TintaSiyasi.com - Tren pinjaman online (pinjol) makin marak, di tanah air. Sejalan memberikan kemudahan dan solusi untuk masyarakat dalam bertransaksi bisnis melalui digital. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja outstanding pembiayaan fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) pada Mei 2023 mencapai Rp 51,46 triliun. Tumbuh sebesar 28,11 persen year-on-year (YoY).
Dari jumlah tersebut, 38,39% merupakan pembiayaan kepada pelaku UMKM. Jumlah penyaluran kepada UMKM perseorangan dan badan usaha masing-masing sebesar Rp 15,63 triliun dan Rp 4,13 triliun.
Data outstanding pembiayaan tersebut adalah nilai pokok pinjaman dari masyarakat yang masih beredar melalui pinjaman online di mana jumlahnya masih bisa naik ataupun turun serta bukan angka pinjaman yang bermasalah.
Untuk angka pinjaman yang bermasalah, di industri fintech P2P lending atau pinjaman online disebut Tingkat Wanprestasi 90 hari atau TWP90. Angka ini merupakan ukuran tingkat wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban yang ada pada perjanjian pinjaman di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo (www.kabarbisnis.com, 10/07/2023).
Anggota Dewan Komisioner OJK yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen Friderica Widyasari Dewi, mengatakan bahwa individu yang cenderung menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan konsumtif gaya hidup, lebih mudah terjebak dalam kredit macet.
Ia menyebutkan kebutuhan gaya hidup itu antara lain pembelian gawai baru karena mengikuti tren, belanja pakaian terkini, rekreasi ke tempat-tempat terpopuler, hingga membeli tiket konser musik (katadata.co.id 14/07/2023).
Apa sebabnya?
Tren pinjol yang makin meningkat oleh individu masyarakat maupun UMKM, sejatinya disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya, kesempitan hidup yang dialami oleh sebagian masyarakat di negeri ini.
Pasalnya, lebih dari 26 juta rakyat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Pinjol pun menjadi jalan termudah yang dipilih untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Di antara mereka ada yang mencoba peruntungan di UMKM, yang tentu membutuhkan modal. Alhasil, pinjollah yang menjadi pilihannya.
Inilah masyarakat di bawah kendali sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme telah melegalkan liberalisasi ekonomi. Segala komoditas dikapitalisasi atau dibisniskan. Mulai dari pendidikan, perdagangan, hingga kesehatan. Akibatnya, rakyat kesulitan untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan pokoknya, karena harganya yang tak dapat dijangkau.
Selain itu, cara pandang sekuler kapitalisme yang diadopsi masyarakat, telah menjerat mereka ke dalam pinjol yang tak berkesudahan. Sistem sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan, telah mewarnai kehidupan masyarakat dengan gaya hidup hedonis dan materialis.
Kini, masyarakat memandang bahwa sumber kebahagiaan berasal dari materi dan kesenangan jasadiyah (fisik) semata. Padahal, mengejar kesenangan materi, juga membutuhkan cuan yang tidak sedikit. Gaya hidup materialis masyarakat, juga diperkuat oleh adanya gempuran media, yang secara terus-menerus membujuk masyarakat untuk hidup hedon.
Masyarakat yang jauh dari Islam tidak lagi mempedulikan apakah harta yang digunakan oleh mereka, diperoleh dari jalan yang halal atau justru bertentangan dengan aturan Allah, sebagaimana pinjol yang disertai riba.
Negara pun cenderung abai terhadap persoalan ketakwaan rakyatnya, termasuk kesejahteraannya. Padahal, hal itu merupakan peran negara kepada rakyatnya. Parahnya lagi, negara justru melegalkan praktik pinjol dengan perizinan lembaga pinjol.
Inilah negara yang berpayung di bawah sistem sekuler kapitalisme. Sistem yang berasaskan kebebasan ini, telah banyak menghasilkan kerusakan pada tatanan negara dan masyarakatnya.
Negara yang seharusnya menjamin kehidupan rakyatnya, malah sebaliknya. Negara yang seharusnya meriayah rakyat sesuai syariat-Nya, malah menghalalkan praktek riba.
Islam solusinya
Berbeda dengan kapitalisme. Dalam sistem Islam, negara memiliki peran untuk membersihkan masyarakat dari riba, dengan segala bentuknya. Sistem Islam, yakni khilafah mempunyai aturan yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga, sistem ini tidak akan membenarkan praktik riba berlangsung.
Sebenarnya, dengan penerapan syariat Islam secara kaffah di tengah-tengah masyarakat, praktik riba mampu dihapuskan. Sistem khilafah mampu menuntaskan problem pinjam-meminjam yang terjadi di masyarakat, dengan memenuhi kebutuhan pokok setiap individunya, melalui penerapan sistem ekonomi Islam, dengan mekanisme langsung maupun tidak langsung.
Dalam mekanisme tidak langsung, kepala keluarga yang bertugas menafkahi keluarganya, diberikan kemudahan dan fasilitas oleh negara untuk bekerja. Negara akan memberikan akses modal tanpa riba, pelatihan, hingga menyediakan lapangan kerja yang seluas-luasnya.
Lapangan kerja dalam sistem khilafah, akan terbuka lebar. Sebab, seluruh kepemilikan rakyat hanya boleh dikelola oleh negara. Misalnya, pengelolaan sumber daya alam dalam jumlah besar, akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar pula.
Jika kepala keluarga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, yang wajib menggantikannya adalah kerabatnya. Pendataan yang baik, disertai pemimpin yang amanah, meniscayakan adanya data kekerabatan yang mampu menunjang mekanisme ini.
Jika semua kerabatnya tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka yang wajib memberi nafkah adalah kas negara (Baitul Mal). Anggaran yang diambil negara untuk memenuhi kebutuhan individu yang tidak mampu, akan diambil dari pos zakat.
Adapun mekanisme langsung, negara akan memenuhi kebutuhan rakyatnya dari pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara Islam, akan menggratiskan seluruh pelayanan-pelayanan tersebut kepada masyarakat. Sehingga, harta yang digunakan oleh masyarakat, hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan pokoknya seperti sandang, pangan, dan papan, ditambah kebutuhan sekunder dan tersiernya.
Bagi masyarakat yang memerlukan kebutuhan keuangan, seperti modal, mahar, dan lain-lain, maka negara akan memberikan pinjaman dari Baitul Mal, tanpa riba. Karena Islam, mengharamkan riba secara mutlak. Negara Islam juga akan melarang lembaga pinjol dengan riba, atau aktivitas yang sejenisnya.
Di sisi lain, sistem pendidikan Islam juga akan mencetak masyarakatnya, memiliki akidah Islam yang kuat, dan berorientasi akhirat. Sehingga amal-amalnya, tidak hanya berputar pada masalah kesenangan duniawi saja, namun dihiasi dengan amal saleh.
Demikianlah, sistem Islam mewujudkan masyarakat tanpa riba. Sehingga, kehidupannya menjadi berkah, karena ridha Allah meliputi mereka. Inilah indahnya hidup di bawah naungan sistem Islam, khilafah.
Tak ada lagi masyarakat yang kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak ada lagi masyarakat yang akhirnya mengambil pinjol sebagai solusi terakhir. Karena hidupnya telah sejahtera, sebab diriayah oleh negara yang memegang syariat Allah. Oleh karena itu, mari tegakkan syariah dan khilafah. Allahu Akbar! []
Oleh: Nafasa Azka
Aktivis Muslimah
0 Comments