Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Warisan Politikus Indonesia Penghambat Pola pikir Kemajuan

Tintasiyasi.com -- Sejak era demokrasi terpimpin yang di canangkan oleh Presiden Soekarno, memulai era pejabat negara akan dengan kewenangan nya melakukan tindakan yang menguntungkan pribadi dan kelompoknya. Hal ini terlihat dari carut marutnya instansi pemerintahan dari pusat hingga daerah karena di berlakukan demokrasi terpimpin.

Pada dasarnya lingkungan pemerintahan yang kita yakini dan kita rasakan saat ini jelmaan dan perpanjangan tangan dari berpolitik ala VOC, perusahan dagang yang memiliki saham yang sangat besar dan memonopoli perdagangan dengan cara yang mematikan perekonomian rakyat.

Mengapa pemerintahan saat ini pantas dikatakan jelmaan dari Politik ala VOC, tidak perlu membuka data yang akurat cukup dengan melihat realita saat ini. Korelasi antara pemerintahan yang sedang berjalan sekarang dengan VOC pada masa Penjajahan Belanda, akan terbuka pikiran kita sepakat mengucapkan kata “Korupsi”.

Dalam tatanan kenegaraan kita telah rapi tersusun pengelompokkan posisi serta tugas dan fungsi antar lembaga negara sejalan dengan VOC yang memiliki sistem dan aturan yang ketat yang hamper jarang diemukan kesalahan dalam administrasi di dalam nya. Namun yang menjadi permasalahan dalam pemerintahan kita juga dalam tubuh VOC, ialah tidak adanya kecakapan dan kualitas yang memadai dalam mengelola system yang telah rapi tersusun hingga yang terjadi dana yang besar tidak bermanfaat untuk banyak hal justru sebaliknya semua aliran dana juga harus mengalir ke dalam pemain dalam instansi.

Kita tidak akan memungkiri budaya korupsi bukan hal baru dalam benak masyarakat kita, namun harus ada perubahan berpikir untuk menentukan arah masa depan bangsa yang lebih baik, apakah kita hanya akan bernaung dalam orasi “berani jujur Hebat” namun faktanya hingga hari ini bukan angka korupsi itu yang turun justru pemain serta dana yang mengalir ke para elite politik juga sulit di lacak oleh KPK.

Bagaimanakah para pemain politik dimasa yang akan datang, mereka para jantung bangsa yang saat ini berguru dengan para pemangku kekuasaan yang saat ini berjalan akan mendapat pelajaran serta ilmu yang nantinya hanya akan menambah dan membuka cabang baru untuk menggerogoti uang negara. 

Bagaimanakah pola pikir yang terbangun dari melihat serta mempelajari dari para politikus yang saat ini menjabat, apakah mereka akan mendapat ilmu yan berbeda ataukah justru menurunkan ilmu cara- cara merampas alokasi anggaran negara dengan rapi. Semua hal itu tentu harus di wanti-wanti dari saat ini oleh segenap insan mulia dalam pemerintahan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap masa depan Indonesia.

Bila ditinjau dari Laporan Tranparency Internasional terbaru menunjukkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 34 poin dari skala 100 pada 2022 yang menurun 4 poin dari tahun 2021. Tercatat pada tahun 2021 indonesia menempati urutan ke-96 namun pada tahun 2022 menduduki posisi ke-110.  Menurunya IPK Indonesia menggambarkan  persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik memburuk sepanjang tahun 2022.

Hal ini harus menjadi atensi publik, sebab para pejabat khusus nya anggota legislatif dan eksekutif yang pemilihannya memalui pemilu langsung oleh rakyat harus menjadi evaluasi dan pembelajaran untuk memilih wakil nya di senayan dalam memutuskan kebijakan dan anggaran negara yang jumlahnya fantasatis. Bukan hanya popularitas atau pun terlihat baik di muka publik, sosok yang menjadi pilihan juga berintegritas serta amanah yang mengemban dan menjaga marwah negara dengan memutuskan kebijakan untuk kemaslahatan rakyat.

