Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Remisi Hukum, Penghematan Anggaran dan Hilangnya Efek Jera


TintaSiyasi.com -- Mengutip dari Kompas.com (23/4/2023), sejumlah 146.260 dari 196.371 narapidana beragama Islam mendapatkan remisi lebaran. Remisi ini berlaku untuk narapidana tindak kejahatan umum. Dari 146 ribu napi, 661 napi menerima RK (remisi khusus) 2 atau langsung bebas dan sisanya mendapatkan RK 1 dimana mereka masih wajib menjalani sisa hukuman setelah menerima pengurangan masa hukuman. Kementerian Hukum Dan HAM (KEMENKUMHAM) menjelaskan pemberian remisi mampu mengurangi anggaran negara berupa pengurangan anggaran makan napi sampai Rp 72 Miliyar. 

Napi korupsi juga tak luput dari pemberian remisi hukuman. Di antaranya Setya Novanto yang sempat tersandung kasus e-KTP pada tahun 2017 lalu. Kasus korupsi E-KTP oleh Setya Novanto sempat ramai karena proses penangkapan dan pengusutan yang lumayan alot. Setelah proses yang lumayan lama akhirnya pengadilan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara pada Setya Novanto pada 24 april 2018 lalu. Namun setelah menjalani 4 tahun masa hukuman, Setya Novanto termasuk dalam daftar napi yang menerima remisi hukuman (Tempo, 22/4/2023). 

Hal ini tentu mengusik hati masyarakat. Sebagian masyarakat menilai ketidakseriusan pemerintah dalam menegakkan sanksi hukum yang mampu memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan. Bukan tidak mungkin jika sebagian pelaku kejahatan justru menyepelekan sanksi hukum yang akan mereka terima. Sangat mungkin pula para pelaku kejahatan akan mengulang kembali kejahatannya selepas dari penjara. 

Dalam sistem sekularisme kapitalis, peran agama dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kelemahan hukum pidana sekuler terletak pada sumber hukum yang dibuat oleh akal manusia yang terbatas. Karena bersumber pada keterbatasan akal manusia, aturan ini sangat berpotensi berubah, berbeda atau pun berganti sesuai dengan keinginan manusia atau kelompok pembuat hukum. Tidak adanya ketetapan hukum yang baku tentunya akan sangat berpotensi menyebabkan terjadinya kecurangan atau penyalahgunaan hukum oleh pihak yang berkuasa atau yang kuat. Bukan rahasia lagi, hukum saat ini bisa dibeli dengan uang. Hukum terasa tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Keadilan tidak mampu lagi dirasakan semua orang.

Hal ini sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam mempunyai sumber sempurna dalam menetapkan sanksi hukum, yaitu aturan dari Allah Swt. Penetapan sanksi Islam didasarkan atas ketakwaan kepada aturan Allah, bukan berdasar pada kepentingan sebagian golongan. Dasar penetapan sanksi Islam tidak dapat diragukan kebenarannya karena berasal dari ketetapan Allah Dzat yang mengetahui perihal manusia sebagaimana firman Allah berikut.

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya).” (QS. Al-Maidah: 50).

Berdasar tafsir Al-Jalalain halaman 91, ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak ada hukum siapa pun yang lebih baik dari hukum Allah. Sistem hukum Islam bersifat wajib, konsisten, dan tidak dapat berubah-ubah mengikuti situasi, waktu ataupun tempat. Sehingga kemungkinan untuk merekayasa hukum oleh sebagian golongan bisa dihindari. Sanksi Islam tidak hanya tegas namun juga mampu menghadirkan efek jera. 

Sanksi pidana dalam Islam mempunyai dua sifat, yaitu zawajir dan jawabir. Bersifat zawajir artinya memberikan efek jera di dunia sehingga timbul perasaan atau keinginan untuk tidak melakukan kejahatan yang serupa semisal pemberian hukum qisas di depan umum akan membuat yang menyaksikan berpikir berulang kali untuk melakukan kejahatan yang serupa. Sedang bersifat jawabir artinya mampu menjadi penghapus dosa bagi pelaku di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya berikut.

"Barang siapa yang melakukan suatu kejahatan seperti berzina, mencuri, berdusta lalu dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu maka sanksi itu akan menjadi kafarat (penggugur dosa) baginya.” (HR. Bukhari Muslim).

Seorang qadhi (hakim) dalam sistem Islam mempunyai independensi tinggi dimana setiap keputusannya tidak dapat diubah selama keputusan tersebut tidak melanggar syariat. Keadilan dalam hukum Islam sangat terjaga karena hukum dijalankan tidak tebang pilih seperti saat ini. Bahkan seorang hakim pun diancam hukuman berat jika terbukti melanggar dan menerima suap. Hal ini tentu mampu menekan peluang tindak kecurangan hukum sehingga keadilan sebenarnya dapat dirasakan oleh umat. 

Islam mampu menjamin sistem hukum yang tegas dan adil karena bersumber pada aturan Allah SWT. Sanksi hukum dalam Islam ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan dorongan ketakwaan kepada Allah. Islam mengatur segala aspek kehidupan tanpa terkecuali. Karena Allah telah menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna. Tak akan selamat suatu kaum jika mereka tak berpegang pada aturan Allah yaitu sistem Islam kaffah. Wallahu a'lam. []


Oleh: Ika Kusuma W.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments