Tintasiyasi.com -- Tahun ajaran baru telah di mulai, akan tetapi kericuhan terkait rancu dan karut marutnya proses PPDB tahun ajaran 2023-2024 cukup menoreh tinta merah memperjelas buruknya sistem pendidikan di Indonesia.
Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait sistem zonasi, alih-alih sebagai solusi untuk menghapus kastanisasi dalam pendidikan justru menjadi polemik baru dalam masyarakat sebab masyarakat merasa telah dikecewakan karena yang lahir justru kesulitan hingga kesukaran dalam menjangkau keinginan masyarakat terkait memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya.
Karut marut PPDB tahun ini cukup miris, karena masyarakat rela menempuh kecurangan dalam segala cara agar anaknya diterima di sekolah terdekat, sekolah favorit dan dengan biaya yang bisa dijangkau. Kecurangan terjadi mulai dari pemalsuan data, jalur pungli hingga memesan kursi serta memakai jabatan sebagai jaminan agar bisa masuk di sekolah yang diinginkan.
Lalu, dimana peran negara dalam mewujudkan pendidkan yang terbaik untuk generasi? Dimana wibawa pemerintah saat kecurangan terjadi hingga perangkat negara pun turut mencoreng kwalitas pemerintah terkait proses pelaksanaan PPDB?
Lalu, solusi apa yang bisa diterapkan oleh pemerintah agar laju proses pendidikan terselenggara dengan baik dan bijak hingga tidak membuat masyarakat seolah harus berjuang keras agar mendapatkan haknya untuk memberi pendidikan terbaik pada anak-anaknya yang juga merupakan generasi penerus bangsa?
Sebagaimana dilansir oleh media tempo.com, bahwa kecurangan terkait PPDB 2023 terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Karawang, Bogor, Bekasi, Pekanbaru dan Bengkulu. Di Karawang, Orang tua calon siswa mengeluarkan uang 3 juta hanya karena ingin mendapat kursi sehingga anaknya bisa masuk ke sekolah yang diinginkan; “Biaya atau tarifnya lumayan, istilahnya itu beli kursi,” ungkap salah satu orang tua calon siswa yang enggan di sebut namanya.
Selain itu, ada juga pungli (pungutan liar), sekolah membebankan biaya daftar ulang sebesar Rp. 800.000 akan tetapi yang harus di bayar adalah 1 juta dengan dalih penambahan biaya atribut sekolah dan ini berlaku untuk semua orang tua calon siswa. Di Bengkulu, Feriansyah (Kepala Bidang Litbang Pendidikan) mengatakan bahwa selama PPDB tidak hanya terdapat jalur zonasi, prestasi dan afirmasi saja akan tetapi ada juga jalur intervensi, intimidasi dan surat sakti diman kecurangan ini dilakukan oleh sejumlah guru (tempo.com/13/7/2023).
Selain kecurangan yang mengaitkan materi atau biaya masuk dan pungli, ada juga kecurangan yang dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan memanipulasi dan memalsukan data di Kartu Keluarga (KK). “Ada pula koordinatnya dekat akan tetapi ketika mendaftar alamatnya jauh gitu ya, jadi saya kira ini betul-betul ada permainan” ujar Bima Arya selaku Wali Kota Bogor, dimana orang tua calon siswa menulis alamat tidak sesuai dengan data di KK.
Wali kota Bekasi, Tri Andhianto juga mengungkapkan bahwa ada pemalsuan data di KK, dimana nama calon siswa masuk di data KK yang bukan real KK milik keluarga intinya, tapi di KK saudara atau orang lain bahkan ada satu nama calon siswa yang mempunyai banyak alamat rumah, setelah ditinjau ternyata alamat tersebut adalah alamat kontrakan atau kos-kosan kosong dan sebagian di tempati oleh para pekerja. Fakta ini terjadi karena orang tua calon siswa berusaha agar anaknya bisa masuk ke sekolah yang diinginkan (tempo.com/13/7/2023).
Sungguh miris perkembangan serta kwalitas pendidikan di negeri ini, wadah pendidikan seharusnya sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk membantu mencetak atau melahirkan generasi yang berkwalitas justru menjadi lembaga yang melenceng jauh dari fungsinya. Ditambah lagi, berbagai akal-akalan atau kecurangan yang dilakukan oleh para orang tua calon siswa, tengah menambah bobroknya kwalitas SDM Negeri ini.
Dampak Diterapkannya Sistem Zonasi
Menurut Furqan AMC, seorang DPP PSI mengatakan “penerapan sistem zonasi PPDB telah menimbulkan kisruh di berbagai daerah, maka wajib hukumnya sistem zonasi dievaluasi kembali secara total.” Selain itu, menurut Furqan sistem zonasi PPDB yang pada awalnya mempunyai tujuan baik kini seolah terasa seperti boomerag yang menyerang dan merusak proses sistem pendidikan itu sendiri.
Beberapa hal negatif yang ditimbulkan oleh sistem zonasi PPDB antara lain:
Pertama, adanya diskriminasi calon siswa, siswa yang rumahnya tidak terjangkau zonasi tidak akan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan sedangkan setiap lokasi sekolahan negeri di setiap wilayah kerap tidak merata.
Kedua, merusak moral anak dan mengancam kondisi psikologis anak, dimana anak atau calon siswa secara langsung mengetahui bahwa orang tuanya melakukan tindakan menghalalkan segala cara seperti memalsukan KK, memanipulasi identitas anak hingga membeli kursi agar dia bisa masuk ke sekolah negeri, hal ini akan menjadi sebab moral anak rusak menyaksikan tindakan yang melenceng dari norma hidup dan anak akan menanggung resiko terhadap stigma sosial serta mempenvaruhi konsep diri anak tersebut.
