TintaSiyasi.com -- Kapitalisme dan sekularisme, seringkali bersembunyi di balik kedok penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Pengagungan HAM bisa dikatakan muncul pertama kali di belahan Eropa dan Amerika. Pada dasarnya, mencuatnya istilah HAM hanyalah pengaburan dari prinsip individualisme dan liberalisme, yang intinya setiap individu boleh berbuat apapun. Setiap individu tidak dikenakan larangan dalam berbuat apapun dalam urusan mereka. Bahkan agama dan negara sekalipun tidak diperkenankan melanggar hak asasi setiap orang.
Namun kenyataannya, prinsip HAM yang selama ini diagungkan, ternyata tidak mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi manusia. Penerapannya sangat amburadul dan tumpang tindih. Diskriminasi terhadap etnis, ras, dan agama makin subur. Para pengusung HAM, justru sering melakukan tindakan diskriminatif tersebut. Sasaran utamanya, melulu adalah kulit hitam dan agama Islam.
Kasus kriminal dan penistaan berkedok kebebasan berekpresi marak di seluruh belahan dunia. Salah satu yang paling mencederai dan melukai umat Muslim adalah pembakaran Al-Qur'an di Swedia pada akhir Juni 2023 lalu. Berlindung diatas slogan kebebasan berekspresi, Insiden pembakaran Al Qur'an terjadi di luar masjid Stockholm, Swedia pada Rabu (28/6/2023). Aksi ini bertepatan dengan dimulainya hari raya Idul Adha di negara tersebut. Ratusan orang menyaksikan aksi pria menginjak-injak Al-Qur'an, memasukkan potongan daging asap, dan membakar halaman sebelum membantingnya. Mirisnya, aksi ini terjadi setelah pengadilan Swedia membatalkan larangan pembakaran Al-Qur'an. Dengan kata lain, pemerintah Swedia memberikan lampu hijau untuk menistakan agama Islam.
Menanggapi hal ini, PBB yang katanya pilar penegakan HAM, tidak mampu berbuat apa-apa. Dalam rapat darurat PBB mengenai pembakaran Al-Qur'an sepekan yang lalu, malah terjadi debat pendapat. Perdebatan tersebut menyoroti perpecahan di Dewan Hak Asasi Manusia PBB antara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan anggota Barat yang prihatin tentang implikasi mosi kecaman pembakaran Al Qur'an terhadap kebebasan berbicara serta tantangan yang ditimbulkan terhadap perlindungan hak asasi manusia.
Padahal sudah sangat jelas aksi pembakaran Al-Qur'an ini merupakan sebuah pelanggaran beradasarkan akal sehat siapapun. Sebagaimana pendapat salah satu menteri luar negeri Pakistan, "Kita harus melihat ini dengan jelas apa adanya, hasutan untuk kebencian agama, diskriminasi, dan upaya untuk memprovokasi kekerasan," kata Bilawal Bhutto Zardari (cnnIndonesia.com, 12/07/2023).
Kasus lain, berkaitan dengan rasisme, seorang remaja kulit hitam Prancis berusia 17 tahun ditembak mati oleh seorang anggota polisi. Awalnya, dua orang polisi menghentikan remaja laki-laki itu karena melanggar aturan lalu lintas. Salah satu polisi tampak menodongkan senjatanya ke pengemudi melalui jendela dan menembak dari jarak dekat yang mengenai lengan kiri dan dada korban. Remaja itupun tewas di tempat.
Imbas dari peristiwa ini tak main-main, kerusuhan besar terjadi di Prancis selama kurang lebih empat hari. Gelombang protes terus meningkat dari hari ke hari hingga berujung perusakan, penjarahan, bahkan penembakan. Hingga puncaknya pemerintah Prancis menangkap lebih dari seribu pendemo. Inilah gambaran ketidakpuasan masyarakat, bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia terhadap paradoks penegakan HAM. Alih-alih sebagai solusi, HAM justru menjadi sumber kekacauan.
Melihat fakta-fakta ini, harus disadari bahwa menegakkan kebebasan seseorang sebebas-bebasnya adalah sesuatu yang mustahil. HAM sebenarnya adalah salah satu bentuk dari langkah globalisasi untuk mendominasi ekonomi dunia. Kapitalisme, yang dikendalikan para pemilik modal besar hanya bisa subur dalam sistem sekularisme dan liberalisme. Hanya dalam sistem inilah, setiap manusia bebas meraup kekayaan dengan cara apapun.
Hak asasi manusia tidak mungkin bisa diinterpretasikan seratus persen semaunya, sebab pasti akan berbenturan dengan hak asasi manusia lainnya. Manusia sebagai makhluk sosial harus berinteraksi dengan manusia lain untuk membentuk sebuah masyarakat. Otomatis, aturan pun harus dibuat demi kelangsungan masyarakat tersebut. Masalahnya, aturan yang diterapkan sangat subjektif, tergantung dari segelintir orang yang diberi hak membuat aturan. Pastilah, aturan-aturan akan dibuat sedemikian rupa sehingga menguntungkan pembuatnya. Di samping itu, manusia punya keterbatasan akal dan pemikiran sehingga sering kali aturan yang dibuatnya menimbulkan pertentangan dan perselisihan. Inilah yang terjadi saat ini.
Lalu bagaimana seharusnya? Seharusnya, aturan yang berlaku ditengah masyarakat adalah aturan yang langsung berasal dari sang pencipta, sebagaimana Islam telah memiliki aturan hidup lengkap dan sempurna yang tertuang dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hukum Islam telah terbukti mampu membawa peradaban manusia kepada kesejahteraan dan kejayaan selama diterapkan sejak jaman Rasulullah SAW hingga akhir Kekhilafahan Turki Utsmani kurang lebih selama 1300 tahun. Aturan yang berasal dari Allah SWT tidak akan memihak satu golongan tertentu. Secara praktis, Islam adil tidak hanya bagi umat Islam saja, tapi juga orang-orang non muslim. Tidak hanya kulit putih saja, namun semua warna kulit.
Islam memandang semua manusia setara. Derajat mereka tidak ditentukan oleh ras, warna kulit atau kekayaan, melainkan ditentukan oleh ketaqwaannya kepada Allah SWT. Buktinya, para sahabat yang terkenal mulia sebagai pejuang Islam yang dicintai Allah berasal dari berbagai ras dan warna kulit. Bahkan, Bilal bin Rabah yang merupakan budak kulit hitam adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang dimuliakan dalam sejarah Islam sebab keimanan dan pengorbanan yang telah ia lakukan. Islam tidak mendiskriminasi. Islam, jika diterapkan akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Bukan hanya rahmat bagi umat muslim, atau orang Arab, atau kulit putih saja, tapi rahmat bagi seluruh semesta alam. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Dinda Kusuma W.T.
Aktivis Muslimah
0 Comments