Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sungai Ciwidey, Cantik di Hulu Banjir di Hilir

TintaSiyasi.com -- Betul, sungai Ciwidey memang memiliki hulu sungai yang cantik. Sungai yang memiliki panjang sejauh kurang lebih 20 km dengan lebar 5 m tersebut mengalir melewati beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung, sehingga keberadaannya telah banyak memberi manfaat. Aliran airnya memberi kehidupan bagi lahan pertanian di beberapa desa yang dilewatinya. Lahan pertanian yang subur menjadi sumber mata pencaharian warga sejak dulu.

Sungai Ciwidey yang berhulu di Gunung Patuha Kecamatan Pasir Jambu, memiliki lingkungan ekologis yang sangat mendukung kecantikannya, dari mulai hutan yang rimbun, serta keberadaan Curug Tagog dan Gunung Masigit. Di hulu, air sungai Ciwidey jernih dan segar, makin menambah sempurna keindahannya. Namun mengapa keadaan hilir sungai justru sebaliknya, sampai menimbulkan banjir bandang akibat meluapnya sungai yang biasanya tenang ini? Mengapa hal ini bisa terjadi? Inilah fakta yang akan kita coba paparkan.

Hilir Sungai Ciwidey Korban Eksploitasi Kapitalisme 

Memang banjir telah terjadi beberapa waktu yang lalu, namun masih menyisakan PR yang nampaknya sampai hari ini belum tuntas. Sebagaimana berita yang dilansir dari Dejurnal.com (2/7/2023), Bandung, bahwa pada pertengahan bulan November 2022 lalu, Kampung Ciseah dan area pekuburan Kubang di Desa Pameuntasan, sebagian Kampung Muara, dan area persawahan blok Bojong Nangka di Desa Kopo Kecamatan Kutawaringin serta sebagian Kampung Lebak Muncang dan Kampung Murci di Desa Cilampeni, Kecamatan Katapang diterjang banjir akibat meluapnya sungai Ciwidey. 

Terjadinya peristiwa banjir yang melanda tiga kawasan tersebut diduga akibat tersendatnya aliran sungai Ciwidey dan menyempitnya kondisi sungai. Hal ini terjadi sebagai dampak dibangunnya pabrik dikawasan Lebak Muncang Desa Cilampeni Kecamatan Katapang dan kawasan Libai Desa Pameuntasan, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Jelas ada tata ruang wilayah yang dilanggar.

Bahkan ancaman banjir sebenarnya sudah terjadi sejak di hulu, sayangnya pihak terkait sebagai penanggung jawab tata kelola lingkungan, termasuk pemerintah daerah, seolah abai begitu saja.  Di hulu sejak beberapa tahun terakhir, seiring proyek pengembangan pariwisata dan pemukiman, telah banyak terjadi alih fungsi lahan secara masif, sehingga daya dukung lingkungan yang seharusnya diperuntukkan bagi ekosistem hutan dengan pohon-pohon berakar kuat, yang memiliki fungsi untuk menyimpan dan menahan cadangan air beralih menjadi tanaman hortikultur, palawija yang berakar pendek dan halus yang tentu tidak bisa banyak menyimpan air. Pada akhirnya air hujan meluncur deras ke hilir tak tertahan. Keadaan sungai di hilir pun mengalami pendangkalan dan penyempitan akibat dibangunnya pabrik. Kondisi sungai makin memprihatinkan, bila terjadi hujan besar akan meluap, akibat debit air yang tak mampu tertampung sungai yang menyempit. Sebaliknya saat musim kemarau terjadi kekeringan dan kesulitan air.

Semua fakta ini adalah gambaran eksploitasi alam serampangan akibat ulah sistem Kapitalisme sekuler, yang hanya berorientasi untung namun abai aspek ekologis. Tak mau rugi, sebab menganggap kepedulian lingkungan berbanding dengan cost (biaya). Dan yang pasti Kapitalisme sekuler akan melabrak nilai-nilai aturan mengelola alam sesuai syariat. Alam yang begitu indah mempesona sekaligus memberi banyak manfaat, akibat keserakahan eksploitasi Kapitalisme sekuler, akhirnya hancur, rusak!
Fakta rusaknya lingkungan sungai Ciwidey di hilir ditegaskan pula oleh Direktur Lembaga Pengawasan Pembangunan Daerah (LPPD) Jeje Hermawan, bahwa terjadinya musibah banjir yang menerjang 3 desa di 2 kecamatan itu, diduga terjadi akibat pendangkalan dan menyempitnya kondisi Sungai Ciwidey. “Baru pertama kali ini Lebak Muncang dan kawasan Kampung Muara kena banjir. Diduga sejak adanya pembangunan pabrik di kawasan Lebak Muncang dan Libai sehingga aliran sungai tersendat dan terjadi penyempitan,” ungkapnya. Terkuak pula fakta terjadinya  pemberian IMB tanpa memperhatikan AMDAL, (2/7/2023).

Pandangan Syariat Islam terhadap Tata Kelola Lingkungan

Tak ada solusi terbaik dari semua masalah kecuali hanya pada Islam. Jelas Kapitalisme telah gagal dalam mengelola alam, dan sudah seharusnya masyarakat negeri ini, khususnya di wilayah tatar Sunda (Jawa Barat) yang mayoritas muslim, baik aparat pemerintahannya maupun rakyatnya, kembali pada aturan I slam. Tentu dibalik musibah harus ada muhasabah, yaitu upaya melakukan introspeksi diri, koreksi diri. Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup umat Islam menjelaskan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah perbuatan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (pada jalan yang benar yaitu syariat Islam) (QS Ar Rum: 41).

Ayat di atas memaparkan dengan singkat namun begitu jelas, lugas, dan tegas bahwa Allah SWT menyampaikan makna yang begitu lengkap mencakup fakta, yaitu alam yang telah rusak, kemudian analisisnya bahwa semua adalah akibat perbuatan manusia dan terakhir sebagai solusi, yaitu agar (kita umat Islam) kembali pada syariat Islam. Sungai, daratan, laut, hutan dan lain sebagainya yang ada di alam merupakan kepemilikan umum, artinya milik seluruh rakyat, maka posisi negara/pemerintah hanya sebagai pelayan bagi rakyat. Dengan begitu, pemerintah wajib menjaga konservasi atau kelestarian lingkungannya bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. “Manusia berserikat pada 3 hal, yaitu api, air, dan padang gembala (HR Ibnu Majah), sehingga haram hukumnya bila dikuasai individu, swasta, apalagi asing. Pengabaian adalah sebuah dosa, dan akibatnya berupa kerusakan alam yang mungkin terjadi. Banjir sudah pasti akibat ulah manusia. 

Dalam tata kelola Islam secara kaaffah (menyeluruh), akan ada para khubaro (expert, ahli). Mereka yang akan menilai dan mengukur apakah layak misalnya, sebuah pabrik dibangun. Para ahli juga memastikan semua lancar. Dengan demikian, alam harus sesuai peruntukannya. Rakyat tidak boleh dirugikan. Sistem Islamlah yang mampu menjamin umat. Wallahu a’lam.

Oleh: Rengganis Santika A, STP
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments