TintaSiyasi.com -- Beberapa saat yang lalu pada Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua pada UU nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menyepakati menyepakati adanya kenaikan dana desa sebesar 20 persen dari dana transfer daerah (antaranews.com, 5/7/2023). Selain itu Baleg juga mengusulkan perpanjangan masa jabatan kepala desa. Yaitu dari 6 tahun untuk 3 periode menjadi 9 tahun untuk 2 periode. Usulan ini disepakati oleh mayoritas fraksi sebelum nantinya akan ada pembahasan dengan pemerintah (detik.com, 6/7/2023).
Terkait usulan DPR ini sejumlah pihak menyesalkan keputusan tersebut. Apalagi hal tersebut diusulkan pada saat ini. Yaitu ketika marak pemberitaan tentang adanya korupsi dana desa. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman mengungkapkan bahwa selama ini pengawasan pengelolaan dana desa masih lemah. Pengawasan ini seharusnya dilakukan oleh inspektorat setempat dan masyarakat. Namun dengan lemahnya pengawasan ini Herman menilai bahwa hal tersebut akan membuka celah bagi penyimpangan pengelolaan dana desa.
Hal senada juga disampaikan oleh Bambang Soesatyo Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selama ini ratusan trilliun rupiah dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah belum diimbangi dengan pengawasan dalam penggunaannya. Penyelewengan dana desa ini telah terjadi di beberapa tempat. Mengutip dari data Indonesia Corruption Watch (ICW), Bambang menyebutkan bahwa sejak tahun 2015 -2021 telah terjadi 592 kasus korupsi dana desa dan 729 orang telah menjadi tersangka. Akibatnya negara mengalami kerugian hingga sebesar Rp 433,8 miliar (kompas.com, 12/7/2023).
Dengan adanya realitas ini, maka sudah selayaknya bagi kita untuk melakukan evaluasi. Apa sebenarnya yang terjadi? Jika kita melihat apa yang diusulkan oleh baleg DPR yaitu perpanjangan masa jabatan dan kenaikan dana desa akan menjadi polemik di negeri ini. Pasalnya sebelumnya dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah justru dikorupsi oleh pejabat desa. Apalagi dengan adanya usulan perpanjangan masa jabatan maka akan riskan untuk adanya penyalahgunaan jabatan dan beresiko terjadinya korupsi.
Inilah resiko yang akan terjadi di sistem demokrasi kapitalisme saat ini. Sistem ini telah memberikan celah untuk disalahgunakan. Pasalnya dalam pembuatan kebijakan yang berwenang adalah segelintir orang yang mengatasnamakan rakyat. Hal ini tentu akan memungkinkan untuk dibuatnya aturan sesuai dengan kepentingan dari orang yang membuat. Ditambah lagi dengan tidak adanya sistem sanksi yang tegas. Hal ini membuka peluang untuk terjadinya korupsi di berbagai lini penguasa.
Apalagi dengan adanya pemilihan umum di sistem demokrasi, sudah menjadi rahasia umum bahwa yang menang dalam pemilihan umum kebanyakan adalah orang yang didukung dengan ‘uang’. Hal ini disebabkan dalam upaya mendulang suara rakyat berbagai cara promosi dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dengan banner, pamflet dan berbagai kampanye lainnya yang tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Selain itu juga di sistem kapitalisme saat ini kebanyakan pihak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara termasuk dengan politik uang. Dari sini tampak bahwa dana yang dibutuhkan sangat besar dab hal tersebut tidak bisa mencukupi jika hanya dengan gaji mereka saja. Sehingga ketika menjadi pejabat mereka berusaha untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan. Salah satunya dengan korupsi.
Ini tentunya berbeda dengan Islam. Islam memiliki seperangkat aturan yang lengkap dalam kehidupan. Islam menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai landasan bagi seseorang dalam berbuat. Begitupun bagi para penguasa. Maka dalam setiap aktivitas dan kebijakan yang ditetapkannya senantiasa dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Bagi seorang kepala negara (khalifah) hanya Islamlah yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Begitu pun dalam pengelolaan keuangan. Adalah tanggung jawab seorang khalifah dalam mengatur urusan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda
“Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Dalam masalah keuangan Islam menetapkan pengurusannya dilakukan terpusat kepada khalifah. Hal ini dapat mengurangi peluang adanya penyelewengan dalam masalah finansial. Selain itu ada proses audit terhadap kekayaan pejabat sebelum dan sesudah dia menduduki jabatannya. Ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada masa kepemimpinannya. Pengawasa ini dilakukan oleh Badan Pengawasan atau Pemeriksa Keuangan, Pengawasan juga dilakukan pada saat dia menjabat. Maka akan dicatat dan dihitung kekayaan dan penambahannya. Jika ternyata ada penambahan yang tidak wajar maka akan dilakukan verifikasi apakah dana tersebut didapatkan secara syar’i atau ada kecurangan di dalamnya. Jika terbukti tejadi kecurangan maka hartanjya akan disita dan pejabatnya akan dihukum. Hukumannya akan ditetapkan secara tegas kepada siapa saja termasuk pada para pejabat. Hukuman bagi koruptor adalah sanksi talzir yang nanti akan ditetapkan oleh khalifah.
Di sisi lain, khalifah akan memberikan gaji yang cukup bagi pejabatnya. Sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu pemerintahan Islam akan menjamin pemenuhan hidup bagi rakyatnya dengan berbagai kebijakannya. Dengan biaya hidup yang murah sehingga semua rakyat bisa mencukupi kebutuhan pokonya. Adapun kebutuhan komunalnya seperti pendidikan dan kesehatan diberikan secara gratis oleh negara. Dengan pelaksanaan Islam secara kaffah dan terintegral dalam segala aspek kehidupan ini akan mampu mencegah seseorang untuk melakukan tindakan kriminal termasuk korupsi. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Desi Maulia, S.K.M.
(Aktivis Muslimah)
0 Comments