TintaSiyasi.com -- Di tengah gencarnya arus transformasi digital di Indonesia, keamanan data rakyat adalah hal yang sangat penting bagi negara. Baru-baru ini kembali terjadi kasus pencurian data pribadi. Diduga sekitar 34 juta data paspor atau keimigrasian bocor dan diperjualbelikan.
Kebocoran data paspor Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut terdiri atas nama lengkap, tanggal berlaku paspor, dan tempat tanggal lahir. Data tersebut dijual sekitar 10 ribu dolar AS atau sekitar 150 juta rupiah.
Pihak Ditjen Imigrasi pun langsung menindaklanjuti dugaan kebocoran data ini dan menyebut saat ini pihaknya tengah bekerja sama dengan Kementerian Kominfo dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) guna menelusuri dugaan kebocoran data tersebut.
Juru Bicara BSSN, Ariandi Putra mengaku, BSSN tengah melakukan asistensi dan investigasi tentang isu tersebut. BSSN telah melakukan koordinasi bersama tim Pusat Data Nasional (PDN) Kemenkominfo, Direktorat LAIP Kemenkominfo, CSIRT Kemenkumham, Pusdatin Kemenkumham dan Ditjen Imigrasi.
Analis keamanan siber, Pratama Persadha mengatakan, aksi pencurian data sekitar 35 juta data pribadi diduga berkaitan dengan hacker Bjorka. Ia sebelumnya sudah membobol 35 juta data yang berasal dari database Telkom Indonesia untuk aplikasi MyIndiHome pada Juni 2023. (Tirto, 8 Juli 2023).
Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya menilai kebocoran data berulang yang terjadi di aplikasi dan laman pemerintah menunjukkan tidak adanya prosedur pengamanan data yang cukup baik. Menurut dia, hal ini bisa dicegah jika pemerintah menerapkan standar internasional ISO 27001 dan 27701 sebagai kerangka atau pedoman dalam perlindungan data pribadi.
Alfons juga menyatakan bahwa pemerintah saat ini kalah dari swasta dalam hal pengamanan data. Badan swasta dinilai lebih cekatan dalam melakukan evaluasi setelah mengalami kebocoran. (nasional.tempo.co, 7 Juli 2023)
.
Sungguh miris, pemerintah yang diharapkan mampu menjadi perisai dan pelindung bagi rakyatnya malah gagal dalam menjaga data pribadi mereka. Dengan kasus yang berulang ini menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar abai dalam mengurusi urusan rakyatnya.
Dalam hal ini juga nampak bahwa kebijakan pemerintah tidak memiliki persiapan yang matang. Seharusnya ketika menetapkan suatu kebijakan tersebut pemerintah menyiapkan serangkaian sistem penjagaannya juga. Namun pada kenyataanya tidak, malah pihak swasta lebih baik dalam hal penjagaan data pribadi penggunanya.
Tidak heran, memang begitulah watak dari sistem demokrasi yang berasas sekulerisme kapitalisme. Negara yang abai dan dianggap amatir dalam pengurusan urusan rakyat termasuk dalam penjaminan penjagaan data pribadi. Semua urusan ditimbang dengan kacamata materi atau bisnis yang mengedepankan untung rugi sekalipun demi urusan penting rakyatnya. Pemerintahan kita lebih sibuk mementingkan urusan para elit pemilik modal, alhasil sebagian besar kebijakanya lebih menguntungkan pihak pemodal.
Sistem demokrasi juga hanya melahirkan pemimpin yang gagap dalam pengurusan rakyat. Padahal Rasulullah bersabda yang artinya, “Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari).
Sistem kapitalis yang menyebarkan pandangan bahwa materi adalah sumber kebahagiaan hidup menjadikan setiap individu rela melakukan hal apapun demi mendapatkannya. Sehingga tidak aneh bila kasus jual-beli data pribadi ini bisa terjadi.
Akan berbeda jauh dengan sistem Islam yang akan memberikan keberkahan dalam kehidupan. Sistem yang aturannya berasal dari Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Islam bukan hanya sekedar agama ruhiyah tapi juga sebuah ideologi yang di dalamnya terdapat seperangkat aturan kehidupan yang lengkap yang dibawa oleh Rasulullah.
Rasulullah menjelaskan bahwa seorang pemimpin atau kepala negara adalah pengatur dan pelindung bagi semua rakyatnya baik yang Muslim maupun non-Muslim. Sebagaimana sabda beliau, "Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya." (HR Bukhari dan Muslim).
Termasuk dalam hal ini negara memberi jaminan keamanan terhadap data pribadi rakyatnya dan memberi sanksi yang tegas bagi pihak yang membocorkanya. Dengan seperangkat alat dan kekuasaan yang dimilikinya, mudah bagi negara untuk menutup segala akses yang dapat merugikan rakyatnya. Negara harus mampu memberikan instrumen dan infrastruktur yang menunjang pelaksanaannya termasuk juga menyediakan tenaga ahlinya.
Di sisi lain negara tidak boleh bersikap reaktif atau hanya bergerak dan bertindak saat terjadi kasus saja. Namun negara harus mampu mencegah dan mengatasi permasalahan yang ada.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Dinar Rizki Alfianisa, S.E.
(Aktivis Muslimah)
0 Comments