Ketiga, suburkan budaya korupsi, ditemukan adanya pungli, sistem titip atas nama jabatan akan menciptakan sikap permisif terhadap budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta akan semakijbsukar diberantas bahkan bisa mewabah ke segala bidang.
Keempat, perusak validitas data penduduk, terkait adanya pemalsuan identitas atau data di KK akan merusak data tertib dukcapil serta merusak validitas sensus penduduk.
Kelima, sistem zonasi PPDB akan membuat keluarga kurang mampu menjadi semakin sulit memperoleh sekolah, hal inj terkait dengan besaran kuota yang ada dalam sistem zonasi PPDB.
Dalam peraturan Kemendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang pelaksanaan PPDB bahwa daya tampung jalur zonasi untuk SD minimal 70%, SMP dan SMA 50% dari daya tampung sekolah. Sedangkan untuk afirmasi, paling sedikit 15% sementara untuk perpindahan orang tua/wali 5%. Dari presentase tersebut jika ada kuota tersisa maka kuota tersebut dialokasikan untuk siswa berprestasi dan keluarga tidak mampu (Tempo.com/20,7/2023).
Dari sekian paparan fakta diatas, menjadi jelas adanya bahwa pemerintah gagal dalam menyuguhkan pendidikan untuk generasi bangsa. Kecurangan hingga pemalsuan data yang tumpang tindih akan membawa dampak negatif pada anak.
Untuk menanggulangi masalah demikian dibutuhkan solusi tabg signifikan, akan tetapi beberapa waktu lalu Presiden jokowi selaku pemimpin pusat dan harusnya bisa memberi solusi yabg solutif tapi justru menuerahkan semua pada oknum dan lembaga terkait, beliau berkata “Masalah kecil-kecil banyak terjadi dilapangan, itu persoalan buoati, wali kota, gubernur jangan semuanya ke presiden” (tempo.com/20/7/2023).
Islam dan Pendidikan
Islam bukanlah sekedar agama yang mengatur tentang ibadah, lebih dari itu Islam adalah agama yang mengatur jalannya kehidupan bahkan memberikan segala macam solusi kehidupan dengan berbagai masalahnya, tak terkecuali terkait pendidikan.
Pendidikan dalam Islam didasarkan pada penanaman akidah dan tauhid, dimana dua komponen tersebut merupakan pondasi untuk setiap muslim dalam menjalani kehidupan, sehingga kita sebagai muslim tidak akan pernah sedikitpun memisahkan urusan dunia dengan agama. Sebagaimana yang terjadi saat ini, kehidupan umat yang diatur oleh sistem buatan manusia yakni memisahkan kehidupan dengan agama.
Sehingga, keseimbangan hidup manusia tidak tercipta, yang ada hanyalah masalah demi masalah tanpa ada solusi yang signifikan. Terkait masalah pendidikan, seperti fakta yang telah dijelaskan sebelumnya. Pendidikan sebagai wadah mencetak dan membentuk generai yang beriman dan berakhlak tidak terbentuk karena pengaruh sistem yang menciptakan carut marutnya proses pendidikan.
Dalam hal, menurut Islam bahwasanya negara mempunyai peran yang penting dalam mewujudkan kesejahteraan dalam memberikan pendidikan pada generasi sebagai penerus peradaban. Oleh karena itu, Islam menjelaskan tentang bagaimana peran negara dalam menanggulangi carut marutnya proses pendidikan, yaitu:
Pertama, menerapkan pendidikan berbasis akidah Islam, dimana sekolah harus mempunyai visi dan misi mmebentuk generasi yang berkepribadian Islam, bukan hanya sekedar pendidikan yang hanya mengunggulkan nilai kognitif (berdasarkan akademis) akan tetapi minus kepribadian yang mulia,
Kedua, negara harus memberi dan menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang menunjang berjalannya proses pendidikan (belajar – mengajar), baik dari segi tata fisik (gedung sekolah), sarana dan prasarana (kebutuhan dalam belajar-mengajar) misal alat-alat laboratorium untuk penunjang pelaksanaan penelitian, referensi yang mendukung terlaksananya kegiatan belajar (buku-buku, alat peraga dan sebagainya), teknologi yang mendukung kwalitas sekolah.
Ketiga, adanya SDM yang bermutu dan profesional, yakni adanya praktisi pendidikan yang mumpuni dalam dunia pendidikan dan mempunyai kesadaran terkait makna pendidikan, selain itu negara pun mempunyai tanggung jawab terkait jaminan kesejahteraan guru sehingga tidak ada sistem curang yang membuat praktisi pendidikan melakukan tindakan yang menyalahi aturan dalam sistem pendidikan.
Demikian sistem Islam mengatur jalannya proses penyelenggaraan pendidikan sehingga tercipta suatu proses yang dinamis dan seimbang (tidak berat sebelah) sebagaimana kita bisa mengetahui bahwa Islam pernah menciptakan kegelimangan pendidikan yang telah tercatat dalam sejarah.
Sehingga dengan demikian bisa dijamin bahwa Islam tidak akan menciptakan hal-hal yang bisa melahirkan tindakan negatif yang dapat mempengaruhi proses pendidikan, peruwujudan visi misi pendidikan hingga tidak akan ada generasi yang mengalami degradasi mental karena mengalami sulitnya mendapat kelayakan dalam dunia pendidikan. Wallahu'alam bishshawab.
Oleh: Suyatminingsih, S.Sos.i
(Aktivis Muslimah)
0 Comments