Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

RUU Kesehatan Mengancam Kesehatan Seluruh Rakyat?


TintaSiyasi.com -- Nikmat sehat senantiasa menjadi prioritas utama yang diinginkan setelah nikmat iman dan Islam. Terlebih dalam suasana hari raya seperti saat ini, jangan sampai mengganggu kekhidmatan beribadah. Setelah berpuasa sebulan penuh dengan rintangan yang beraneka macam, tak nyaman rasanya bila kita menjalani kemenangan tapi kondisi badan tidak fit.

Pendemi memang telah berlalu. Tidak ada karantina, mudik pun tidak dilarang sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Namun tidak dengan dunia kesehatan di Indonesia yang kembali riuh.

Proses liberalisasi kesehatan disinyalir mengintai negeri ini melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah dikebut prosesnya dalam waktu belakangan ini. Satu poin dari sinyalemen tersebut adalah ke depan akan ada kemudahan bagi dokter asing dan dokter diaspora untuk berpraktik di Indonesia.

Sebagaimana dilansir oleh Katadata.co.id (19/4/2023), bahwa pemerintah akan memberi fasilitas kemudahan bagi dokter asing dan diaspora untuk beroperasi melalui Draf Revisi Undang-Undang No. 36-2009 tentang Kesehatan. Kemudahan tersebut berupa penerobosan beberapa syarat pengaturan tenaga medis dan kesehatan yang telah tertuang dalam Pasal 233 dan 234. Di antaranya, pertama adalah evaluasi kompetensi yang berisikan kelengkapan administrasi dan nilai kemampuan praktik. Kedua pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP) dokter. Ketiga kewajiban dokter untuk mampu beradaptasi di pelayanan kesehatan dalam negeri. Namun semua syarat tersebut tak diperlukan lagi bagi siapapun tenaga medis dan kesehatan asing yang bergelar spesialis dan telah berpraktik 5 tahun saja. Mereka bisa langsung mengambil alih lahan pekerjaan dokter dalam negeri.

Pemberian karpet merah bagi dokter asing pun tampak dari aturan ketika mereka bersedia memberi pelatihan alih teknologi dan ilmu pengetahuan. Kemudahan layaknya jalan tol akan diterima, berupa mendapat izin praktik selama 3 tahun bahkan dapat diperpanjang 1 tahun. Ditambah fasilitas berupa terbebas dari kewajiban pemilikan STR. Terlebih apabila yang bersangkutan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di Indonesia.

Beragam kemudahan tersebut selama ini tidaklah didapat oleh dokter dan tenaga kesehatan dalam negeri. Mereka ketika akan mendapat izin praktik wajib melewati beragam syarat yang panjang. Maka tak mengherankan jika RUU tersebut mendapat penolakan dari beragam pihak, salah satunya dari perkumpulan profesi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) (Kompas, 11/4/2023).


Alasan Penolakan

Dr. Mahesa Pranadipa Maikel, selaku Juru Bicara Pengurus Besar IDI, menyatakan bahwa poin-poin yang mendasari penolakan RUU Kesehatan Omnibus Law di antaranya:

Pertama, dilihat dari proses pembuatannya, RUU ini tidak dibuat secara terbuka dan transparan. Proses-proses yang terjadi dalam program legislasi nasional (Prolegnas) ini terkesan sembunyi-sembunyi, tertutup, dan terburu-buru.

Kedua, Mahesa menilai RUU Kesehatan Omnibus Law dibuat tanpa adanya naskah akademik yang kuat. Artinya, tidak ada naskah akademik yang menjelaskan apa dasar filosofis, dasar yuridis, dan sosiologisnya.

Ketiga, pihak Mahesa juga melihat adanya upaya-upaya liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan.

“Kalau semuanya dibebaskan tanpa kontrol sama sekali, tanpa memerhatikan mutu pelayanan kesehatan maka bisa mengancam seluruh rakyat.”

Keempat, ada substansi yang membahas penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi, dan surat tanda registrasi (STR).

Pasal ini bisa menghambat para dokter untuk meningkatkan kualitasnya. Padahal STR sejauh ini berfungsi untuk meregistrasi tenaga kesehatan. Setiap tenaga kesehatan perlu memiliki STR di konsilnya masing-masing. Dan itu harusnya dievaluasi setiap lima tahun. Tapi dalam substansi rancangan undang-undang, ada upaya untuk menjadikan STR ini berlaku seumur hidup.

Hal ini sangat berbahaya, karena jika pelayanan kesehatan dibebaskan tanpa kendali maka akan menjadi ancaman terhadap seluruh rakyat Indonesia. RUU ini jelas akan mengancam keselamatan dan hak rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu. Bukankah rakyat berhak mendapatkan penanganan dari tenaga kesehatan yang memiliki moral dan etik yang tinggi?


Akibat Kapitalisme Kesehatan dan Pendidikan

Impor dokter asing bukan kali ini saja diwacanakan pemerintah. Di tahun 2020 pemerintah telah merencanakan membuka program ini dengan alasan agar rakyat tidak lagi berobat keluar negri sehingga hal ini akan menguntungkan Indonesia dengan terjaganya devisa negara. Dan kini masuknya dokter asing ke Indonesia memiliki aturan kuat melalui RUU kesehatan.

Kebijakan pemerintah ini sejatinya mengkonfirmasi bahwa pemerintah gagal mencetak SDM di bidang kesehatan seperti dokter ahli yang berkualitas dan memadai. Minimnya kualitas layanan kesehatan berawal dari kurangnya tenaga kesehatan. Sedangkan kurangnya para dokter akibat mahalnya biaya pendidikan di jurusan kedokteran, dan semua ini di atur oleh universitas atau pihak kampus itu sendiri.

Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak sanggup untuk melanjutkan pendidikan di jurusan kedokteran akibat terkendala biaya. Sehingga, paradoks cita-cita negara yang ingin menghasilkan jumlah dokter maupun tenaga kesehatan dengan jumlah yang banyak dan berkualitas, menimbulkan kelucuan oleh publik. Sebab, semua universitas berada di bawah pengawasan Dikti, Kemendiknas, dan di kendalikan oleh pemerintah.

Sedangkan masalah terkait distribusi dokter yang tidak merata, merupakan tugas kemenkes bersama dengan pemerintah daerah. Urusan dokter lulusan luar negeri di atur oleh KKI ( Konsil Kedokteran Indonesia). Sehingga, penyebab susahnya pengurusan izin praktik, semua merupakan tanggung jawab Dinas Kesehatan atau Kantor Pelayanan. Oleh karena itu, kekurangan tenaga kesehatan dan permasalahan maldistribusi sebenarnya adalah kegagalan sistem pemerintah, dan bukan kesalahan sebuah organisasi profesi.

Dapat disimpulkan bahwa semua permasalahan layanan kesehatan dari dulu hingga saat ini akibat kelalaian negara dalam menjamin pendidikan dan kesehatan tiap individu. Kemudian semua ini berlangsung sejalan dengan dilegalkannya industrialisasi sistem kesehatan yang berujung pada mahalnya harga layanan kesehatan.

Jika pemerintah fokus memberikan pendidikan berkualitas yang di tunjang oleh fasilitas pendidikan yang terbaik pula maka tentu anak bangsa akan berdaya di negeri ini. Bahkan negara tidak perlu membuka peluang bagi dokter asing untuk bekerja di negeri ini. Sebab hal tersebut hanya akan menambah besar persaingan tenaga kerja di negeri ini yang berujung pada bertambahnya jumlah pengangguran.

Namun hal tersebut tidak menjadi pilihan. Hal ini wajar terjadi sebab kesehatan dalam perspektif negara yang menerapkan kapitalis-sekuler adalah jasa yang harus dikomersialkan. Negara akan berhitung untung-rugi ketika membuat kebijakan untuk menjamin berlangsungnya komersialisasi. Tak heran RUU kesehatan ini dinilai sarat dengan upaya meliberalisasi dan mengkapitalisasi kesehatan.

Padahal persoalan kesehatan di Indonesia sebenarnya masih banyak dan sangat kompleks. Namun RUU kesehatan tidak menawarkan solusi yang komprehensif dan menyentuh akar permasalahan. RUU kesehatan tidak menawarkan upaya mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan mudah bagi rakyat. Tetapi justru merugikan kepentingan rakyat termasuk para tenaga kesehatan. Inilah fakta buruknya pengurusan urusan rakyat di bawah penerapan kapitalisme sekularisme.


Sistem Kesehatan dalam Islam

Berbeda dengan khilafah, kehadiran penguasa (khalifah) sebagai pelaksana syariat secara kaffah menjamin pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh warga negaranya, Muslim atau non-Muslim, kaya atau miskin. Sebab dalam pandangan Islam kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang menjadi tanggung jawab negara, bukan jasa untuk di komersialkan.

Tugas utama penguasa adalah sebagai pelayan rakyat yang terfokus dalam dua hal, yakni melindungi agama dan mengatur urusan dunia. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Pemimpin yang mengatur urusan manusia (imam/khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurus." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sehingga apapun alasannya tidak di benarkan dalam negara khilafah ada program yang bertujuan mengkomersialisasi pelayanan kesehatan baik dalam bentuk investasi atau menarik bayaran kepada rakyat untuk mendapatkan untung.

Sebagai pelayan rakyat, negara bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas terbaik dengan para dokter ahli, obat-obatan dan peralatan kedokteran yang dibutuhkan serta sebarannya ke pelosok negeri.

Negara wajib mengelolanya secara langsung diatas prinsip pelayanan sebagaimana perbuatan Rasulullah SAW sebagai penanggung jawab dan pengatur langsung kemaslahatan publik di Madinah termasuk masalah pelayanan kesehatan. Pembiayaan seluruh pelayanan kesehatan dalam khilafah tidak akan membebani publik, rumah sakit, dan insan kesehatan sepersen pun.

Pembiayaan pelayanan kesehatan tersebut diambil dari Baitul Mal khilafah yang jumlahnya sangat besar sebab diatur oleh sistem ekonomi Islam. Demikian pula pembiayaan untuk pendidikan calon dokter sehingga tersedianya dokter umum dan ahli secara memadai, lembaga riset, labolatorium, industri farmasi dan biaya apa saja yang dibutuhkan bagi terjaminnya pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik. Mudah di akses oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.

Para dokter dan insan kesehatan bahkan memiliki ruang yang memadai untuk mendedikasikan keahlian bagi kesembuhan dan kemaslahatan jiwa masyarakat. Tidak akan ada lagi beban agenda kesehatan dan persaingan dengan dokter asing karena negara akan mendahulukan pemanfaatan SDM dalam negeri. Inilah fakta jaminan kesehatan khilafah buah dari penerapan Islam kaffah yang bersumber dari Allah SWT.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Rines Reso
Pemerhati Masalah Sosial
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments