TintaSiyasi.com -- Kemiskinan adalah kondisi dimana pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari seperti pangan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Sehingga, dalam jangka panjang, akan mengganggu pertumbuhan manusia, seperti stunting dan sebagainya. Angka kemiskinan tertinggi ada di Nusa Tenggara Timur (NTT), mencapai 86 persen dari jumlah penduduknya. Biaya pangan gizi seimbang di NTT mencapai Rp23.126 per orang per hari, Rp1.000 lebih tinggi dari rata-rata nasional Rp22.126. (www.cnbcindonesia.com)
Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia supaya mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity. Menurut mereka, seharusnya garis kemiskinan di Indonesia diukur dengan paritas daya beli melalui besaran pendapatan sebesar US$ 3,20 per hari, bukan dengan ukuran yang pemerintah gunakan sejak 2011 sebesar US$ 1,9 per hari.
PR Negara
Kemiskinan adalah problem kompleks yang berakar dari penerapan sistem politik ekonomi yang asasnya rusak sehingga memproduksi berbagai kerusakan. Sistem ini tidak lain adalah sistem kapitalisme neoliberal yang tegak diatas asas sekularisme dan diusung negara-negara adidaya, lalu dipaksakan penerapannya di negeri-negeri lainnya.
Kemiskinan memang selalu saja jadi PR besar bagi tiap rezim pemerintahan. Namun, ironisnya, problem ini selalu jadi jualan politik saat jelang pesta lima tahunan. Para pemburu kekuasaan tidak sungkan-sungkan berjanji akan serius mengentaskan kemiskinan. Seraya membius masyarakat dengan embusan “angin surga” kesejahteraan.
Meski pun selalu berganti rezim dan selalu berganti pemimpin, masalah kemiskinan tidak pernah selesai. Pemimpin daerah hanya sekedar mengklaim bahwa daerahnya tidak ada kemiskinan namun faktanya masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan hingga kelaparan melanda.
Bayangkan saja, per September 2022, BPS mencatat garis kemiskinan di Indonesia mencapai Rp535.547 per bulan per kapita. Angka ini dihitung dari rata-rata pengeluaran masyarakat, bukan dengan yang semestinya. Dengan standar itulah, diperoleh data penduduk miskin pada periode yang sama sebanyak 26,36 juta orang, atau setara dengan 9,57% dari total penduduk Indonesia.
Dengan kata lain, penduduk dengan pengeluaran masyarakat sekitar 400 - 600 rib per bulan, sudah tidak dikategorikan miskin lagi. Padahal, di tengah biaya kebutuhan pokok yang serba mahal, termasuk biaya pendidikan, kesehatan, listrik, BBM, air bersih, transportasi, dan sebagainya, angka sekecil itu tidak mungkin bisa menutup biaya hidup normal bagi orang per orang. Sehingga tidak heran akhir 2022 banyak balita yang terkena stunting karena kurangnya asupan gizi dan nutrisi. Selain itu kasus kriminalitas, perceraian, kelaparan hingga kasus kesehatan mental yang makin mewabah di mana-mana. Di beberapa daerah di Indonesia, semua kasus tersebut makin merata.
Ekonomi Kapitalis Bukan Solusi
Sepanjang struktur politik ekonomi global ala kapitalisme neoliberal ini tegak dan dilestarikan, maka problem kemiskinan dan segala bentuk dampaknya dijamin akan tetap ada. Gurita kapitalisme global akan terus mencengkeram melalui tentakelnya yang sudah masuk pada level kekuasaan lokal, sekaligus mengooptasi paradigma berpikir mereka dalam memperlakukan rakyatnya.
Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa sejatinya tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan sesuai dengan akar masalah kemiskinan. Yang nampak nyata justru pencitraan dan kebijakan membela pemimpin. Inilah wajah buram kapitalisme. Kapitalisme adalah sebuah ideologi yang berasaskan manfaat, sehingga Ketika persoalan itu tidak ada manfaat bagi pemangku kebijakan maka akan dibiarkan saja. Seperti halnya yang terjadi saat ini. Masalah kemiskinan tidak akan pernah selesai selama masih menggunakan sistem kapitalisme.
Solusi Sistem Islam
Akuntabilitas sistem Islam dalam menjamin kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan bagi semua orang bukan sekadar teori atau wacana mengawang-awang. Belasan abad lamanya sistem ini tegak dan melahirkan peradaban mulia dan melahirkan masyarakat dengan level kesejahteraan yang tiada bandingan.
Negara atau penguasa dalam sistem Islam benar-benar akan memfungsikan dirinya sebagai pengurus umat sekaligus pelindung mereka secara orang per orang. Ini karena mereka paham bahwa kepemimpinan adalah amanah berat yang harus siap dipertanggungjawabkan di keabadian.
Oleh karenanya, negara akan secara konsisten menerapkan seluruh hukum Islam, terutama sistem politik ekonomi Islam, serta sistem-sistem lainnya yang mencegah kezaliman, termasuk penguasaan kekayaan oleh segelintir orang. Negara Islam juga pantang tunduk pada tekanan asing dan menolak segala bentuk penjajahan, bahkan siap memimpin peradaban dalam skala global.
Politik ekonomi Islam dengan paradigma ruhiyah yang mendasarinya, mewajibkan negara atau penguasa memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara orang per orang. Negara dengan segala modal kekayaan yang ada dan ditetapkan syarak tadi, wajib menciptakan situasi yang kondusif bagi setiap laki-laki untuk bekerja hingga dia dan keluarganya bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Pada saat yang sama, negara akan menjamin kehidupan rakyat yang lemah, sekaligus menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi seluruh rakyatnya dari pengelolaan harta kekayaan milik mereka.
Wallâhu a’alam bish-shawâb wa shallallâhu ‘alâ nabiyyinâ Muhammad.
Oleh: Dzakiyah Kadziyah Al Khansa Wahdah, S.Pd.,Gr
Guru dan Pemerhati Remaja
0 Comments