TintaSiyasi.com -- Setidaknya ada 12 perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS) telah membuka Fakultas Kedokteran (FK) baru sejak awal Agustus 2023.
Menurut Nizam, Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek), hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan di daerah yang kekurangan dokter. (Bisnis.com, 07/08/2023)
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi, beberapa kali mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami krisis dokter. Di Jawa Barat kekurangan 37 ribu dokter; di Jawa tengah butuh tambahan dokter 24 ribu. Menurut Budi, jumlah dokter di Indonesia belum sesuai standar WHO yaitu harus ada 1 dokter untuk 1.000 penduduk (rasio 1:1.000).
Pada sejumlah referensi rasio 1:1.000 memang sering disebut, namun menurut anggota PB IDI, Iqbal Mochtar, standar tersebut tidak pernah dikeluarkan oleh WHO. Menurut Iqbal, WHO jelas tahu bahwa penetapan standar seperti ini tidak relevan karena setiap negara punya kapabilitas dan permasalahan pendidikan berbeda. Tidak layak menerapkan standar universal pada negara-negara dengan beda kondisi. Jadi, menurutnya penyebutan rasio 1:1000 tersebut hanya dalam konteks metrik perbandingan dan bukan sebagai standar.
Yang menarik, beberapa tahun lalu Kemenkes justru menggunakan metrik rasio dokter 1:2.500 dan bukan 1:1.000. Kalau rasio ini yang dipakai, tentu statemen kekurangan dokter menjadi sangat tidak tepat karena proporsi jumlah dokter dan penduduk Indonesia sudah memenuhi. Namun entah mengapa, hanya dalam waktu beberapa tahun saja Kemenkes merubah paradigma rasionya dari 1:2.500 menjadi 1:1.000. Tidak ada penjelasan gamblang.
Menurut Iqbal, Pemerintah mestinya membuka mata bahwa persoalan utama stok dokter di Indonesia bukanlah produksi yang kurang tapi distribusi yang tidak merata. Distribusi dokter di kota-desa dan antar-daerah sangat jomplang.
Di Jakarta misalnya, tersedia satu dokter setiap 680 penduduk; sementara di Sulawesi barat, satu dokter tersedia buat 10.417 penduduk. Hal yang sama terjadi untuk dokter spesialis. Ini sebenarnya masalah yang harus dituntaskan Kemenkes. Mereka harus bekerja keras membuat pemerataan distribusi. Bukan justru membuka fakultas-Fakultas Kedokteran baru yang akan memicu over-production.
Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Hasbullah Thabrany juga mengkhawatirkan hal yang sama. Menurut Hasbullah, pembukaan banyak Fakultas Kedokteran baru bukan solusi atas masalah yang lebih urgen, yakni distribusi dokter untuk pemerataan layanan kesehatan di seantero tanah air, baik terkait dokter umum, maupun dokter spesialis.
Hasbullah mengaku khawatir apabila jawaban pemerintah untuk isu krisis dokter hanya dengan memperbanyak lulusan kedokteran, efek negatifnya akan mulai terasa sekitar 10 tahun mendatang, di mana akan semakin banyak dokter muda yang tidak terserap pasar.
Motif Pendirian Fakultas Kedokteran
Seolah tidak menghirauan pendapat para pakar, pemerintah tetap ngotot membuka fakultas-fakultas kedokteran baru. Apa motif sebenarnya dibalik itu?
Patut diduga motif pendirian Fakultas Kedokteran baru ini hanyalah untuk kepentingan bisnis saja. Apalagi pada tahun 2014 Menteri Kesehatan saat itu, Nafsiah Mboi, juga mengakui bahwa ada sejumlah kampus yang ingin membuka Fakultas Kedokteran hanya semata-mata untuk kepentingan bisnis. (antaranews.com, 07/10/2014)
Walaupun pada akhirnya saat itu Nafsiah melarang pendirian Fakultas Kedokteran baru, namun dalam sistem kehidupan kapitalisme saat ini selalu saja ada para pengusaha atau pemilik modal yang melihat pendidikan dokter sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Betapa tidak, Fakultas Kedokteran selain dianggap sebagai fakultas bergengsi, juga dipercaya dapat memberikan kepastian kerja bagi para lulusannya. Maka banyak orang tua yang rela mengeluarkan uang hingga ratusan juta agar anaknya bisa menjadi dokter.
Sebagai profesi yang berhubungan dengan nyawa manusia, pembukaan Fakultas Kedokteran harus memenuhi berbagai standar dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjaga kualitas lulusannya. Apabila orientasinya hanya bisnis saja maka yang dirugikan adalah masyarakat sebagai pasien.
Islam Menjaga Kualitas Dokter
Hal itu berbeda dengan sistem kehidupan Islam. Paradigma Kesehatan menurut Islam adalah sebagai kebutuhan dasar yang sejajar dengan kebutuhan pangan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِرْبِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar itu. Nabi saw. bersabda:
اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).
Sistem Kesehatan dalam Islam tersusun dari 3 (tiga) unsur sistem. Pertama: peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua: sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan sarana prasarana kesehatan lainnya.Ketiga: SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148).
Pada masa pemerintahan Islam, untuk memenuhi SDM yang profesional dan handal di sekitar RS didirikan sekolah kedokteran. RS yang ada juga menjadi tempat menempa mahasiswa kedokteran, pertukaran ilmu kedokteran, serta pusat pengembangan dunia kesehatan dan kedokteran secara keseluruhan.
Dokter yang bertugas dan berpraktik adalah dokter yang telah memenuhi kualifikasi tertentu. Khalifah al-Muqtadi dari Bani Abbasiyah memerintahkan kepala dokter Istana, Sinan Ibn Tsabit, untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad. Dokter yang mendapat izin praktik di RS hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Khalifah juga memerintahkan Abu Osman Said Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah.
Demikianlah Islam menjaga kualitas SDM Kesehatan, karena bila tidak terpenuhi atau terjaminnya kesehatan dan pengobatan yang berkualitas akan mendatangkan dharar bagi masyarakat. Dharar (kemadaratan) wajib dihilangkan. Nabi bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارً
"Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri" (HR Malik).
Maka sudah saatnya kita kembali pada sistem kehidupan Islam yang mampu memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna dengan tenaga yang profesional kompeten dan amanah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
Oleh: Kamilah Azizah
Aktivis Muslimah
0 Comments