Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jebakan Feminisme pada Narasi Partisipasi Ayah dalam Pengasuhan


TintaSiyasi.com -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan peran keterlibatan ayah cukup tinggi dalam pengasuhan keluarga di Indonesia berdasarkan pantauan pada hasil Pemutakhiran Pendataan Keluarga 2022. Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN Irma Ardiana menuturkan bahwa peran ayah di Indonesia dalam membina keluarga dan terlibat dalam pengasuhan mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan pendataan keluarga 2021. Irma menilai capaian itu perlu mendapat perhatian bersama, agar semua anak-anak di Indonesia dapat tumbuh berkembang dengan baik dan memiliki karakter yang kuat karena mendapatkan pendampingan dari sosok ayahnya. (antaranews.com, 23/05/2023).

Ayah memang memiliki peran yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak untuk membuat anak menjadi mandiri dan juga melahirkan anak-anak yang saleh dan salihah, tetapi ketika kemudian peran ayah dalam pengasuhan anak menjadi sorotan utama dalam Hari Keluarga baru-baru ini dan ramai diperbincangkan, ada apa dengan hal ini? Lalu bagaimana Islam menyikapinya?

Ayah memiliki peran penting untuk melahirkan generasi yang cerdas, berkualitas, tangguh, dan mandiri. Akan tetapi jika kita berbicara tentang pengasuhan anak (dalam Islam dikenal dengan istilah hadhanah), bagaimana melayani anak, mengurusi anak yang usianya masih kecil, Allah SWT telah menetapkan kewajiban pengasuhan kepada seorang ibu, bukan ayah. Menurut Ustazah Wiwing Noraeni dari Lingkar Studi Tsaqofah narasi partisipasi ayah dalam pengasuhan patut diwaspadai sebab ada jebakan feminis di dalamnya. Ayah akan didoronng untuk mengoptimalkan perannya mengasuh sehingga memberi kesempatan ibu untuk bekerja.

Masih menurut Ustazah Wiwing, selama ini feminis selalu berusaha menjadikan setara atau sama persis antara laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban. Bahkan feminis muslim berpegang pada konsep mubadalah yang mencakup relasi kesalingan dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan. Contohnya jika ada ayat Al-Qur’an yang menyeru kepada salah satu gender, maka gender yang lain juga diseru dengan hal yang sama. Misal pada QS. Al-Baqarah ayat 233 yang memerintahkan kewajiban para ayah memberikan nafkah dan pakaian untuk keluarganya. Maka menurut konsep mubadalah kewajiban tersebut bukan hanya untuk ayah, tetapi juga ibu karena adanya prinsip kesalingan. Ini jelas konsep yang salah dalam menfasirkan ayat Al-Qur’an karena hanya menggunakan akal atau logika saja demi kemaslahatan pembela feminis. 

Maka dengan ini akhirnya pengasuhan anak juga berlaku demikian. Mengasuh anak (di usia hadhanah) bukan hanya kewajiban ibu, tetapi juga ayah. Di sinilah kita harus waspada karena bisa terjebak dalam paham feminisme sebab ide ini adalah turunan dari sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga manusia bebas berperilaku. Ini bertentangan dengan Islam yang mana mengatur hidup manusia dan manusia tidak dibiarkan bebas tanpa aturan. Ide feminisme akan membuat peran ayah dan ibu menyimpang dari fitrahnya.

Lalu bagaimana Islam mengatur porsi ayah dan ibu dalam mengasuh dan mendidik buah hatinya? Sebagai agama yang sempurna dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, masalah hadhanah pun tak luput dari perhatian Islam. Islam menetapkan bahwa ibu memiliki kewajiban utama sebagai pengasuh. Dari sinilah seorang ibu diberikan peran utama dan mulia sebagai ummu warabatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Ibu memiliki peran strategis sebagai sekolah utama dan pertama bagi anak-anaknya. Bahkan ini bukan hanya menjadi kewajiban ibu, tapi juga menjadi hak seorang ibu.

Dalam sebuah hadis yang isinya, “Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Khaalid As-Sulamiy, telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Abu ‘Amru – yaitu Al-Auza’iy, Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amru: Bahwasannya ada seorang wanita berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya; sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkanya dariku”. Lalu Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah.” (HR. Abu Dawud).

Keputusan Rasul ini ditafsirkan dengan pertimbangan bahwa pada umur tersebut (usia kanak-kanak), seorang ibu lebih memahami kebutuhan anaknya dan anak lebih membutuhkan kasih sayang ibunya sehingga dalam Islam kewajiban utama mengasuh anak-anak yang masih kecil ditetapkan pada ibu sekaligus sebagai hak.

Lalu bagaimana dengan peran ayah? Ayah memiliki kewajiban utama sebagai kepala dan pemimpin keluarga. Allah SWT berfirman yang artinya, ”Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (TQS. 4 : 33).

Oleh karena itu di dalam rumah tangga ayahlah yang menjadi pemimpin. Ayah juga memiliki kewajiban memberi nafkah. Walaupun ayah tidak punya kewajiban mengasuh anak yang usianya masih kecil, ayah juga memiliki peran penting dan tidak boleh abai dari sisi pelayanan. Ayah memiliki tanggung jawab untuk membentuk kepribadian Islam dari sang anak, memberikan perlindungan, memberikan perhatian, memberikan kasih sayang, menjadi teladan bagi anak-anaknya, sehingga meskipun ayah ini sibuk dengan aktivitas utamanya bekerja dan berdakwah, seorang ayah tetap harus memberi perhatian, kasih sayang dan teladan. 

Hal ini juga telah dicontohkan Rasul. Beliau seorang pemimpin kaum muslim, pemimpin perang, pemimpin negara, melakukan dakwah Islam dan mengatur rakyat, tetapi di sela-sela kesibukan beliau, Rasul senantiasa bertanggung jawab dengan memperhatikan anak-anaknya, cucu-cucunya bahkan anak-anak yang lain. Tapi bukan berarti kemudian Nabi mengambil alih pengasuhan anak dari ibunya.

Berbicara tentang pengasuhan anak, dibutuhkan pula peran negara. Negara yang menerapkan Islam secara kaffah akan memastikan setiap orangtua menjalankan semua kewajibannya masing-masing. Tidak ada anak yang terlantar dan semua dinafkahi. Dari orangtuanya pun, anak mendapatkan kasih sayang. Negara yang seperti ini hanya bisa terwujud dengan khilafah yang menerapkan aturan Islam sebagai ideologi. Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam untuk mengelola SDA yang luar biasa ada di negeri-negeri muslim dan hasilnya diberikan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian tidak ada orang yang hidupnya sulit. Khilafah akan membuka lapangan pekerjaan yang luas dan mudah untuk para ayah, sehingga ibu fokus mengasuh anak dan mengurus rumahnya. Negara memastikan akan memberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang lalai terhadap tanggung jawabnya di keluarga.

Demikianlah Islam dengan aturannya yang mampu menjamin peran ayah dan ibu berjalan sesuai dengan ketetapan Islam sehingga akan mencetak generasi tangguh, cerdas dan berkualitas yang tentu saja akan menjadi khairu ummah. []


Oleh: Hanum Hanindita, S.Si.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments