TintaSiyasi.com -- Selain dipakai shalat, biasanya masjid ramai oleh pengajian rutin ibu-ibu baik itu sepekan sekali atau sebulan sekali. Atau dulu ketika kita masih kecil banyak di antara kita pasti sering yang namanya ngaji ke TPA, MDA, atau sebutan lainnya. Kegiatan saat ngaji tentunya belajar ilmu islam seperti fiqih, akidah, Bahasa Arab, Al-Qur'an, hadis, dan lain sebagainya. Sebagian besar umat Muslim pasti tahu bahwa ngaji itu hukumnya wajib, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224). Ngaji juga tidak lekang oleh waktu dan tidak ada batas usia. Seperti pepatah orang Arab “Tuntutlah ilmu dari buaian (bayi) hingga liang lahat.”
Tentu saja, ilmu yang dicari adalah ilmu syari. Dengan memahami ilmu syari akan membuat seseorang memahami hukum syara yang terikat dalam setiap aktivitas kehidupan. Memahami ilmu syari juga menjadikan seseorang memahami kewajiban beribadah, muamalah, mengenal Allah, sifat-sifat Allah, dan lain sebagainya yang akan sangat berguna dalam mengarungi kehidupan agar tidak menapaki jalan yang salah. Selain itu, orang yang menuntut ilmu syari akan Allah angkat derajatnya, “Dan apabila dikatakan 'Berdirilah kamu', maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS. Al-Mujadalah ayat 11). Rasulullah SAW juga bersabda, “Dan sesungguhnya para Nabi tidak pernah mewariskan uang emas dan tidak pula uang perak, akan tetapi mereka telah mewariskan ilmu (ilmu syari) barang siapa yang mengambil warisan tersebut maka sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Ahmad).
Kebaikan-kebaikan tersebut tentu saja akan didapatkan di pengajian. Karena ilmu agama yang dipelajari di sekolah tidak akan cukup. Bayangkan saja, pelajaran agama hanya mendapat jatah 2 jam pelajaran. Sedangkan ilmu agama yang begitu luasnya diperlukan selama kita hidup. Ini karena kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Orang sekuler menganggap agama adalah norma yang hanya diterapkan dalam satu aspek saja, yaitu aspek spiritual. Sedangkan Islam bukanlah agama yang seperti itu. Islam adalah agama sekaligus ideologi yang menjadi pedoman kehidupan. Islam memiliki panduan dan aturan dalam setiap aspek kehidupan mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya, bahkan dalam pendidikan.
Bisa kita lihat, generasi hasil pendidikan yang menggunakan kurikulum sistem sekuler adalah generasi yang materialistik, tidak paham tujuan dan hakikat hidup, juga memiliki mental yang rapuh. Generasi saat ini hanya berkutat pada aspek materi, bagaimana caranya memiliki popularitas, meraup uang sebanyak-banyaknya agar bisa membeli apapun yang diinginkan dan bisa pergi kemanapun yang diinginkan. Bagi generasi seperti ini, jangankan ngaji menuntut ilmu syari. Jika kesenangan dunia tidak mereka dapatkan, mereka bahkan akan meraihnya dengan segala cara tanpa peduli halal atau haram. Orang yang tidak mengkaji ilmu agama akan mudah terjerumus dalam kubangan dosa seperti pacaran, zina, tawuran, korupsi, berbuat curang, meninggalkan ibadah, berbuat syirik, dan lain sebagainya.
Hal tersebut akan sangat berbeda bagi generasi yang suka ngaji. Mereka memahami bahwa ngaji adalah perintah Allah yang harus dilaksanakan. Dengan ngaji mereka akan memiliki kecerdasan yang akan membantu dalam mengarungi kehidupan. Karena dengan ngaji akan dibahas mengenai Islam sebagai solusi seluruh problematik kehidupan. Saat mereka memiliki masalah, mereka akan melihat penyelesaiannya sesuai hukum syara. Mereka meyakini bahwa Allah sebaik-baik pembuat aturan dan sebaik-baik penolong. Mereka juga yakin bahwa kebahagian hakiki bukan terletak pada seberapa banyak materi, namun seberapa taat kepada Sang Ilahi.
Jadi, masihkah enggan mengaji?
Padahal Allah sudah berjanji memberikan kebahagian yang hakiki “… Barang siapa yang meniti suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga…” (HR Ahmad).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Dikara Nur Izabah
Mahasiswi Sumedang
0 Comments