TintaSiyasi.com -- Perkembangan teknologi yang makin canggih seiring berkembangnya zaman memang suatu hal yang wajar terjadi, tetapi bagaimana jika kecerdasan teknologi justru menimbulkan badai PHK pada buruh, hal ini mulai menghantam sejak awal pandemi, makin kencang tahun 2022, dan puncaknya mulai menggila di 2023.
Terbukti dari hasil Survei WEF (World Economic Forum) Forum Ekonomi Dunia yang memperkirakan 83 juta pekerjaan di dunia akan hilang dalam lima tahun ke depan. Penurunan terjadi karena perubahan pasar tenaga kerja seiring adanya adopsi teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan ChatGPT (CNN Indonesia, 03/05/2023).
Begitupula Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengeklaim bahwa saat ini lebih dari separuh buruh di Indonesia, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Filipina, setidaknya hampir 137 juta buruh, terancam kehilangan pekerjaan dalam dua dekade ke depan dikarenakan otomatisasi produksi (news.detik.com, 12/07/2018).
Di Indonesia, industri sudah mulai melakukan automasi sehingga memangkas sampai ribuan tenaga kerja buruh. Jumlah buruh menyusut maka pengangguran makin meningkat dan daya serap industri terhadap tenaga kerja non skill tidak sebesar produksi angkatan kerja yang lulus dari sekolah/kampus setiap tahunnya. Sehingga stok pengangguran akan melimpah terutama tenaga kerja skill rendah mereka akan digeser dengan mesin.
Jika manusia tidak bisa bekerja karena posisinya digantikan oleh mesin, mereka tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, maka angka kemiskinan di Indonesia akan meningkat. Teknologi digunakan untuk memudahkan pekerjaan manusia, tetapi jika pemanfaatannya yang keliru bukan membantu justru menimbulkan permasalahan baru dari sisi sosial yaitu kemiskinan.
Tapi selamat datang dalam kehidupan yang diatur oleh sistem kapitalisme ketika teknologi diaruskan oleh para kapital tidak akan peduli apakah maslahat atau tidak tapi dilihat dari untung-rugi. Jika teknologi bisa lebih menghasilkan dari pada tenaga manusia tentu itu akan lebih diutamakan tidak akan ada komplen juga tuntutan upah, absen tidak kerja, ataupun kepentingan-kepentingan pribadi lainnya.
Negara sebagai konstitusi tertinggi harusnya melakukan berbagai upaya agar teknologi tidak menjadi mala petaka, teknologi sebagai pelayanan publik bukan dalam rangka mencari keuntungan. Pada faktanya tidak demikian, ini membuktikan pada kita bahwa riset dan teknologi dalam sistem kapitalis tidak mampu mensejahterakan manusia.
Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menanggapi bahwa kehidupan dibawah kekuasaan kapitalisme hanya mendesain manusia untuk menghidupkan mesin-mesin pemutar uang bukan untuk menghidupkan kehidupan manusia. Sumber daya alam dan sumber daya manusia hanya sebagai aset bagi mekanisme putaran pasar atau uang semata. Akhirnya intelektual diciptakan untuk menginovasi produk-produk agar laku dijual, Ilmu terdedikasi untuk bisnis dan hanya untuk industri global.
Sangat disayangkan teknologi yang berkembang di era revolusi industri 4.0 hingga capaian hightech, namun tidak berdampak pada kemaslahatan umat. Sangat berbeda dengan sistem Islam, riset dan teknologi diarahkan hanya untuk kemaslahatan publik, hasilnya akan dikelola oleh negara untuk tujuan pelayanan umat bukan mengejar keuntungan bahkan dijadikan ajang bisnis. Dalam Islam teknologi realitasnya sebagai ilmu pengetahuan, teknologi diadopsi untuk membantu manusia, difungsikan dengan seperlunya.
Dalam peradaban Islam dibuktikan pada saat era kekhalifahan, para ilmuwan Islam seperti Al-Biruni, Ibnu Sina, dan yang lainnya mendedikasikan ilmunya semata-mata untuk kemaslahatan umat. Dedikasi tersebut benar-benar sampai aplikasinya kepada umat karena memang penguasa konsen terhadap kemaslahatan umat bukan hanya sebagai regulator pasar untuk melayani para pemilik modal kapitalis.
Negara yang menerapkan Islam sebagai sistem kenegaraannya tampil sebagai perisai dan pengurus umat, semisal ketika kekhalifahan Infrastruktur bendungan-bendungan dengan skala raksasa dibangun negara untuk mengairi pertanian rakyat, pelayanan kepada petani bukan bisnis dengan petani, begitulah peran besar negara sebagai perisai umat. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Indi Lestari, A.md.
Aktivis Muslimah
0 Comments