TintaSiyasi.com - Produksi minyak sawit, Indonesia berhasil menduduki peringkat pertama sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Secara geografis, perkebunan sawit Indonesia tersebar di Pulau Kalimantan, Riau, Jambi, dan Aceh dengan produksi minyak mencapai 45,5 juta MT.
Kebanggaan tersendiri seharusnya dimiliki masyarakat, namun sayangnya itu jauh dari realita ketika minyak goreng selalu saja langka dan rakyat kesulitan mendapatkan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Baru-baru ini, polemik minyak goreng terjadi yakni pertikaian antara pengusaha minyak dan pemerintah. Karena utang rafaksi pemerintah yang belum dibayar kepada pengusaha minyak. Hingga pengusaha akan mengambil langkah untuk menyetop penjualan.
Asal mula munculnya selisih penjualan dan pembelian harga minyak goreng atau disebut rafaksi ini adalah karena adanya program pemerintah minyak satu harga, yang akhirnya pemerintah harus berutang kepada para pengusaha.
Utang Beberapa Pengusaha
Minyak goreng terancam langka lagi di pasaran. Pasalnya, utang pemerintah disebut keseluruhan mencapai 1.1 triliun rupiah terkait minyak goreng ini, belum dibayarkan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU mengungkapkan bahwa tagihan rafaksi mencapai 1.1 triliun rupiah.
Asosiasi Peritel Indonesia Aprindo mengungkap, bahwa pihak pengusaha hingga saat ini masih belum mendapatkan kejelasan tentang pembayaran tagihan utang minyak goreng ini. Jelas ini memberatkan pengusaha dan dampaknya minyak goreng bisa hilang dari pasar buntut hutang 1.1 triliun belum dibayar.
Tagihan minyak goreng 1.1 triliun rupiah ini terdiri dari produsen dan distributor serta pengusaha retail modern (radarseluma.com, 23/08/2023).
Terkait rafaksi pembayaran selisih minyak goreng yang masih belum dibayarkan hingga saat ini, peritel Superindo menagih Kementerian Perdagangan (Kemendag). Berdasarkan catatan Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Kemendag memiliki utang ke ritel sebesar Rp 344 miliar.
General Manager of Corporate Affairs & Sustainability Lion Super Indo Yuvlinda mengatakan, pihaknya sebagai salah satu anggota dari Aprindo, meminta komitmen Kementerian Perdagangan untuk bisa membayar utang tersebut (kontan.co.id, 24/08/2023).
Beberapa pengusaha dengan kekecewaannya tentunya akan sangat berimbas kepada masyarakat secara keseluruhan. Sebab kebutuhan minyak goreng hampir setiap hari mereka gunakan.
Utang Rafaksi Berbelit
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) buka suara terkait alasan belum dibayarkannya utang rafaksi minyak goreng pemerintah kepada produsen dan peritel.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan, pihaknya sebenarnya tidak memiliki permasalahan terkait dana untuk melunasi utang minyak goreng yang diklaim peritel mencapai Rp 344 miliar.
Namun demikian, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, BPDPKS baru bisa menyalurkan dana pembayaran selisih rafaksi itu setelah mendapatkan rekomendasi dan verifikasi dari Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Ditjen PDN) Kementerian Perdagangan.
Sesuai dengan regulasi yang ada, yang diatur pada waktu itu dengan Permendag Nomor 3 Tahun 2022 bahwa BPDPKS baru bisa membayarkan dana rafaksi itu setelah ada hasil verifikasi dari Ditjen PDN di Kemendag (Kompas.com, 24/08/2023).
Verifikasi tersebut tentunya masyarakat tak tahu menahu, sdh menjadi tanggungjawab pemerintah untuk menyelesaikan sesegera mungkin. Bahkan sebelumnya sudah diadakan pertemuan membicarakan utang rafaksi ini, dimana laporannya tidak hanya sampai pada unit kementerian namun sudah sampai ke kejaksaan agung. Namun berbelitnya tak kunjung ada titik terang terselesaikan.
Titik persoalan
Pengusaha ritel hingga mengancam menyetop penjualan minyak goreng dan menuntut pemerintah untuk membayar utang terlebih dahulu sebagai wujud protes. Utang pemerintah kepada pelaku usaha minyak goreng berawal dari program minyak satu harga diluncurkan pemerintah pada awal Januari 2022.
Polemik ini menunjukkan salah kelola penyediaan minyak goreng untuk rakyat yang memang merupakan kewajiban negara atas rakyat. Sehingga progam satu harga itu bukan hal kondisial namun seharusnya demikian adanya sejak awal tanpapun ada program itu.
Penunjukan ini sangatlah jelas tindak tanduk yang salah kelola yang fatal. Sangat nampak terlihat baik dalam hal tujuan penyediaan bahan pokok terkhusus minyak goreng ini, penyediaannya, hingga distribusinya.
Bukan hanya itu berkuasanya peran ritel (pengusaha) dalam. mengelola minyak goreng seakan memang dikhususkan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari rakyat serta kerjasama yang saling menguntungkan dengan pemerintah.
Kemandirian dan Pengelolaan
Titik persoalan ketika terselesaikan maka akan terselesaikan pulalah polemik minyak goreng ini, bahkan permasalahan lainnya. Untuk itu sangat diperlukan kemandirian dalam memproduksi kebutuhan pokok sehingga tidak ada campur tangan lainnya yang berujung investi berwujud utang ke negara.
Kemandirian ini dapat dilihat bagaimana negara dalam Islam mencontohkan. Islam sebagai sebuah ideologi yang sempurna, memiliki sistem ekonomi yang khas. Di dalamnya ada konsep bagaimana mengelola sumber daya alam milik umat.
Ketika negara memiliki kewajiban menyediakan bahan pokok kebutuhan rakyat termasuk minyak goreng dengan harga murah bahkan gratis. Peran pengusahapun tidak menjadi dominan. Milik umum berarti semua memiliki, peran negara dan penguasaha hanya mengelola dan mengambil hasil dari dana pengelolaan.
Sangat jelas Islam mengatur, dalam hal ini hutan, air, dan energi termasuk minyak adalah milik umum. Ini didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW:
‘‘Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah) (Imam Asy Syaukani, Nayl al Authar, halaman 1140).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Sri Rahmayani, S.Kom.
Aktivis Pemerhati Rakyat
0 Comments