TintaSiyasi.com -- Para ibu rumah tangga resah dan bingung bagaimana mendapatkan elpiji 3kg di pasaran. Jika tersedia, harganya tinggi seperti di Mataram. Seperti yang terjadi di Pulau Sumbawa, harga satu tabung elpiji untuk masyarakat miskin sekitar 30.000 ribu (insidelombok.id, 3/8/2023). Lain lagi di Magetan Jawa Timur, ibu-ibu rumah tangga lebih memilih menggunakan kayu bakar karena langkanya elpiji melon tersebut (Detik.com, 21/07/2023).
Banyak kalangan yang mempertanyakan kenapa LPG 3 kg langkah di pasaran? Menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mencatat, penyebab kelangkaan LPG 3 kilogram adalah konsumsi masyarakat yang meningkat. Konsumsi Juli ini justru naik 2 persen karena libur panjang beberapa waktu lalu," ujarnya (CNN Indonesia, 27/07/2023). Alasan ini terbilang aneh karena pergantian pemakaian minyak tanah ke kompor gas di indonesia itu sudah bertahun tahun, tapi baru sekarang libur panjang menyebabkan kelangkaan sehingga kebutuhan gas meningkat. Libur panjang ini bukan pertama kali di negeri ini. Selama ini pasokan gas 3 kg aman-aman saja.
Di sisi lain, dengan kelangkaan ramai munculnya elpiji 3kg nonsubsidi bermerek Bright yang sama-sama produk dari pertamina. Harganya dibandrol Rp 56.000,- sangat jauh dengan harga subsidi yang hanya Rp 18.000,-. Seolah Pemerintah memberikan opsi lain jika elpiji melon langka dan mahal, maka masyarakat bisa memilih yg non subsidi yang sekarang jadi sama mahalnya. Daripada membeli yang murah tapi tidak ada barangnya, ada pun harga naik, lebih baik membeli yang non subsidi yang jelas tersedia dan lebih aman. Namun, sementara elpiji strawberi ini hanya dijual di Jabodetabek dan Surabaya.
Di lain pihak, ada permainan spekulan dan agen tercium sini. Bahkan potensi pedagang nakal juga meningkat mengingat langka dan mahalnya si melon. Sejumlah agen kedapatan ada yang menimbun pasokan, bahkan sampe mengoplos elpiji, yang tentunya ini membahayakan serta merugikan masyarakat.
Sementara di kalangan pemerintah sendiri, ada anjuran kuat agar masyarakat yang mampu seharusnya beralih ke elpiji non subsidi, karena elpiji 3 kg untuk rakyat miskin, sehingga subsisdi ini tepat sasaran. Maka Pasokan elpiji melon akan lebih aman. Cara seperti ini sebenarnya sudah biasa dilakukan oleh pemerintah. Ini pernah terjadi pada BBM. Pasokannya dibatasi, sehingga barangnya susah di dapat. Lalu masyarakat dipaksa membeli Pertalite.
Sebenarnya pernyataan yang mengatakan bahwa subsidi untuk LPG 3 kg yang membuat anggaran APBN membengkak, itu kurang tepat. Jebolnya APBN bukan karena subsidi tapi karena dananya di pakai untuk membangun intrastuktur. Bukankah Indonesia kaya akan sumber daya alamnya? Andaikan SDA yg di miliki itu di kelola negara sendiri dan tidak di serahkan aseng dan asing, tentunya rakyat tidak akan kesulitan untuk mendapatkan suber energi (LPG).
Jika kita mau menilik lebih dalam, langkanya LPG 3 kg saat ini sebenarnya adalah dampak dari penerapan sistem kapitalis yang di terapkan di negeri ini. Dalam sistem ini rakyat dianggap sebagai beban negara, maka sebaiknya subsidi itu dicabut agar rakyat lebih mandiri. Narasi seperti ini adalah dampak dari sistem kapitalis.
Padahal kelangkaan LPG 3 kg ini, akan mempengaruhi perekonomi rakyat. Harga LPG yang ada di pasaran harga menjadi naik melambung, karena sedikitnya barang yang tersedia. Hal ini justru menaikan seluruh harga barang yang berkaitan dengan sumber energi ini. Industri kecil makanan dan minuman akan terpukul, serta sebagian masyarakat yang biasa memakainya untuk kebutuhan rumah tangganya akan merogoh kocek leih dalam untuk bisa menjangkau barang tersebut. Maka biaya hidup juga makin tinggi seiring denga harga sembako yang sudah naik sebelumnya.
Sebanyak apapun sumber daya alam negeri ini jika masih menerapkan sistem kapitalis, pemerintah tidak akan mampu mensejatrakan rakyatnya. Karena pemerintah akan menghitung berapa untung dan ruginya ketika mengurusi urusan rakyat. Karena dalam sistem ini negara memposisikan dirinya sebagai pedagang atau bahkan distributor yang tujuan dari setiap transaksinya adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari konsumen, dalam hal ini adalah rakyat.
Ini jauh berbeda dalam sistem Islam, yang memandang kesejahteraan rakyatnya itu yang utama. Dalam sistem Islam pemimpin negara di bimbing oleh ke imanan dan dorongan ketaqwaan kepada Allah SWT. Maka penguasa pemerintahan akan memposisikan diri sebagai pelayan ummat yang mengurusi urusan rakyatnya, bukan justru berdagang kepada rakyatnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Umat Islam dipersatukan oleh tiga hal: air, api dan padang rumput.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Elpiji menurut hadist tersebut terasuk dalam kategori api, yang dibutuhkan seluruh masyarakat. Maka tidak selayaknya jika itu dikuasi oleh penguasa atau pengusaha sekalipun. Tidak boleh ada partai politik, penguasa dan bisnis yang menghalangi masyarakat untuk mendapatkan haknya. Dalam pengelolaan sumber energi tersebut negara dapat melakukan kontrolnya, tetapi keuntungan harus mengalir kembali kepada rakyat sebagai pemilik sumber daya alam. Tentunya dengan sistem pengelolaan atau sistem yang mendukung, yang langsung dan gratis untuk memudahkan masyarakat mendapatkan hak energi dengan harga yang terjangkau.
Industri energi ini tidak bisa, dikuasai oleh pihak swasta, asing atau aseng. Karena dapat membuka peluang ketergantungan, bahkan penjajahan. Selain itu, manajemen yang berbasis kapitalisme seringkali menimbulkan berbagai ketimpangan, seperti munculnya krisis lingkungan. Padahal, persoalan kedaulatan dan ketahanan energi serta kelestarian lingkungan merupakan hal yang penting bahkan wajib dalam Islam. Hal ini karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak, juga mempengaruhi kedaulatan negara dalam konstelasi politik internasional.
Pada hakekatnya kelangkaan dan kenaikan harga elpiji melon hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah yang muncul dalam negeri yang kapitlistik. Jika kita ingin menyelesaikannya, perlu solusi yang benar-benar tepat, yaitu penerapan aturan Islam kafah dalam kerangka negara Islam. (Wallahu alam)
Oleh: Kanti Rahayu
Aliansi Penulis Rindu Islam
0 Comments