Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Indonesia: Peringkat Kedua TBC di Dunia dan Lemahnya Ketahanan Negara

TintaSiyasi.com -- Setelah temuan lonjakan kasus ginjal akut dan pneumonia beberapa waktu lalu. Kini Indonesia dihinggapi kembali kabar tak sedap bukan level regional namun dunia. Betapa mengejutkan Indonesia yang memiliki populasi penduduk 270 juta jiwa ini justru memnempati peringkat kedua di dunia akibat jumlah penderita TBC terbanyak.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan terjadi kenaikan sangat signifikan atas temuan kasus tuberkulosis (TBC) pada anak di Indonesia. Kenaikan itu bahkan melebihi 200 persen. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes Imran Pambudi menilai kenaikan ini terjadi lantaran banyak orang tua yang tidak menyadari gejala TBC atau tidak segera mengobati penyakitnya sehingga berimbas penularan pada kelompok rentan seperti anak-anak.

Dalam pernyataannya Imran mengatakan kasus TBC anak mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Dari 2021 ada 42.187, kemudian 2022 ketemu 100.726, jadi ini naik lebih dari 200 persen," kata Imran dalam acara daring 'Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2023' (Cnnindonesia.com, 18/3/2023).

Peringkat dunia ini jelas sesuatu yang amat memalukan khususnya dalam pengurusan kesehatan di negeri ini. Di mana kita tahu bersama betapa besarnya biaya iuran asuransi kesehatan namun sering tidak sebanding dengan tingkat kesehatan rakyatnya. Jika sudah seperti ini siapa yang mau disalahkan?

Lemahnya “Daya Tahan Tubuh” Negara dalam Kapitalisme

Rentannya penduduk Indonesia akan penyakit menular memberikan gambaran kepada kita akan kualitas sistem pelayanan kesehatan juga rendahnya tingkat pendidikan sebagai bentuk pencegahan melalui edukasi dari pihak berwenang.

Kondisi ini juga mencermikan rentannya daya tahan tubuh rakyat Indonesia hari ini. Tingginya kemiskinan dan stunting juga terbatasnya sarana kesehataan jelas memberikan kontribusi yang cukup besar.

Di sisi lain fakta ini menunjukkan lemahnya berbagai upaya yang dilakukan meski sudah menggandeng ormas, bahkan kerja sama dengan luar negeri hingga WHO. Demikian juga menunjukkan lemah dan jahatnya sistem sekuler kapitalis yang menjadi asas pengaturan urusan saat ini, yang bahkan menjadikan orang sakit sebagai komoditas untuk dikapitalisasi.

Bagaimana potret pengobatan dinegeri ini yang berputar pada berbelitnya proses administrasi hingga kualitas pelayanan imbas dari klasifikasi tingkatan pembayaran asuransi kesehatan. Bagaimana banyaknya kasus korban meninggal dampak dari lambatnya pelayanan akibat belum memiliki BPJS. Nyawa melayang karena sebuah “kartu sakti”, jelas ini adalah perilaku yang tidak manusiawi.

Semua ini terjadi tidak lepas dari paradigma pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dikapitalisasi. Kesehatan adalah barang mahal dalam sistem kapitalisme, di mana masyarakat harus membayar mahal untuk “membeli” pelayanan kesehatan. Sementara rakyat Indonesia masih didominasi oleh kalangan masyarakat menengah kebawah. Data dari BPS merilis ada sekitar 26 juta orang penduduk miskin di Indonesia (voaindonesia.com, 17/1/2023).

Dari kasus TBC ini memberikan gambaran bahwa tindak pencegahan masih belum dilakukan secara serius oleh negara.

Negara Sehat dengan Sistem yang Kuat

Islam menetapkan negara adalah pengurus rakyat, termasuk dalam penanggulangan penyakit. Negara berkewajiban melaksanakan berbagai upaya dan langkah yang komprehensif untuk menanggulangi akar masalah secara tuntas, melalui sistem kesehatan yang handal yang ditopang oleh sistem politik dan ekonomi berdasarkan Islam.

Dalam pandangan Islam, kesehatan adalah kebutuhan asasi bagi rakyat. Ibadah yang kuat didukung dengan kondisi fisik yang sehat. Sehingga sudah menjadu tanggung jawab negara terhadap pemenuhan kebutuhan kesehatan rakyatnya.

Seperti penyediaan sarana dan prasarana penunjang kesehatan. Rumah sakit, klinik, terapi, hingga pengobatan harus disediakan oleh negara tanpa memberikan pembeda bagi kalangan masyarakat atas ataupun kalangan bawah. Sebab konsep keadilan dalam Islam bukan berdasarkan latar belakang ekonomi. Semuanya sama-sama mendapatkan hak pelayanan yang sama termasuk dalam urusan kesehatan. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Dalam riwayat lain saat Umar bin al- Khathab ra menjadi khalifah, beliau menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam (HR al- Hakim).

Pemberian jaminan kesehatan yang gratis dan berkualitas tentu membutuhkan sumber dana yang besar. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya.

Juga dari sumber-sumber lain seperti kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu bahkan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, secara berkualitas. Wallahu a'lam bishshawab. []
 

Oleh: Nurhayati, S.S.T.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments