TintaSiyasi.com -- Pandemi COVID-19 yang disusul lonjakan inflasi tahun lalu mendorong hampir 68 juta penduduk Asia Pasifik ke jurang kemiskinan. Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan sekitar 152,2 juta penduduk di negara berkembang yang berada di Asia Pasifik hidup di bawah kemiskinan ekstrim. Jumlah tersebut meningkat 67,8 juta dibandingkan masa sebelum pandemi dan lonjakan inflasi. Kemiskinan ekstrim ini di tandai dengan pendapatan penduduk yang kurang dari US$2,15 per hari. (Detiknews, 25/8/23)
Kepala Ekonom ADB Albert Park menambahkan lonjakan inflasi telah membuat masyarakat miskin menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka kehilangan kemampuan untuk membeli kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan bakar karena harganya makin mahal. Kenaikan harga barang juga membuat banyak masyarakat miskin kehilangan kemampuan untuk menabung, membayar layanan kesehatan, atau berinvestasi di bidang pendidikan. Akibatnya mereka semakin kesulitan untuk keluar dari kemiskinan. (CNNIndonesia, 24/8/23)
Mirisnya, di tengah masyarakat yang semakin jatuh ke jurang kemiskinan, justru muncul banyak orang kaya baru dengan jumlah kekayaan yang fantastis. Hal tersebut bisa dilihat dari pertumbuhan Ultra High Net Worth Individual (UHNWI) yang terus bertambah setiap tahunnya. UHNWI adalah orang yang memiliki kekayaan bersih lebih dari 30 juta dollar AS atau ekuivalen Rp 447,1 miliar. Indonesia sendiri menduduki peringkat 3 dari 10 pasar dengan pertumbuhan UHNWI tercepat secara global bersama Singapura dan Malaysia. Hal ini terungkap dalam laporan The Wealth Report 2023 keluaran Knight Frank. Secara umum, menurut Head Of Research Knight Frank Asia Pasific Cristine Li, populasi UHNWI mengalami pertumbuhan substansial 51 % selama 2017-2022. (Kompas.com, 24/5/23).
Kesenjangan kekayaan tersebut terjadi akibat sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, masyarakat dibebaskan untuk mengatur ekonominya sendiri sesuai yang mereka inginkan. Artinya jika seseorang mempunyai modal lebih, akan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk meraup harta tanpa harus memperhatikan masyarakat lain yang tidak mampu.
Para kapitalis dengan bebas mengatur harga hingga membuat si miskin tidak mampu membeli. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan semakin sulit untuk keluar dari jurang kemiskinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem ekonomi dalam sistem kapitalisme gagal mewujudkan kesejahteraan umat. Dan malah membuat ketimpangan dan kesenjangan kekayaan yang cukup besar.
Sistem Ekonomi Dalam Islam
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, Islam mengatur ekonomi sesuai hukum syara’ yang berlandaskan aqidah Islam. Islam memiliki sistem ekonomi yang meniscayakan terwujudnya kesejahteraan individu per individu. Politik ekonomi Islam yang dijalankan oleh negara (Khilafah) menjamin terealisasinya pemenuhan segala kebutuhan primer setiap orang secara menyeluruh. Berikut kemungkinan dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup tertentu.
Khilafah akan memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya dengan memandang setiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Maka untuk menuntaskan kemiskinan, Islam mempunyai mekanisme yang tepat untuk menyelesaikannya.
Dalam Khilafah, setiap individu juga didorong untuk bekerja mencari nafkah bagi dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Allah Swt. berfirman, “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233).
Kaum muslim juga saling memperhatikan serta membantu saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Sebagaimana Rasul saw. mengingatkan, “Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu.” (HR Ath-Thabrani dan Al-Bazzar).
Konsep kepemilikan dalam Islam juga sudah diatur sedemikian rupa dalam Islam. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan individu tentu saja beban syariatnya di bebankan kepada individu yang memiliki.
Sedangkan kepemilikan umum tidak layak di miliki oleh perorangan seperti yang terjadi pada sistem saat ini. Kepemilikan umum adalah harta milik umum yang dikelola oleh negara dan tentu saja ada kewajiban bagi seluruh masyarakat untuk menjaga dan masyarakat mempunyai hak untuk menikmatinya, seperti air, jalan, gas, dan lain-lain. Yang pengelolaannya terpusat di baitul mal milik negara Islam.
Inilah Islam, bukan sekedar agama ritual saja. Namun mempunyai segudang aturan yang tidak hanya mengatur individu saja, tapi mengatur masyarakat bahkan seluruh negara. Dan umat Islam adalah umat yang wajib terikat dengan hukum syara’ yang telah di tetapkan oleh Islam. Karena hukum syaraknya berasal dari Allah yang menciptakan dan mengatur manusia. Wallahua’lam bishowab.
Oleh: Anisa Nur Sofiya
Aktivis Muslimah
0 Comments