Tintasiyasi.com -- Wali kota Madiun, Maidi, mengajak perusahaan untuk bersinergi membangun daerah melalui program corporate social responsibility (CSR). Kota tengah berbenah sehingga dibutuhkan campur tangan seluruh pihak untuk mendukung pembangunan yang ada.
Ia mengatakan bahwa CSR merupakan kewajiban bagi perusahaan yang harus diberikan kepada daerah. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perusahaan yang tidak membayar CSR berarti telah menyalahi undang-undang. Meskipun begitu, ia tidak memaksa besaran CSR yang diberikan. Berapa pun akan dihargai (Madiuntoday.id, 24/6/2023).
Hal semacam ini tidak hanya terdapat di Madiun, tetapi juga di daerah lainnya. Pemerintah mendorong adanya peran serta perusahaan atau swasta dalam pembangunan daerah. Kenapa? Apakah pemerintah tak sanggup sendiri? Benarkah perusahaan yang notabene profit oriented itu mau mengeluarkan uangnya secara sukarela? Bagaimana seharusnya pembangunan dilaksanakan?
Apa Itu CSR?
CSR atau corporate social responsibility merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Yakni dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pasal 1 ayat 3.
Menurut pasal ini, CSR merupakan komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas masyarakat dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan, komunitas setempat, maupun masyarakat secara umum.
Menurut Peraturan UU PT dan PP 47/2012, besaran CSR disesuaikan dengan kebijakan perusahaan masing-masing. Namun, di Indonesia, besaran dana CSR umumnya berkisar antara 2% hingga 4% dari total keuntungan perusahaan dalam setahun. Bisa jadi besaran CSR untuk tiap-tiap daerah berbeda.
CSR digadang-gadang memiliki manfaat bagi masyarakat, lingkungan hidup, bagi negara, bahkan bagi perusahaan tersebut. Karena dengan adanya CSR, masyarakat bisa terbantu, lingkungan hidup menjadi baik, program negara pun terbantu terlaksana, dan perusahaan mendapatkan citra dan reputasi yang baik.
Tujuan CSR adalah guna mendapatkan izin sosial untuk beroperasi (social license to operate), sebagai peluang mendapatkan penghargaan dan pengakuan, memperbaiki hubungan dengan stakeholders dan pembuat kebijakan, mengurangi risiko usaha, membuka akses kepada pasar yang lebih luas, meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan, dan melebarkan akses sumber daya
Jenis-jenis CSR yang bisa dilakukan oleh perusahaan antara lain rehabilitasi alam, pengolahan limbah ramah lingkungan, filantropi, dan kegiatan sukarelawan atau volunteering.
Mengalihkan Tanggung Jawab Negara
Jika dilihat, CSR memang tampak baik. Namun, ini seakan menunjukkan kesan bahwa pemerintah ingin menyerahkan sebagian tanggung jawabnya sebagai pengurus urusan rakyat pada perusahaan. Pemerintah memberi peluang bagi perusahaan untuk ikut cawe-cawe dalam mengurusi rakyat.
Padahal, melakukan pembangunan adalah tanggung jawab negara. Pembangunan sejatinya dilakukan agar rakyat makin mudah beraktivitas, kehidupan menjadi lebih baik, dan kesejahteraan bisa dirasakan oleh semua orang. Negaralah yang menjalankannya. Jika mengajak swasta atau perusahaan yang orientasinya keuntungan, apakah bisa terlaksana? Apalagi di zaman kapitalisme sekarang ini sangat mafhum bahwa tidak ada makan siang gratis.
Di sisi lain, perusahaan sendiri bukan lembaga amal, sehingga untung-rugi tetap jadi pertimbangan utama. Kalaupun ia mengeluarkan dana pastilah sudah dihitung-hitung untung-ruginya. Lagipula CSR yang dikeluarkan tidaklah seberapa dibandingkan dengan keuntungan perusahaan.
Akibat Kapitalisme
Menggandeng perusahaan untuk ikut dalam pembangunan menjadi hal yang lumrah di alam kapitalisme sekuler. Paradigma kapitalisme memang meniscayakan peran negara diminimalkan. Negara hanya sebagai regulator bagi kepentingan korporasi. Kebijakan yang dibuat sering kali lebih menguntungkan perusahaan atau para kapitalis.
