TintaSiyasi.com -- Dikutip dari cnbcindonesia.com-, ratusan kepala desa melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Parlemen Senayan Selasa (17/01/2023) tuntut perpanjang masa jabatan. Mereka meminta agar Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 direvisi, sehingga masa jabatan kepala desa yang semula enam tahun bisa menjadi sembilan tahun.
Tidak hanya itu saja, alih-alih kepala desa menuntut terkait kemaslahatan umat, mereka justru juga menuntut agar pemerintah menaikkan anggaran dana desa dengan alokasi dana desa sebesar 10% terhadap APBN atau mencapai Rp. 300 triliun dari total APBN 2023 yang mencapai Rp. 3.061,2 triliun (katadata, 08-04-2023).
Menyoal perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun, seorang pakar politik Universitas Airlangga (Unair), menyebutkan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dapat mempengaruhi sirkulasi dan hegemoni politik desa. Ia juga mengingatkan adanya potensi terbentuknya politik dinasti akibat dilakukannya perpanjangan jabatan kepala desa (rejogja.republika, 01-07-2023). Dari fakta tersebut, maka seakan hal ini menegaskan rumor bahwa jabatan kepala desa menjadi sumber cuan.
Adapun tuntutan penambahan anggaran dana desa menjadi 10%, justru membuat seorang Kepala Desa makin menjadi-jadi, hal ini bukan tanpa sebab seorang Kepala Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten menjadi tersangka korupsi dana desa dengan total kerugian negara mencapai Rp988 juta.
Akiani yang menjabat periode 2015-2021 menghamburkan dana desa untuk kebutuhan pribadinya. Seperti pesta di tempat hiburan malam hingga poligami dengan 4 perempuan (Tirto, 30-06-2023).
Dana desa yang dikorupsi tersebut tentu saja dipergunakan untuk berfoya-foya, padahal dana desa tersebut diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur Desa Lontar.
Maka jelaslah bahwa sistem domokrasi melanggengkan oligarki dan membuka kesempatan yang begitu besar untuk terjadinya korupsi secara sistemis dan masif. Sistem demokrasi berdiri tegak di atas landasan kapitalisme dan sekulerisme sehingga melahirkan para pejabat yang miskin akan visi demi kemaslahatan umat serta membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan dirinya.
Mereka juga tidak membawa agama dalam berpolitik, maka tidak heran jika korupsi dengan berbagai jenis tumbuh subur bahkan terpelihara dengan sangat
sistematis. Sehingga tingkat kepala desa saja gagal mengurusi umat akibat dunia menjadi prioritas penting bagi mereka dan menyebabkan hilangnya rasa empati dan nurani mereka terhadap umat yang seharusnya mereka urusi dengan penuh tanggung jawab.
Korupsi dana desa yang dilakukan oleh para kepala desa sebenarnya tidak jauh-jauh dari adanya politik uang, mereka akan berusaha menunjukkan citra yang baik di depan masyarakat tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas mereka. Dalam sistem demokrasi ini, tentu politik uang memiliki celah yang besar yakni dengan cara “membeli” suara masyarakat dengan memberikan sembako ataupun amplop uang.
Maka jika pemilihan yang dilakukan mengikuti sistem demokrasi, tentu cuan yang dikeluarkan tidaklah sedikit untuk melakukan kampanye dan salah satu cara mengembalikannya dengan melakukan korupsi. Belum lagi dana desa yang ada tidak tepat sasaran dan diperuntukkan kepada hal-hal yang sama sekali tidak ada kemaslahatan bagi masyarakat.
Maka dapat disimpulkan bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa dan penambahan anggaran dana desa menjadi ladang besar untuk dilakukan korupsi secara besar-besaran. Lalu bagaimana solusi dan pandangan Islam mengenai hal ini?
Tentu saja Islam dengan sistemnya yang paripurna akan menghasilkan para pemimpin yang peduli terhadap umat karena motivasi ketika menjabat adalah semata-mata mendapatkan ridha Allah SWT. Maka jalan satu-satunya adalah mengubah sistem demokrasi ini menjadi sistem Islam melalui sistem pemerintahan Khilafah. Dalam Khilafah, setiap penguasa yang dibawah komando Khalifah akan dipilih secara langsung oleh Khalifah dan tidak ada praktik pemilihan seperti yang dilakukan dalam sistem demokrasi.
Terkait kasus korupsi, tentu Islam memiliki cara dalam memberantas korupsi hingga tuntas;
Pertama, Islam akan membangun integritas kepemimpinan di semua level pemerintahan, yaitu ketakwaan pada setiap individu.
Kedua, memfungsikan Badan Pengawas Keuangan (BPK) secara optimal. Dalam sistem Khilafah, Badan Pengawas Keuangan ini akan mengawasi kekayaan para pejabat negara dan juga memeriksanya.
Ketiga, menegakkan sanksi yang tegas yang memberikan efek jera dan pelajaran bagi mereka yang memiliki keinginan untuk melakukan korupsi. Hukumannya tergantung kepada Khalifah, yakni berupa hukuman ta’zir yang sanksinya tergantung pada kadar kejahatan yang dilakukan seperti penjara, pengasingan bahkan hukuman mati.
Demikianlah Islam mengurai permasalahan korupsi sehingga tidak marak seperti saat ini.[]
Oleh: Nur Amalya
(Aktivis Muslimah)
0 Comments