TintaSiyasi.com --
KPK saat ini tengah menjadi sorotan karena praktik pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan).
Mahfud MD Menkopolhukam, mengatakan emuan pungli di rutan KPK mencapai Rp 4 miliar terus diproses secara hukum. Ia mengungkap pihak-pihak yang terlibat pun siap dipidana (Kompas, 9/5/2023).
Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean menyebut, temuan itu didasari atas inisiatif penyelidikan yang dilakukan oleh Dewas (Tirto.id, 24/6/2023).
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri mengatakan, pihaknya menerima beberapa aduan dari masyarakat mengenai sejumlah modus korupsi di lapas.
Modus itu antara lain, dugaan pungutan liar, suap-menyuap, penyalahgunaan wewenang hingga pengadaan barang dan jasa. Sangat miris sekali negeri ini, KPK yang seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi, Namun fakta di lapangan sebaliknya. Hal ini membuat hilangnya kepercayaan masyarakat kepada KPK.
Apalagi dengan sistem saat ini yang sudah bobrok, yang mana tolak ukurnya hanya materi semata tidak peduli apakah itu melanggar dari hukum Allah, yang terpenting ada manfaat yang di dapatnya. Sehingga perilaku korupsi ini akan terus berlanjut karena adanya faktor yang saling ketergantungan yang pertama individu yang tidak berintegritas, dan sistem yang buruk.
Ditambah lagi sistem politik di negeri ini sangat rawan terhadap tindak kejahatan korupsi seperti yang kita ketahui bahwa demokrasi adalah politik berbiaya tinggi, untuk menjadi pejabat negeri mereka harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Maka tak heran ketika mereka telah berhasil mendapat jabatan tersebut mereka akan lupa dengan janji manisnya mereka tapi mereka malah sibuk dengan urusan bagaimana caranya agar modalnya bisa kembali.
Ini merupakan surga bagi para koruptor untuk memperkaya diri masing-masing, mereka seakan-akan tak puas atas kekuasaan, harta yang mereka dapat. sehingga tak heran korupsi di negeri kita sangat sulit untuk di berantas.
Belum lagi hukum di negeri ini yang di terapkan bagi para koruptor sangatlah tumpul, tidak ada sanksi yang berat untuk mereka, sehingga para koruptor bukan berkurang tapi sebaliknya mati satu tumbuh seribu.
Berbeda dengan dalam Islam, paradigma politiknya adalah mengurusi urusan masyarakat tidak hanya untuk satu urusan orang saja. Dalam Islam orang yang mendapat jabatan atau kekuasaan seperti mendapatkan satu amanah yang besar dan akan di mintai pertanggungjawaban, bukan hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di akhirat kelak.
Seorang Khalifah dalam menjalankan politik atau urusan umat tidak melangkah di luar dari syariat Islam, dengan demikian sangat kecil kemungkinan terjadi korupsi. Jika sampai terjadi korupsi maka akan dilakukan pemeriksaan terhadap kekayaan sebelum dan sesudah menjabat, ketika kekayaan yang dimiliki tidak masuk akal negara berhak mengambil hartanya.
Dalam Islam ketika ada pejabat yang melakukan kezaliman yang merugikan banyak masyarakat akan mendapat hukum yang tegas, seperti “orang yang mencuri seperempat dinar bisa di potong tangannya”.
Semua itu dapat terwujud ketika Islam di terapkan secara kaffah di setiap sendi-sendi kehidupan kita tanpa memilah-milah hukum Islam. []
Oleh: Siti Nur Afiah
(Pemerhati Umat)
0 Comments