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya perusahaan yang menguasai sumber daya alam milik rakyat. Barang tambang yang kepemilikannya ada di tangan rakyat justru beralih ke individu atau swasta kapitalis. Dengan kekuatan modal yang dimiliki, mereka bisa leluasa memiliki dan mengeksploitasi kekayaan alam yang melimpah untuk kepentingan sendiri.
Negara hanya mendapatkan sedikit pemasukan dari perusahaan yang mengelola SDA. Ketika sampai ke rakyat pun jumlahnya makin sedikit setelah dipotong sana sini. Tak berlebihan jika dikatakan rakyat hanya mendapat remah-remah dari kekayaan alam negeri yang melimpah. Para kapitalis telah mengambilnya dengan harga yang sangat murah.
Dengan dikuasainya SDA oleh swasta, negara tak punya pemasukan yang cukup untuk bisa menyelenggarakan kebutuhan rakyat. Akibatnya, kebutuhan rakyat terbengkalai. SDA yang seharusnya bisa memberi lapangan pekerjaan pun tertutup aksesnya bagi rakyat. Tak ada pekerjaan, tak ada pemasukan. Banyak rakyat yang hidupnya jauh dari kata layak. Kemiskinan membelit dan kesejahteraan jauh dari kenyataan.
Negara yang Bertanggung Jawab
Berbeda halnya dalam Islam. Negara wajib melaksanakan pembangunan demi kemaslahatan rakyat. Pembangunan tidak dimaksudkan untuk golongan tertentu, tetapi untuk semua orang tanpa terkecuali.
Dengan tuntunan syariat Islam, negara akan menyelenggarakan upaya-upaya yang tepat agar rakyat bisa hidup dalam kesejahteraan. Negara melayani rakyat dengan segenap upayanya. Urusan ini menjadi tanggung jawab penuh negara. Tidak boleh menyerahkan urusan rakyat kepada perusahaan atau pihak swasta.
Negara akan punya cukup dana untuk menyelenggarakan urusan rakyat. Baitulmal menjadi kas negara yang selalu terisi. Sumber pemasukannya berasal dari harta milik negara seperti jizyah, ganimah, fai dan kharaj, harta milik umum, dan sedekah. Dari situlah, negara mampu memenuhi kebutuhan rakyat dan melakukan berbagai pembangunan yang maslahatnya dirasakan oleh semua. Negara akan mampu menyediakan berbagai sarana dan fasilitas yang dibutuhkan oleh rakyat secara terjangkau dan berkualitas.
Pembangunan dalam Islam memiliki konsep untuk menjaga tauhid. Artinya, pembangunan jangan sampai membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah hamba Sang Pencipta. Pembangunan sejatinya dalam rangka mewujudkan visi penciptaan manusia. Yakni, untuk beribadah kepada Allah taala. Pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan secara fisik, tetapi yang lebih utama adalah agar manusia makin bertakwa kepada Sang Maha Kuasa.
Sebagai contoh pembangunan di masa kekhalifahan. Dalam rangka memudahkan umat beribadah dan memberikan kenyamanan pada jemaah haji, Khalifah Muhammad Al-Mahdi membangun penginapan di sepanjang rute ke Makkah. Penginapan dibangun dengan ukuran yang besar. Ia juga memerintahkan penggalian sumur-sumur, membangun tempat pemandian umum di setiap mata air, dan membangun bak-bak yang diisi air sehingga bisa dimanfaatkan secara mudah dan praktis oleh kafilah-kafilah yang melewati rute tersebut.
Begitu luar biasanya peran pemimpin/negara dalam pembangunan. Kemaslahatan rakyat selalu diperhatikan. Karena itu, hidup dalam naungan negara yang demikian adalah sebuah kebutuhan mendesak. Kita butuh negara yang benar-benar mau dan mampu mengurusi rakyatnya dengan baik. Negara yang berdiri di atas landasan akidah Islam dan tegak untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Wallahu a’lam bishshawwab.[]
Oleh: Nurcahyani
(Aktivis Muslimah)
0 Comments