Gambaran Indonesia masa depan bisa dilihat dari sekarang, sebab masa tidak akan berjalan secara cepat tidak pula berjalan secara lambat namun akan berjalan dengan normal dengan semestinya. Bila 10-20 tahun yang akan datang tidak dididik dan tidak dibangun pondasi yang kuat untuk kehidupan modern yang akan datang maka yang terjadi bukan Indonesia emas , namun Indonesia menangis melihat peradaban maju negara tetangga dan negara maju lainnya.

Salah satu yang menjadi gagalnya membuat kebijakan terkait kemajuan negara ialah ego politikus “gengsi partai” dalam mengikuti atau menyepakati hal yang baik untuk dilanjutkan. Bukan hal baru mendengar bahkan sudah menjadi konsumsi publik bahwa  program kebijakan negara banyak dicampuri oleh segelintir orang dan tidak akan boleh campur pihak lain demi memuluskan rencan atau anggaran tertentu. 

Perjuangan melawan bangsa lain akan terlhat mudah namun melawan bangsa sendiri tidak akan menemukan kemudahan sebab ada banyak musuh dalam selimut yang siap menjadi bara api dalam simpul. Itulah analogi yang kiranya layak disematkan untuk keadaan Indonesia saat ini dahulu kala mealwan para penjajah yang jelas tujuan dan relasi politiknya hamun saat ini tujuan dan kelompok yang tidak jelas tergantung kemana kepentingan dan aliran dana yang lebih besar itu yang akan solid dan bersatu. 

Sudah terlalu bosan publik melihat dan mendengarkan tayangan media yang memperlihatkan lagi-lagi anggaran negara dimakan oleh pejabat, anehnya yang menjadi tersangka korupsi selalu menggaungkan “jauhi korupsi, jaga integritas’’. Namun faktanya bak menelan ludah sendiri termakan kata kata yang diuacapkan, di depan publik seolah pahlawan yang akan menyelamatkan bangsa namun di balik layar berbuat seperti apa yang dikatakan.

Hal ini semakin diperparah dengan tersangka kasus korupsi yang ditetapkan justru melarikan diri dan menjadi buronan. Sungguh drama yang sangat elegan, bermunculan pula spekulasi public bila si A tertangkap maka akan terungkap dalam kasus yang melibatkan B,C,D. faktanya hingga hari ini KPK tidak mampu mengungkap secara keseluruhan yang diminta publik.

Hal yang juga miris yakni data yang dirilis Kementerian Dalam Negeri tertanggal 31 desember 2022 angkan pendudik Indonesia yang tidak sekolah sebesar 66, 07 juta jiwa atau 23,8 % dar kumlah total penduduk 277, 75 juta Jiwa. Bila ini tidak menjadi perhatian serius oleh pemerintah maka dalam masa yang akan datang akan terjadi kekacauan yang diakibatkan oleh tidak terperhatikannya pendidikan anak Indonesia saat ini.

Akar permasalahan yang terjadi di pemerintahan yang berjalan ialah pendidikan, bila angka pendidikan bagus maka bisa dipastikan akan sejahtera rakyat menjalani kehidupan bernegara. Namun, fakta yang juga mengejutkan publik 90% dari tersangka kasus korupsi ialah sarjana. Laporan data terakhir sebanyak 12,44 juta jiwa atau sekita 4,5% yang menjadi sarjana rakyat Indonesia. Dua hal yang menjadi perhatian yakni, pertama kualitas pendidikan Indonesia tidak menunjukkan angka yang berkualitas yang menjadi tempat tertanamnya benih benih para calon tersangka korupsi dan yang kedua ialah para pejabat yang tidak lagi menjaga marwah sebagai pejabat negara yang setiap saat diagung-agungkan oleh rakyatnya dan mendapatkan fasilitas dan gaji yang tinggi.

Seharusnya para pejabat yang merasa punya hati dan keturunan juga memikirkan bagaimana nasib anak cucunya di masa yang akan datang bila ia menurunkan karakter dan sifat buruk yang sama sekali tidak mencerminkan sebagai patriot bangsa pejuang aspirasi rakyat.[]

Oleh: Sabarnuddin
(Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Padang)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments