Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rendahnya Taraf Berpikir: Konten Demi Eksistensi, Bertaruh Dengan Nyawa Pun Berani

TintaSiyasi.com -- Salah satu perkembangan yang saat ini berkembang pesat adalah perkembangan media informasi dan komunikasi. Tidak dapat di pungkiri, hampir semua orang mengakses media sosial. Baik digunakan untuk menjadi ladang informasi, popularitas, hingga penghasilan untuk kehidupan sehari-hari.

Kehadiran media sosial bisa dikatakan seperti sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi menawarkan berbagai kemudahan bagi para penggunannya untuk saling berkomunikasi, mengakses dan men-share informasi. Namun, di sisi yang lain akan menjadi boomerang baik bagi penggunanya maupun orang lain. Karena penggunaan yang keluar batas hingga bisa merusak ketertiban dan tatanan sosial masyarakat. Dengan demikian, bermunculan konten-konten di media sosial mulai yang bermanfaat, inspiratif, tidak berfaedah hingga merugikan diri sendiri dan orang lain.

Baru-baru ini terjadi, demi sebuah konten berani mempertaruhkan nyawanya sendiri. Terjadi pada seorang perempuan berinisial W (21) di Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Ia tewas saat sedang membuat konten candaan ingin gantung diri di hadapan teman-temannya melalui video call. Saat video sedang berlangsung, W menyampaikan ke teman-temannya ingin live gantung diri sambal melilitkan kain di lehernya. Namun nahas, kursi yang dipijaknya terpeleset dan membuat dirinya benar-benar gantung diri. Teman-temannya yang melihat kejadian tersebut langsung pergi ke kediaman W, namun Ketika mereka tiba W ditemukan sudah tidak bernyawa (cnnindonesia.com, 3/3/2023).

Kemudian ada pula budaya Flexing, yaitu merujuk pada menyombongkan gaya hidup demi memberikan kesan mampu di hadapan orang lain. Maka sering kita temui konten-konten di media sosial yang mengangkat seputar kekayaan, barang mewah dan sebagainya untuk menarik perhatian dan eksistensi di depan khalayak. Konten semacam ini dapat membuat otoritas masyarakat terfokus hanya kepada soal materi semata.

Dengan kemudahan media sosial tadi, membuat masyarakat berlomba-lomba menjadi pembuat konten demi alasan yang beragam, termasuk alas an materi dan eksistensi. Tanpa memikirkan apakah konten yang ia buat dapat bermanfaat atau malah sebaliknya untuk orang lain ke depannya. 

Miris dengan keadaan generasi muda hari ini, jauh dari harapan sebagai penerus pemimpin negeri “agent of change”. Bersumbu pendek, tak mudah mengontrol emosi, jalan pintas dalam mencari solusi dan meraih masa depan yang tidak pasti. Hingga berujung kematian, akibat kecerobohan demi eksistensi yang sifatnya belum pasti dan sementara.

Masa muda yang hanya datang sekali seumur hidup, dimanfaatkan hanya untuk bersenang-senang. Bebas melakukan apa saja, karena hidup hanya sekali. Ibaratnya seperti ini, “Kita masih muda dan hidup hanya sekali. Jadi, kita bersenang-senang aja dulu. Nanti kalau udah tua dan mau mati baru kita kembali taat deh”. Janganlah tertipu dengan usia muda, karena syarat mati tidak harus tua. Dan janganlah juga terpedaya dengan tubuh yang sehat karena syarat mati tidak meski sakit. 

Maka, perkembangan media sosial ini haruslah dibarengi dengan edukasi yang sepadan untuk mengontrol masyarakat agar tidak terjerumus dalam aksi pembuatan konten yang keliru, menyesatkan dan menelan korbam. Namun, semua ini haruslah diwujudkan dengan peran penuh negara. Negara yang tidak hanya mementingkan materi semata. Negara yang tidak memisahkan agama dari kehidupan. Negara yang menjalankan sistemnya sesuai dengan aturan Allah SWT.

Nyatanya, kita masih hidup di belenggu dengan negara yang bersistem kapitalis sekuler. Negara yang memisahkan agama dari kehidupan. Jadi, wajar jika target di kehidupan kapitalis sekuler ini adalah materi semata. 

Otoritas materi di sistem kapitalis sekuler ini mengarahkan masyakarat menjadi budak di media sosial. Dengan pikiran kosong menerima dan melakukan apa saja yang dirasa menarik perhatian untuk menjunjung eksistensi dan mendulang keuntungan. Kemudian, memisahkan agama dari kehidupan yang membuat standar melakukan sesuatu tidak lagi berlandaskan halal dan haram sesuai hukum Allah SWT, tetapi sesuai kebebasan dan hawa nafsu semata.

Sudah saatnya kita mengembalikan generasi ini kepada Sistem Islam. Dengan kesempurnaan Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek kehidupan, tentu akan terwujud peradaban cemerlang sebagaimana yang pernah terjadi berabad-abad silam.

Generasi muda merupakan sebuah aset peradaban yang sangat berharga. Oleh karena itu, sudah selayaknya mereka dididik dan dibina berdasarkan sistem Islam hingga menjadkan mereka generasi yang berkepribadian Islam.

Dalam sistem Islam akan diterapkan Pendidikan Islam yang berlandaskan aqidah Islam. Hingga tujuan hidup para generasi akan terarah sesuai dengan fitrahnya yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan taat akan syari’at-syari’at-Nya.

Dengan demikian, marilah kita kuatkan niat, tekad dan bersatu untuk mengembalikan kebangkitan Islam. Senantiasa berdakwah dan berjuang meruntuhkan sistem yang kufur ini “kapitalis sekuler”. Karena dengan kembalinya kebangkitan Islam, kita tidak akan dipusingkan dengan standar dan aksi masyarakat yang keliru. Cukup hanya menjadikan standar sesuai syari’at Allah SWT. Selain itu, dengan kembalinya Islam, berarti kita juga menyelamatkan generasi muda sekaligus menyelamatkan peradaban.

Wallahu a'lam bisshawab.

Oleh: Mariatul Kiftiah
Pegiat Pena Banua
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments