Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Solusi Persoalan Pekerja Migran

TintaSiyasi.com -- Perih dan geram. Mungkin itulah sebagian rasa yang kini dirasakan Meriance, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT yang sempat merasakan penyiksaan oleh majikannya ketika bekerja di tanah Jiran. Bahkan setelah delapan tahun berselang, bekas-bekas penyiksaan yang dahulu pernah ia rasakan seperti  Mulut yang robek, daun telinga yang sudah tidak berbentuk, luka pada lidah dan tulang hidung yang patah sampai detik ini masih dapat disaksikan.

Namun demikian, meskipun bukti-bukti telah jelas diberikan nyatanya keadilan tetap sulit didapatkan. Majikan yang dahulu menyiksanya pada akhirnya justru  dilepaskan (BBC.com 1/03/2023).

Masih dari sumber yang sama, menurut Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono  merupakan salah satu dari sekian banyak korban perdagangan manusia yang rentan menghadapi penganiayaan dan penyiksaan dan hal ini  dialami banyak pekerja rumah tangga di Negeri Jiran.

Bahkan yang lebih mencengangkan, menurut Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyebutkan bahwa rata-rata terdapat satu sampai dua peti jenazah tiba di NTT setiap pekan dalam rentang waktu 2014 hingga 2022. Dan sebagian besar dari korban tersebut merupakan para pekerja migran dari jalur nonprosedural alias ilegal. (BBC.com 6/3/2023)

Menanggapi hal tersebut Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 4 Tahun 2023 yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan perlindungan dan pelayanan bagi pekerja migran. Menurutnya, hadirnya Permenaker ini adalah wujud kehadiran negara untuk teman-teman PMI di mana iuran tetap, manfaat meningkat. 

Dalam Permenaker 4/2023, ada penambahan manfaat jaminan sosial untuk meningkatkan perlindungan dan pelayanan bagi PMI dari risiko sosial, baik karena kecelakaan kerja, kematian, maupun hari tua.

Ida menjelaskan, ada iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKm) sebesar Rp370.000 dengan perjanjian kerja 24 bulan, juga iuran jaminan hari tua (JHT) berkisar antara Rp50 ribu—Rp600 ribu. (BBC.com 3/03/2023).

Mampukah Permenaker  Menghadirkan Perlindungan Paripurna Kepada Para Pekerja Migran? 

Dan mengapa meski sudah banyak korban kasus penyiksaan dan bahkan tak sedikit yang pulang dalam peti jenazah, masih saja banyak warga NTT yang memilih bekerja secara nonprosedural sebagai pekerja migran? 

Bila kita tengok ke lapangan, beberapa alasan para pekerja migran tetap "nekad" mencari penghidupan di negeri orang adalah karena kemiskinan dan sempitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri (Kanimbatam.Kemenkumham.go.id 18/12/2020).

Padahal sumber daya alam yang berlimpah di negeri ini seharusnya mampu membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat. Namun karena pengelolaannya didasarkan pada pengelolaan sistem ekonomi kapitalisme, maka kekayaan alam boleh dikelola oleh pihak swasta baik lokal maupun asing. maka, sebagian besar hasil pengelolaannya pada akhirnya hanya 
dinikmati oleh segelintir orang saja, sedangkan negara hanya menerima "ampas" yang nilainya tak seberapa. 

Padahal bila negara mengambil alih penuh pengelolaan sumber daya alam maka akan ada banyak dana yang bisa masuk ke kas negara. Dengan begitu akan mudah bagi negara untuk menyejahterakan rakyat sehingga kemiskinan tak lagi jadi alasan untuk "nekad" bekerja di negeri orang. 

Tak hanya itu, bila negara benar-benar mencurahkan segala daya upaya untuk mengelola sumber daya alam di negeri ini maka akan terbuka banyak lapangan pekerjaan baru untuk rakyat sehingga rakyat tak perlu lagi susah payah mencari pekerjaan ke luar negeri karena lapangan pekerjaan sudah terbuka lebar di dalam negeri. 

Maka dari itu, karena akar permasalahan yang menimpa pekerja migran adalah kemiskinan dan sempitnya lapangan pekerjaan maka solusi yang diberikan melalui permenaker tersebut nampaknya perlu dikaji ulang. Apalagi dengan adanya iuran yang harus dikeluarkan para pekerja migran bukankah itu justru akan menambah beban pengeluaran yang pada akhirnya akan mendorong lebih banyak lagi pekerja migran nonprosedural karena tak mampu membayar iuran? 

Lagipula bukankah keselamatan rakyat itu memang seharusnya menjadi tanggungjawab negara? Lantas mengapa rakyat harus membayar iuran untuk mendapatkannya? 

Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena penerapan sistem kapitalisme sekulerisme di negeri ini. Dalam sistem sekulerisme aturan dibuat berdasarkan akal manusia yang terbatas. Karena diserahkan kepada akal manusia maka tentu saja akan sarat dengan kepentingan. 

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan Sang Pencipta sebagai pembuat aturan maka tidak akan ada kedzaliman yang akan menimpa manusia. Mengapa? Sebab Sang Pencipta adalah Dzat yang paling memahami karakteristik manusia dan alam semesta. Maka solusi persoalan pekerja migran adalah dengan menerapkan aturan Islam dalam segala lini kehidupan. Wallahu'alam bishshawab.[]

Oleh: Nuril Izzati
Sahabat Tintasiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments