TintaSiyasi.com -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat (5/5) mengatakan bahwa COVID-19 tidak lagi memenuhi syarat untuk dianggap sebagai darurat global. Ini menandai akhir simbolis pandemi virus corona yang menghancurkan, yang pernah memicu lockdown dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Menjungkir balikkan perekonomian global dan menewaskan sedikitnya tujuh juta orang di seluruh dunia.
WHO telah mengakhiri status darurat Covid-19, namun tidak berarti pandemi sudah berakhir. Nyatanya, virus masih tetap ada. Namun masing-masing negara diberi kebebasan dalam menanggulanginya sendiri. Pembiayaan bagi masyarakat yang terinfeksi Covid pun tidak lagi ditanggung pemerintah. Begitu pula tidak ada edukasi akan kondisi ini. Sehingga dapat terjadi mispersepsi atas penyakit ini di tengah masyarakat (voaindonesia.com, 5/5/2023).
Dilansir dari Liputan6.com (5/5/2023), hingga kini masih terus dilaporkan di Indonesia adanya penambahan kasus positif, sembuh, dan meninggal dunia akibat virus Corona oleh Tim Satuan Tugas atau Tim Satgas Penanganan Covid-19 di Indonesia.
Data per Jumat (5/5/2023) ada penambahan 2.122 orang positif Covid-19. Total akumulatifnya di Indonesia ada 6.784.170 orang terkonfirmasi positif terinfeksi virus Corona yang menyebabkan Covid-19 sampai saat ini.
Kementerian Kesehatan menyambut baik keputusan Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) untuk Covid-19 pada Jumat (5/5).
Indonesia sendiri sebelumnya sudah bersiap bertransisi dari pandemi ke endemi dengan berkonsultasi dengan WHO. WHO menyampaikan bahwa persiapan Indonesia dipandang baik dalam menghadapi transisi pandemi ke endemi (sehatnegeriku.kemkes.go.id, 5/5/2023).
Dengan dinyatakannya Covid-19 sudah bukan merupakan kasus yang darurat lagi oleh WHO, hal ini memperlihatkan bahwa sungguh WHO yang merupakan organisasi kesehatan dunia sekalipun tidak bisa memberikan solusi untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat diberbagai negara.
Inilah permasalahan dari negara yang berasas kapitalisme. Di dalam kapitalisme, penjaminan kesehatan masyarakat juga berlandaskan pada untung dan rugi. Negara hanya memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan setengah hati bahkan terkadang abai terhadap kebutuhan rakyat.
Hal ini terbukti dalam pencegahan kasus Covid-19 beberapa tahun lalu yang terjadi secara berkepanjangan hingga membuat negara dan masyarakat terpuruk dikarenakan solusi yang diberikan oleh kapitalisme bukanlah solusi yang fundamendal. Tetapi solusi yang masih memperhitungkan untung rugi.
Sementara itu, Islam memandang bahwa kesehatan adalah tanggung jawab negara atas rakyat yang harus dipenuhi setiap saat, baik dalam keadaan tidak terjadi pandemi apalahi saat terjadi pandemi, maka pelayanan negara harus lebih ekstra.
Berbagai bentuk layanan kesehatan termasuk promotif dan preventif tentunya akan dilakukan oleh negara Islam.BNegara tetap harus memberikan edukasi, karena masyarakat masih harus peduli terhadap upaya pencegahannya dan menyadari adanya ancaman infeksi.
Konsep jaminan kesehatan yang diatur oleh Islam berasal dari sekumpulan pemikiran yang berasal dari Allah SWT, Dialah Allah sebagai Al-Khaliq (Pencipta) dan Al- Muddabir (Pengatur) kehidupan kita umat manusia. Islam sebagai agama yang sempurna mengatur segala bidang kehidupan termasuk kesehatan. Islam memandang kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Dimana mekanisme pemenuhannya adalah langsung dipenuhi oleh negara. Karena negara dalam Islam adalah sebagai pengatur urusan rakyat, dan penguasa sebagai pelaksana negara akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT atas pelaksanaan pengaturan ini.
Sabda Rasul SAW, "Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR al–Bukhari dari Abdullah bin Umar ra).
Sistem jaminan kesehatan Islam ini akan terlaksana secara sempurna ketika Islam diterapkan secara komprehensif dalam kehidupan kita dengan negara sebagai pelaksananya.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Yusniah Tampubolon
Aktivis Muslimah
0 Comments