TintaSiyasi.com -- Sebutan “Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sejak dulu melekat erat pada negara ini tampaknya tak relevan lagi. Bagaimana mungkin negeri yang mendapat julukan demikian justru tiap tahunnya mengimpor pangan semisal beras? Tentu menggelitik.
Tidak Matang!
Ya, impor beras kembali dilakukan pemerintah tahun ini. Tak tanggung-tanggung, rencananya beras akan diimpor sebanyak 2 juta ton untuk mengantisipasi cuaca panas ekstrem atau El Nino. Ditambah lagi, pemerintah juga telah meneken kontrak impor dengan India sebanyak 1 juta ton sehingga total 3 juta ton. (katadata.co.id, 17 Juni 2023).
Masih dalam laman yang sama, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan kebijakan impor beras tersebut terlihat dilakukan tanpa persiapan yang matang. Pasalnya, El Nino merupakan kondisi yang sudah bisa diperkirakan tahun sebelumnya.
Petani Apa Kabar?
Adanya fakta bahwa El Nino sudah dapat diprediksi tahun sebelumnya, maka pengadaan beras Bulog seharusnya sudah ditingkatkan sejak tahun lalu. Pemerintah juga seharusnya bisa menambah produksi sejak jauh hari dengan meningkatkan kualitas benih dan bantuan pupuk. Memang, impor bisa menjaga keamanan pangan namun itu dalam jangka pendek. Kerugian yang besar akan petani hadapi dalam jangka panjang.
Apalagi jika pemerintah melakukan impor di tengah panen raya beras di beberapa daerah seperti Cirebon juga Bali. Petani akan rugi karena harga gabah jatuh. Kejadian yang menimpa mereka tiap tahunnya ini tentu berdampak buruk karena berefek pada matinya minat petani untuk menanam padi juga minat generasi muda untuk menjadi petani karena tidak menjanjikan.
El Nino Hanya Kambing Hitam?
Impor beras dengan alasan antisipasi El Nino terkesan menjadikan El Nino sebagai kambing hitam. Pasalnya, di dua tahun sebelumnya pemerintah juga melakukan impor beras di tengah La Nina. Jika kita cermati pemerintah juga tetap melakukan impor beras di tengah suasana panen raya. Berarti betullah bahwa ada sesuatu di balik sikap pemerintah yang setia berkawan dengan impor
Karena Sistem!
Kebijakan impor beras yang ditempuh pemerintah tiap tahunnya mengindikasikan penyakit kronis impor yang diderita negeri ini. Satu-satunya jalan kesembuhannya adalah melihat akar penyakitnya, yakni mengapa impor beras tetap dilakukan padahal di dalam negeri tersedia beras yang mencukupi? Hal ini ternyata tidak lepas dari diterapkan sistem ekonomi kapitalisme liberal oleh Indonesia.
Indonesia yang telah menjadi anggota WTO tentu harus tunduk pada ketentuan perdagangan bebas. Ini berefek pada kecenderungan masyarakat yang lebih memilih produk impor, bahkan akan candu. Negeri ini alih-alih mendapat solusi untuk masalah pangan negeri, justru akan bergantung pada negara maju. Oleh karenanya perlu untuk memperbaiki sedari akar yaitu mengganti sistem sekuler liberal dengan sistem Islam.
Islam Solusi
Negara Islam yakni yang menerapkan Islam secara kafah tentu tak lepas darinya kepengurusan akan pangan. Apalagi ini merupakan kebutuhan pokok rakyat. Karena sejatinya negara adalah pengurus (raain) serta pelindung (junnah) bagi rakyatnya. Dengan demikian, dalam setiap perkara, penetapan kebijakannya berpihak pada rakyat dan memudahkan hidup rakyat.
Membangun kemandirian pangan merupakan suatu hal mendasar karena mencerminkan kekuatan sebuah negara. Islam memiliki cara yang unik untuk mewujudkan tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup yakni dengan mengembangkan SDM ahli, menyediakan pupuk, obat-obatan dan sarana produksi. Tidak hanya produksi, negara juga campur tangan agar tidak terjadi penimbunan pangan serta mengawasi agar terbentuk harga sesuai harga pasar.
Apalagi jika dihadapkan dengan El Nino yang bisa diprediksikan tahun sebelumnya, pemerintah tentu lebih sigap dan tidak hanya duduk diam lantas berlakukan impor. Tetapi melakukan upaya agar tetap tersedia pangan dalam negeri seperti peningkatan produksi. Begitulah Islam mengatur kehidupan rakyatnya termasuk halnya pangan, sehingga melahirkan rahmat bagi semesta alam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Khaulah
Aktivis Dakwah
0 Comments