TintaSiyasi.com - Bulan Agustus tahun ini menjadi ajang peringatan Indonesia merdeka yang ke-78. Meski merdeka itu sendiri dimaknai dengan berbagai makna. Merdeka, bebas merdeka semerdekanya. Merdeka, dipaksa merasa merdeka. Merdeka, pura-pura merdeka. Merdeka, sejenak dari rutinitas yang membuat diri tidak merdeka, dll. Seperti makna merdeka yang dirasakan emak-emak nun jauh dari ibu kota tapi ikut merasakan keras dan kejamnya penjajahan ibu kota akibat kebijakan yang diambil para wakil rakyat di ibu kota. Emak-emak yang ingin sekali merasakan merdeka walau hanya sehari dalam setahun, dan untuk itu harus rela membayar iuran kemerdekaan kepada para wakil rakyat dengan alasan untuk rakyat.
Adalah Mak Ecin, seorang janda yang hidup sebatang kara di pinggiran Jatigede. Beliau salah seorang yang terkena dampak Bendungan Jatigede. Dengan semangat 45 Mak Ecin mengikuti latihan tari umbul yang akan ditampilkan saat pesta kemerdekaan yang diadakan di desanya. Tak peduli lelahnya setelah seharian berkeliling menjual berbagai jenis lauk pauk dan sayur yang ia masak dini hari tadi. Padahal setelah berkeliling ia langsung belanja ke pasar untuk persiapan jualannya besok. Kembali ke rumah, kembali ke rutinitas untuk menyiapkan dagangannya besok. Kadang sampai larut malam. Begitulah aktivitasnya setiap hari. Hanya saja sekarang mau HUT RI, beliau sempatkan sedikit waktunya untuk latihan.
Lumayan bisa menghilangkan penat dan mendapat sedikit hiburan. Berbagai tingkah lucu kerap terjadi saat latihan yang dilakukan oleh emak-emak seusianya, bahkan ada yang lebih tua darinya. Itulah sekejap kemerdekaan yang ia rasakan. Tanpa tahu asal-muasal adanya tarian umbul, tanpa peduli apakah perbuatannya melanggar hukum syara atau tidak. Yang penting bisa tertawa gembira. Setelahnya? Ia kembali terjajah oleh beban hidup yang semakin berat. Memang, seharusnya di usia yang hampir mendekati usia kemerdekaan RI, Mak Ecin tinggal menikmati kemerdekaan dengan penuh ketenangan dan kekhusukan dalam beribadah. Bukan terus-menerus disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Tapi kalau tidak begitu, lalu kepada siapa ia harus meminta? Kepada suaminya yang sudah tenang di alam sana? Kepada anak-anaknya nun jauh di sana yang juga kehidupannya tidak jauh berbeda dengan keadaannya, yaitu sama-sama dipaksa untuk dapat memenuhi kebutuhan di tengah berbagai himpitan dan tekanan hidup yang serba sulit, harga kebutuhan pokok yang semakin merangkak naik, begitu juga biaya pendidikan dan kesehatan yang makin mencekik? Tidak, ia tidak bisa dan tidak pernah menyalahkan mereka. Karena secara kasat mata, beliau dan anak-anaknya adalah pekerja keras. Bahkan Mak Ecin pasrah ketika anak-anaknya harus jauh merantau demi memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya, dan sesekali tersisihkan sedikit untuk dirinya.Hanya saja upah yang didapat tidak sebanding dengan tenaga dan pengorbanan yang dikeluarkan.
Apakah harus meminta kepada negara? Lagi-lagi Mak Ecin hanya bisa pasrah tidak mendapat sekedar bansos sembako dengan alasan penghasilan Mak Ecin sebulan lebih dari batas kategori miskin, yaitu sebesar Rp 967.950 perkapita perbulan. Padahal saat ini harga-harga kebutuhan pokok naik. Uang sejuta hanya berderet nolnya saja seperti barisan bebek, namun jika dibelanjakan hanya dapat satu kresek. Belum untuk beli token listrik dan gas. Mak Ecin juga hanya melongo ketika dikatakan bahwa Ma Ecin harus ikut menanggung utang negara dengan membayar pajak, karena utang negara semakin membengkak, dan jika dibagi rata kepada seluruh rakyat Indonesia, tiap-tiap individu menanggung 28 juta.
Nasib demikian, bukan hanya menimpa Mak Ecin dan keluarga kecilnya. Ada banyak emak yang mengalami nasib serupa. Nyata, ini bukan kesalahan individu atau satu keluarga. Dan pasti akar masalahnya bukan "malas". Lelahnya hidup di sistem ini meniscayakan terseretnya waktu pada kegiatan yang melenakan. Akibat agama yang dijauhkan dari kehidupan menjauhkan pula manusia dari rahmat dan kasih sayang Allah. Prioritas hidup bukan berdasar pada hukum syara. Kewajiban terabaikan kalah dengan kemubahan bahkan kemaksiatan.
Sungguh kemerdekaan nyata sangatlah didamba, agar tawa tak hanya dirasa sesaat. Agar tidak ada lansia yang mengalami penjajahan di tengah riuh pesta kemerdekaan seperti Mak Ecin dan yang lainnya. Agar para pencari nafkah mampu menjalankan kewajibannya karena tersedianya lapangan pekerjaan dan mendapat upah yang layak.
Dan sungguh kemerdekaan seperti itu nyata akan dapat diraih dengan kerja nyata mengganti sistem saat ini dengan sistem yang terbaik. Sistem yang nyata pernah membebaskan dua per tiga dunia dari penjajahan dan kebodohan (jahiliyah). Sistem yang nyata mampu mengayomi rakyatnya dari usia nol tahun hingga lansia. Sistem yang memberikan kesejahteraan bukan dengan ukuran per kapita tapi berdasarkan per individu. Sistem yang memberikan upah sesuai tenaga dan keahlian, bukan UMR. Dialah sistem Islam. Siapa yang mau jadi pahlawannya?
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Comments