TintaSiyasi.com -- Kemensos lagi lagi temukan data penerima bantuan sosial yang tidak tepat sasaran. Terdeteksi sebanyak 10.249 keluarga penerima manfaat (KPM) termasuk kalangan keluarga mampu. Bahkan beberapa diantara mereka berstatus sebagai pemangku jabatan direksi atau pejabat dalam sebuah perusahaan. Data ini ditemukan saat proses pemadanan data penerima bansos yang dilakukan oleh BPK melalui sistem di Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU).
Menteri Sosial, Tri Rismaharini mengatakan, orang-orang tersebut terdata dalam DTKS sebagai orang miskin dengan pekerjaan cleaning service hingga buruh. Tapi, dalam data AHU mereka adalah direksi dan pejabat sebuah perusahaan. Sebelumnya, Kemensos juga menemukan data penerima bansos yang berprofesi sebagai ASN. Diduga mereka masuk DTKS sebelum diangkat menjadi ASN. Dan setelah menjadi ASN, data dalam DTKS belum di update, sehingga mereka masih menerima bansos. Untuk kondisi ini, Risma pun meminta agar bansos yang diberikan untuk dikembalikan kepada negara (Jawapos.com 16/06/2023).
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pendataan penerima Bansos ternyata tidak profesional. Banyak para pejabat maupun warga yang berkecukupan justru masuk dalam daftar keluarga penerima manfaat. Hal tersebut bisa jadi karena petugas yang salah mendata atau justru warga melakukan manipulasi data agar mendapatkan bantuan.
Hal tersebut wajar terjadi dalam sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, kemuliaan seseorang dinilai dari banyaknya harta. Maka orang akan berlomba-lomba mengumpulkan harta tanpa peduli halal atau haram, karena agama dijauhkan dari kehidupan.
Yang paling terdampak dari kesalahan data tersebut pastinya warga miskin. Mereka tidak mendapatkan bansos sehingga masalah kemiskinan tak terselesaikan dan kemiskinan tetap menjadi PR besar.
Hal tersebut tentu berbeda apabila negara menerapkan sistem kehidupan Islam kaffah. Negara akan melakukan pendataan warga miskin secara profesional, karena amal apapun akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah.
Selain itu Islam mewajibkan negara mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Penerapan sistem ekonomi Islam akan menjamin rakyat sejahtera
Dalam sistem ekonomi Islam, kebutuhan primer rakyat berupa sandang, pangan, dan papan akan dipenuhi negara. Jika suatu keluarga tidak bisa memenuhinya, maka negara akan menjamin kebutuhan tersebut.
Selain itu, negara juga akan mengatur kepemilikan. Karena, pengaturan kepemilikan ini berhubungan dengan kemiskinan rakyat. Bahkan, dengan pengaturan ini, bisa mencegah kemiskinan. Kepemilikan ini akan dibagi menjadi 3, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Rakyat diberi kesempatan untuk mempunyai kepemilikan pribadi, guna menyalurkan nalurinya. Kepemilikan ini seperti harta, hasil warisan, pemberian negara, hasil kerja, hadiah, dan lain-lain. Tapi, dalam hal kepemilikan umum, rakyat hanya dibolehkan untuk mendapatkan manfaatnya saja, dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Seperti, manfaat dari adanya sungai, udara, jalan, listrik, rumput dan sebagainya.
Dalam hal, kepemilikan negara, rakyat tidak boleh memilikinya sama sekali. Karena ini akan di kelola oleh negara. Dan hasil dari pemanfaatan ini, akan dikembalikan kepada rakyatnya. Bisa dalam bentuk harga yang murah bahkan gratis.
Aset yang masuk dalam hal ini adalah, fa'i, kharaj, pabrik-pabrik yang dibuat negara (mobil, mesin-mesin industri, dll), sumber daya alam. Dari SDA ini, negara memanfaatkan SDA yang ada secara mandiri. Tidak akan disewakan terhadap swasta. Karena hal ini adalah milik negara, bukan milik individu.
Adanya kepemilikan negara yang sangat banyak ini, maka negara memiliki sumber-sumber pemasukan yang sangat cukup. Dengan demikian, negara mampu menjamin rakyat miskin. Sehingga rakyat didalam negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam, akan terkategori masyarakat sejahtera.
Maka sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam agar masalah kemiskinan bisa teratasi secara tuntas. Allah SWT berfirman:
“Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thahaa: 124).
Wallahu a’lam bishshawwab.[]
Oleh: Hanif Ika
(Aktivis Muslimah)
0 Comments