TintaSiyasi.com -- Akhir-akhir ini ada wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa yang tadinya 6 tahun kini menjadi 9 tahun masa jabatan.
Sebagaimana yang dilansir oleh republika.co.id (30/6/2023), pakar politik Universitas Air Langga (Unair) Ucu Martanto menyebut revisi undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa dapat berpengaruh pada sirkulasi dan hegemoni politik desa. Mengingat revisi yang dilakukan tersebut menyangkut perubahan periode masa jabatan kepala desa. Yang pada awal satu periode hanya enam tahun kemudian berubah menjadi sembilan tahun dan selanjutnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama.
Tak hanya menuntut perpanjangan masa jabatan, para kepala desa juga meminta pemerintah menaikan anggaran dana desa. Mereka meminta alokasi dana sebesar 10% terhadap APBN atau mencapai Rp. 300 triliun dari total APBN 2023 yang mencapai Rp 3.061.2 triliun. (katadata.co.id, 8/04/2023).
Kedua hal itu masih terus menuai polemik. Sampai ketika tahun 2014 UU desa akhirnya disahkan, kontroversi terus berlanjut. Hingga beberapa pihak mengajukan uji materi meski ujungnya ditolak oleh MK. Kini Menjelang 2024, polemik tersebut justru semakin memanas. Apalagi perdebatan soal dana dan masa jabatan kades.
Ditambah lagi suasana jelang pemilu seperti sekarang ini, jelas akan bernuansa politik, terkait fakta bahwa kades adalah tokoh ril di tengah masyarakat. Keberhasilan parpol akan menarik simpati mereka dengan tawaran yang menggiurkan, yang nyaris mewakili suara rakyatnya. Jika hal itu benar terjadi maka jelas berarti ada kepentingan yang saling menopang, yang keduanya berbau kekuasaan dan sama-sama menjanjikan yang lazim dikejar oleh para penganut kapitalis.
Adanya polemik yang sering terjadi, ini membuktikan bahwa ada paradigma, standar, dan praktik yang keliru pada pola pengurusan umat. Termasuk soal realitas kehidupan masyarakat desa yang selama ini masih kental dengan beragam persoalan, baik persoalan sosial, budaya, maupun ekonomi, termasuk perilaku korupsi. Seperti kasus korupsi sebelumnya yang ramai menjerat para kepala desa, yang mana dana desa dianggap sebagai lahan basa korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), di sepanjang tahun 2022 lalu, kasus korupsi pada sektor desa merupakan yang terbanyak ditangani oleh para aparat penegak hukum.
Karenanya, polemik mengenai perpanjangan masa jabatan dan meminta menaikan anggaran dana desa, ini dikhawatirkan akan membuka peluang lahan korupsi, bagi mereka yang masih haus pada jabatan dan kekuasaan. Demikianlah adanya hidup dalam sistem kapitalisme demokrasi seperti saat ini, selalu saja ada celah untuk melakukan korupsi. Bagaimana tidak, aturan dan UU bisa direvisi sesuai kepentingan, minim pengawasan dan belum ada penindakan hukum yang tegas khususnya bagi para pelaku korupsi. Sehingga tidak heran jika kemudian terjadi korupsi baik dari tingkat pusat maupun desa.
Bisa dilihat, dari pelaksanaan pemilihan kepala desa yang tidak jauh berbeda dengan pilkada, rentan dengan politik uang. Sudah bukan rahasia lagi dalam sistem kapitalisme demokrasi terpilihnya seseorang dalam pemilihan kebanyakan tidak dinilai dari kapasitas dan kualitas individunya, melainkan dilihat dari seberapa besar dan banyaknya pengorbanan yang dikeluarkan, juga citra yang dimunculkan pada saat kampanye, hal inilah yang kemudian membuka celah praktik politik uang.
Karena itu, dalam sistem kapitalisme untuk pemilihan kepala desa saja sudah membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit. Cara yang biasa, muda dan cepat dilakukan untuk mengembalikan dana kampanye tersebut adalah korupsi. Sehingga harapan untuk membasmi perilaku korupsi pada sistem kapitalisme adalah sesuatu yang mustahil.
Polemik seperti UU desa ini, pastinya tidak akan pernah terjadi dalam sistem Islam. Sebab sistem Islam tegak di atas landasan iman dan hukum syariah, sehingga kepemimpin Islam akan selalu fokus perhatiannya hanya semata meraih ridho Allah SWT. Bukan mengejar materi atau jabatan dan akan selalu berupaya memastikan individu rakyat hidup dalam keadaan aman dan sejahtera dengan diterapkannya aturan-aturan Islam.
Kemudian dalam pemerintahan Islam, setiap penguasa yang berada di bawah pemerintahan akan dipilih secara langsung oleh khalifah, seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kabupaten/kota) dan mudir (tingkat desa), tidak ada pemilihan kepala desa sebagaimana sistem pemilu demokrasi. Sehingga dipastikan tidak akan terjadi politik uang, korupsi dan segala jenis transaksional yang bathil.
Adapun cara Islam memberantas kasus korupsi agar tuntas yaitu dengan membangun integritas kepemimpinan yaitu ketakwaan individu disemua level pemerintahan, kemudian loyalitas kepemimpinan wajib bersandar pada Allah dan Rasul-Nya, bukan asas kepentingan kelompok atau yang lainnya. Mereka bertugas menjalankan amanah untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Sebagaimana nabi SAW bersabda:
“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang dipimpin.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr).
Hal lain yang perlu dilakukan untuk memberantas kasus korupsi adalah memfungsikan badan pengawas keuangan secara optimal. Karena salah satu faktor yang menyebabkan maraknya korupsi yaitu minimnya pengawasan dari negara. Dalam sistem Islam, terdapat badan pengawas atau pemeriksa keuangan yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat negara aturan dan perudang-undangan yang berlaku didasarkan pada hukum Islam sehingga tidak ada celah untuk membuat, merancang atau jual beli hukum karena bersifat mutlak dan baku.
Terakhir, menegakkan sistem sanksi yang mampu memberikan efek jera dan pelajaran bagi mereka yang memiliki niat untuk korupsi atau melakukan tindakan kriminal lainnya. Hukumannya tergantung wewenang khalifah, yaitu takzir dan memberi sanksi sesuai kadar kejahatannya. Bisa penjara, pengasingan atau hukuman mati.
Hanya dengan penerapan hukum Islam secara kaffah (menyeluruh) berbagai polemik mengenai hukum, kasus korupsi dan sebagainya akan terselesaikan dan tidak berlarur-larut. Khususnya untuk membabat habis para pelaku korupsi, haruslah mencabut akar masalahnya yaitu mengganti sistem buatan manusia menjadi sistem Ilahi yakni sistem Islam yang pasti mampu manjadi satu-satunya solusi tanpa menimbulkan masalah lain untuk mengatasi seluruh persoalan umat. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Wa Ode Asham, S.Pd.
Relawan Opini Andoolo Konawe Selatan
0 Comments