangerang News, 23/7/2023).
Berbagai peristiwa tawuran itu membuat masyarakat geram. Para pelajar yang seharusnya belajar di sekolah, menjadi sosok terdidik yang bermanfaat bagi masyarakat, justru berbuat onar. Berjiwa preman saling serang dengan senjata tajam hingga korban berjatuhan, bahkan nyawa pun melayang.
Tawuran pelajar masih terjadi dari masa ke masa. Mata rantai dendam yang tak pernah putus diajarkan oleh senior ke yuniornya menjadi tradisi yang turun menurun. Sejak generasi X hingga generasi Z tawuran tak kunjung padam.
Siapa yang Salah?
Tidak ada sebab tanpa akibat. Tawuran pelajar itu akibat dari sebab. Penyebabnya dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal dari individu pelajar itu sendiri. Faktor eksternal bisa berasal dari keluarga, lingkungan dan negara.
Masa muda dengan jiwa yang menyala-nyala, suka mencoba hal baru, ingin eksis, ikut-ikutan teman hingga akhirnya salah arah menjadi ciri bahwa mereka mengalami krisis identitas dan kontrol diri lemah. Mereka belum memahami hakikat diri dan tujuan hidupnya, sehingga bingung bagaimana mengisi masa mudanya dengan baik dan efektif.
Jiwa demikian terbentuk akibat polah asuh sejak dini yang jauh dari agama. Atau agama dikenalkan sekadar sebagai ibadah ritual bukan sebagai pedoman kehidupan (sekularisme). Akibatnya, para pelajar tidak memahami hakikat dirinya sebagai hamba Allah yang terikat dengan syariat. Alhasil, mereka menjadi pelajar yang labil, mudah terbawa arus dan gemar bermaksiat.
Dari aspek keluarga, tak dimungkiri saat ini banyak orang tua yang sibuk bekerja di luar rumah. Paradigma orang tua membahagiakan anak dengan kecukupan materi saja, menjadikan anak tumbuh menjadi generasi sekuler yang hanya berorientasi pada kepuasan materi tetapi miskin kecukupan batin.
Anak yang semestinya memiliki komunikasi baik dengan orang tuanya malah merasa asing berada di rumahnya sendiri. Semua problematikanya ditumpahkan pada teman dan lebih merasa nyaman dengan teman-teman se-gengnya.
Saat keluarga tak bisa lagi diandalkan sebagai madrasah bagi pembentukan kepribadian anak, lalu sekolah memperparahnya dengan sistem pendidikan yang sekularistik. Akidah islamiah tak lagi menjiwai sistem pendidikan yang diterapkan. Islam direduksi menjadi hanya untuk mengurusi peribadahan individu. Alhasil, pelajar mengalami split personality. Mereka muslim namun jauh dari Islamnya. Kepribadian mereka jauh dari kepribadian Islam.
Peran negara juga belum optimal dalam melindungi warganya dari berbagai macam bahaya. Bahaya pemikiran sekuler yang terus dibombardir melalui tontonan dan produk-produk asing. Sistem hukum yang diterapkan juga lemah karena tidak memberikan efek jera. Para pelajar tawuran hanya diberikan pembinaan lantas dilepaskan kembali. Jerat hukum berupa sanksi tak diberikan meski mereka berbuat kriminal bahkan menghilangkan nyawa, karena dianggap masih anak-anak di bawah umur. Wajar jika aksi tawuran terus berulang.
Jika ditanya siapa yang salah, maka kesalahan terjadi secara sistematik. Maka dibutuhkan solusi fundamental agar persoalan tawuran tak lagi berulang.
Solusi Fundamental
Untuk memberikan solusi fundamental pada masalah tawuran pelajar dibutuhkan pengkajian akar masalahnya. Akar masalahnya adalah penerapan sistem sekulerisme liberal. Sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan, melahirkan kebebasan bagi individu, lingkungan masyarakat dan negara.
Oleh karena itu, hal paling mendasar yang harus dilakukan adalah mengganti sistem sekuler-liberal ini dengan sistem yang terbaik yakni sistem Islam. Menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara sehingga seluruh aturan kehidupan tegak berdasarkan keimanan. Dengan demikian, setiap warga negara termasuk para pemuda pelajar akan terikat dengan pemahaman Islam. Tidak ada kebebasan berperilaku seenaknya sendiri apalagi merugikan orang lain.
Sistem pendidikan yang diterapkan pun dengan menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Membentuk kepribadian Islam bagi setiap pelajar dan memiliki life skill menjadi tujuannya. Dengan itu setiap pelajar senantiasa berpikir atas semua masalah menggunakan sudut pandang Islam. Menjadi sosok yang produktif dalam mengisi masa hidupnya untuk menjadi ilmuwan, ulama, serta pemimpin peradaban.
Sistem pendidikan Islam memadukan tiga komponen sentral dalam tercapainya tujuan pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga berperan membentuk kepribadian Islam anak sejak usia dini. Orang tua mendampingi dan menjadi teladan bagi tumbuh kembang anak-anaknya.
Sementara masyarakat dalam sistem Islam berperan sebagai kontrol sosial dengan penegakan amar ma’ruf nahi munkar. Apabila lingkungan masyarakat baik, maka berteman diantara anak-anak juga mengarah kepada kebaikan. Sedikit saja ada keonaran, maka masyarakat akan segera meluruskan atau ada sanksi sosial.
Negara memiliki peran yang paling sentral, yakni menjaga dan mencerdaskan anak bangsa. Dengan menerapkan peraturan Islam sebagai upaya preventif dan kuratif atas segala macam persoalan. Secara preventif segala macam hal yang memicu terjadinya kekerasan pelajar baik secara langsung maupun melalui tontonan dan produk negara harus melarang keras. Adapun jika terjadi aksi tawuran, maka negara harus memberikan sanksi tegas. Sanksi yang memberikan efek jera sehingga tawuran tidak terjadi berulang-ulang.
Penerapan solusi fundamental ini membutuhkan sinergi bersama antara individu masyarakat dan penguasa negara. Bersama-sama meyakini dan menerapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan. Insyaallah akan melahirkan generasi yang bertakwa, berkepribadian Islam, serta mampu menghasilkan peradaban mulia sebagaimana kejayaan Islam di masa kepemimpinan Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Oleh: Eni Imami, S.Si, S.Pd.
(Pendidik dan Pegiat Literasi)
0 Comments