Tintasiyasi.com -- Eskapisme menjadi fenomena yang semakin merajalela di tengah generasi. Eskapisme (kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketenteraman di dalam khayal atau situasi rekaan, KBBI) ini bahkan digadang-gadang sebagai solusi masalah krisis mental akibat masalah hidup yang menyakitkan.
Tidak sedikit generasi yang memiliki bias (idola) dan melakukan halusinasi atau berkhayal sesuai keinginannya. Aktivitas ini pun dianggap sebagai hiburan di tengah lelahnya tugas sekolah atau kampus atau di tengah kerumitan masalah hidup yang dilalui.
Fakta eskapisme juga terjadi pada anak-anak, bulan lalu jagat media sosial dihebohkan dengan video seorang ayah yang memarahi anak perempuannya karena bermain roleplay (RP) di sebuah platform media sosial (TikTok). Si anak ternyata melakukan RP dengan sejumlah pengguna TikTok yang bahkan tidak dikenalnya.
Parahnya lagi, konten RP yang dilakukan sudah berbau dewasa sampai-sampai bocah tersebut diceritakan sudah memiliki anak yang perannya dimainkan oleh user TikTok lain (Health.detik.com, 18/06/2023).
Maraknya eskapisme pada generasi adalah masalah besar. Sebab eskapisme menjadikan generasi sebagai orang-orang yang semakin tidak siap menghadapi masalah-masalah besar atau menambah beban hidup, padahal sebuah keniscayaan, beban/masalah hidup akan bertambah seiring bertambahnya usia dan seiring meningkatnya jenjang pendidikan.
Ini adalah bukti kegagalan pendidikan untuk melahirkan generasi yang beriman , bertaqwa, tangguh, inisiator, problem solver, memiliki tujuan yang jelas dalam hidup. Sebab arti pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyebutkan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Karena itu output pendidikan harusnya terlahir sebagaian besar menjadi generasi yang potensinya melejit untuk kebaikan, menjadi generasi yang tidak lari dari masalahnya namun menyelesaikannya, menjadi generasi yang dapat menilai dan memilih aktivitas yang baik dan benar, produktif dan bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara. Sebaliknya hari ini generasi secara umum justru menjadi masalah negeri, mulai dari masalah eskapisme, narkoba, miras, seks bebas hingga harus dispensasi nikah, hiv, dan lain-lain.
Hal itu karena fokus pendidikan hari ini bukan untuk mencetak manusia seutuhnya, bukan untuk membangun manusia yang bertaqwa dan mampu memimipin serta menyelesaikan masalah, dapat menilai dan memilih baik dan benar, tetapi justru lebih memprioritaskan pada capaian materi, capaian standart internasioanl yang dibuat Barat.
Di dunia kampus misalnya, fokus pendidikannya adalah bagaimana mahasiswanya cepat lulus, lulusannya cepat bekerja, bekerja di perusahaan-perusahaan besar, menghasilakn gaji besar, sedang masalah akhlaknya tidak menjadi perhatian, apakah mahasiswanya menjaga ibadahnya, tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan, sama sekali tidak menjadi prioritas.
Tidak dipedulikan keadaan mahasiswanya yang terjerat narkoba, hiv, seks bebas, eskapisme, akar masalahnya tidak dipentingkan dan tidak menjadi perhatian. Bahkan mahasiswa yang eskapisme dianggap bukan persoalan yang berbahaya dan harus dipikirkan. Wajarlah jika semakin hari masalah negeri tidak kunjung selesai bahkan semakin parah, bagaimana dengan nasib masa depan bangsa jika generasi yang akan memimpin adalah generasi yang eskapisme?
Selain itu, pendidikan hari ini menyajikan ilmu hanya sebatas untuk menjadi ahli yang dengannnya dapat memperoleh pundi-pundi materi. Ilmu tidak disajikan dalam rangka membentuk kepribadian yang bertaqwa dan semakin mengagungkan Allah atas segala kebesaranNya yang sebenarnya terdapat dalam ilmu-ilmu yang dipelajari tersebut.
Ilmu diajarkan dengan menghilangkan landasan aqidah. Bahkan tidak jarang tugas-tugas pendidikan hari ini justru lebih dirasakan sebagai beban hidup yang bikin depresi bagi generasi, ilmu tidak menjadi suatu hal yang dicintai dan belajar tidak menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan. Motivasi para pengajar hari ini juga tidak sedikit yang profit oriented, sehingga sekedar mencukupkan pada selesainya tugas mengajar tanpa memperhatikan anak didiknya benar-benar paham dan memiliki keterampilan menyelesaikan persoalan hidupnya.
Pendidikan Islam Terbukti Membangun Manusia Seutuhnya
Islam memiliki pengaturan pendidikan yang luar biasa. Tujuan pendididkan dalam Islam yaitu 1) mencetak manusia yang berkepribadian Islam, dengan kata lain memiliki akhlak mulia, jauh dari penyimpangan-penyimpangan atau keharaman seperti seks bebas, miras, narkoba. 2) Menjadi pemimpin, artinya memiliki kapasitas menyelesaikan masalah, tidak eskapisme, menjadi generasi tangguh dan menebar manfaat bagi agama, masyarakat dan negara.
Ilmu di dalam pendidikan Islam disajikan dengan landasan aqidah, ilmu diajarkan untuk membuat anak-anak didik semakin cerdas dan solih jiwanya sebab semakin mengetahui keagungan Allah melalui ilmu yang dipelajari. Motivasi para pengajar dalam dalam mengajar dalam pengaturan pendidikan dalm Islam dalah untuk meraih ridho Allah walaupun tentu mendapat ijaroh/gaji yang layak.
Maka dari itu, saatnya kaum muslim mengambil aturan pendidikan dalam Islam untuk menyelamatkan generasi hari ini dari fenomena eskapisme dan berubah menjadi generasi tangguh. Wallahu'alam bishshawab.
Oleh: Ayu Fitria Hasanah, S.Pd.
(Pengamat Pendidikan dan Generasi)
0 Comments