TintaSiyasi.com -- Lagi-lagi! Terjadi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota kepolisian, bahkan sekelas guru hingga kepala desa.
Dilansir dari BBC news Indonesia (31/5/2023), seorang anak berinisial R berusia 15 tahun mengalami pelecehan seksual oleh 11 pria di Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Akibat dari pelecehan ini terjadi infeksi akut pada kelaminnya dan harus melakukan pengangkatan rahim di usia yang sangat muda.
Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti meminta Kepolisian untuk menelusuri dugaan prostitusi anak yang berkaitan dengan kasus ini. Pasalnya para pelaku melancarkan aksinya dengan cara memberi iming-iming kepada korban agar ia mendapatkan pekerjaan dan uang.
Dari viralnya kasus ini pemerintah mendesak kepolisian untuk menerapkan UUTPKS, agar mampu mengusut tuntas kasus dan pelaku dapat dihukum sesuai peraturan perundang-undangan.
Sistem Sekuler Kapitalis Menyuburkan Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Dalam sistem sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) tak dapat dielakkan bahwa keamanan manusia sangat minim termasuk pada anak dan perempuan. Sebab sistem ini salah satu asasnya adalah kebebasan individu. Kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkepemilikan tanpa ada batasan yang jelas sehingga banyak seseorang yang mencari keuntungan walaupun melalui cara yang haram seperti prostitusi anak.
Media saat ini juga menjadikan industri pornografi sebagai jalan mendapatkan pundi-pundi rupiah, baik melalui platform media sosial dan situs-situs tersembunyi. Banyaknya tayangan pornografi maupun pornoaksi tentu memberikan rangsangan seksual pada siapapun yang melihatnya.
Akhirnya, para pecandu tontonan haram ini terlena dan ingin memenuhi tuntutan ghorizah nau’nya pada siapa pun termasuk anak-anak. Inilah yang terjadi bagi pelaku yanh harusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat justru mereka lah yang melakukan tindak kekerasan seksual.
Dari data Kemen PPA disebutkan pada tahun 2022, angka kasus kekerasan seksual pada anak mencapai 9.588 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya 4.162 kasus. Adapun pada tahun 2023, merujuk catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), telah terjadi 15 kasus kekerasan seksual ditingkat sekolah mulai SD hingga SMA dengan jumlah korban mencapai 124 anak dan remaja untuk periode Januari-April 2023 saja (Dpr.go.id/5/6/2023).
Sistem Pendidikan Sekuler
Pendidikan dalam sistem sekuler saat ini hanya fokus pada angka dan pencapaian akademik, yang menghasilkan orang-orang abai terhadap agama. Tak ada pembentukan karakter yang benar, yakni syakhsiyah Islam (kepribadian Islam) untuk mengokohkan karakter generasi.
Standar pengambilan keputusan terkait halal dan haram harusnya dibentuk sejak dini dibangku sekolah, namun tidak menjadi prioritas utama dalam pembangunan karakter generasi. Akhirnya, banyak yang terjun di masyarakat yang menjadi pejabat, dan pemegang kekusaaan yang berakibat pada pengambilan keputusan yang salah.
Perilaku korupsi yang menggurita hingga tindak kekerasan seksual yang terjadi berulang salah satunya disebabkan dari buruknya penerapan sistem pendidikan saat ini.
Kurangnya Sanksi yang Tegas Bagi Pelaku
Berdasarkan UU 35/2014, setiap orang melakukan pelecehan seksual dipidana dengan penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Tidak ada ancaman hukum mati bagi pelaku sebagaimana dalam Islam yakni sanksi rajam bagi pezina yang statusnya sudah menikah.
Seringkali pula, banyak kasus yang berakhir begitu saja jika beritanya tidak viral. Tak sedikit juga yang berakhir damai secara kekeluargaan dengan pemberian uang kepada keluarga korban. Inilah yang membuat pelaku kejahatan seksual tidak takut melakukan aksinya dan tidak pernah memberikan rasa takut di hati masyarakat untuk melakukan hal serupa.
Solusi Dalam Islam
Andai akidah Islam menjadi asas kehidupan maka kasus keji seperti ini tidak akan terjadi, baik oleh individu maupun negara. Sudah seharusnya kasus keji seperti ini tidak boleh dibiarkan. Harus ada tindakan konkret untuk memutus rantai kejahatan, yaitu dengan menerapkan sistem Islam dan mengganti sistem sekuler yang terbukti membawa petaka.
Mulai dari sistem pergaulan, Islam telah memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan hanya boleh berinteraksi pada rana yang diperbolehkan oleh syariat. Misalnya, tidak akan terjadi interaksi intim selain dalam ikatan pernikahan. Juga dalam sistem pendidikan Islam akan mewujudkan pribadi yang berkepribadian Islam (syakhsiyah Islam), yakni dengan pola pikir dan pola sikap islami sehingga tidak mudah bermaksiat.
Negara akan mengawasi sistem media massa dengan mencegah adanya konten pornografi-pornoaksi, sehingga tidak ada rangsangan yang bisa mendorong terjadinya kekerasan seksual.
Sistem ekonomi Islam pun menempatkan perempuan sebagai pihak yang wajib dinafkahi. Untuk itu, negara bertanggungjawab menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dewasa sehingga kaum perempuan tidak perlu pontang-panting mencari pekerjaan demi menghidupi dirinya dan keluarganya.
Itu sebagaian regulasi dalam sistem Islam. Semua sistem di atas jika diterapkan maka tidak hanya mampu meminimalisasi terjadinya pelecehan seksual, namun juga menghilangkan segala bibit-bibit perbuatan keji. Adapun jika terjadi kasus, negara akan memberikan sanksi tegas kepada pelaku.
Bagi pelaku pelecehan seksual yang sampai masuk kategori zina maka hukumannya adalah 100 kali dera dan diasingkan selama setahun. Sedangkan bagi pelaku yang telah menikah akan diberi hukuman rajam.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surah An-Nur ayat 2;
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali….”
Sedangkan penipuan bukan soal zina tetapi ada pemaksaan (ikrah) yang perlu dijatuhi sanksi. Dalam kitab Al-Istidzkar karya Imam Ibnu Abdil Barr menyatakan;
“Sesungguhnya, hakim atau Qadhi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan membuat takzir dia dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang semisalnya.”
Dengan demikian, hanya sistem Islam yang mampu secara totalitas menyelesaikan masalah kekerasan seksual, baik dari pencegahan dan penerapan sanksi. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Oleh: Ira Rahmatia
(Aktivis Muslimah)
0 Comments