TintaSiyasi.com -- Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) mengungkap bahwa 413 penerima beasiswa LPDP yang telah menyelesaikan masa studi enggan pulang ke Indonesia (Kompas.com, 1/02/2023).
Sri Mulyani secara tersirat menyampaikan harapannya kepada para alumni LPDP di luar negeri yang masih enggan untuk pulang agar segera pulang ke Indonesia (CNNIndonesia.com, 3/02/2023).
LPDP mensyaratkan penerima harus kembali di Indonesia untuk mengabdi selama 2 kali masa studi ditambah 1 tahun maksimal 90 hari setelah masa studi selesai. Jika tidak, penerima harus mengembalikan beasiswa yang telah ia terima selama masa studi.
Bukan tanpa alasan, Sri Mulyani berharap agar alumni LPDP ini kembali untuk memenuhi kewajibannya sebagai penerima manfaat beasiswa yang sumber pendanaannya berasal dari rakyat tersebut. Permintaan ini jelas makin dijadikan bahan pembicaraan oleh warganet dan mereka ramai-ramai memprotes perilaku penerima manfaat tersebut karena dianggap menyia-nyiakan uang rakyat.
Sosiolog Universitas Airlangga, mengelompokkan penerima beasiswa yang tidak mau pulang ini menjadi dua kelompok. Pertama, penerima yang memang enggan pulang karena memang lalai dari tanggung jawabnya. Kedua, adalah golongan penerima yang enggan pulang tapi tetap melakukan kewajibannya untuk membayar pembiayaan yang ia terima serta pajak karena ia bekerja di luar negeri.
Sosiolog tersebut menamakan fenomena ini dengan brain drain, yaitu perpindahan cendekiawan di suatu tempat menuju tempat lain yang memiliki lingkungan kerja lebih baik, sehingga tempat tersebut kehilangan orang yang pandai serta terampil. Indonesia mengalami brain drain karena banyak tenaga terdidik yang enggan pulang untuk mengabdi dan memilih untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri yang dianggap memberikan lingkungan kerja yang lebih baik.
Fenomena ini lumrah terjadi di negara yang tidak memberikan sesuatu yang diharapkan oleh cendekiawan tersebut. Apa saja? Mulai dari gaji yang lebih sedikit jika dibandingkan tempat ia belajar, apresiasi yang kurang, serta lingkungan pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak dapat mewujudkan apa yang ingin cendekiawan ini kembangkan.
Sehingga tidak heran jika para cendekiawan ini tergiur oleh tawaran industri yang menjanjikan imbalan yang besar, serta fasilitas riset yang memadai meskipun pada akhirnya hanya menjadi alat untuk memperkaya industri besar dan melupakan kemanfaatannya pada masyarakat luas.
Dari sini, memang peran negara sangat besar untuk mewujudkan harapan para cendekiawan serta menjadikan mereka 'senang' untuk memberikan segala kemampuan yang mereka miliki untuk umat. Bagi Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, mestinya tidak akan mengalami kesulitan untuk memenuhi segala kebutuhan para cendekiawan tersebut, yakni gaji yang memadai dan fasilitas riset yang andal.
Namun karena kesalahan tata kelola sumber daya alam oleh negara akhirnya sulit untuk mewujudkan hal tersebut. Negara terjebak pada kebijakan kapitalisme global dengan memberikan kebebasan kepemilikan sumber daya alam kepada perusahaan swasta domestik maupun internasional.
Akibatnya negara hanya mendapat manfaat yang sangat kecil dari sumber daya alam yang melimpah ruah. Di satu sisi yang lain. System kapitalis ini telah mendidik masyarakat untuk menimbang segala sesuatunya berdasarkan materi, sehingga lebih tergiur mendapat imbalan besar dibanding bersusah payah mengabdi pada masyarakat di negara sendiri.
Hal ini berbanding terbalik dengan masa kejayaan Islam. DI masa kejayaan Islam pada abad ke 10-12 M, riset sangat berkembang karena khilafah memberikan upah yang besar pada tiap orang yang berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar para cendekiawan ini hidup dengan nyaman dan tak repot mencari penghasilan dan fokus pada risetnya.
Selain itu, brain drain ini secara otomatis terhindarkan karena para cendekiawan hanya mengembangkan pengetahuan tak lain karena akidahnya sebagai seorang muslim dan keimanannya pada Allah melalui upayanya bermanfaat bagi umat. Khilafah juga membentuk karakter seorang cendekiawan yang berkualitas melalui kurikulum yang terstruktur sesuai dengan akidah Islam, menyejahterakan para pendidiknya.
Khilafah dapat melakukan hal tersebut karena seluruh pengaturan bernegaranya diatur oleh syariat yang tentu linier dengan tujuan hidup manusia, yaitu beribadah kepada Allah. Dalam hal ini, Islam tentu akan memberikan rahmat bagi seluruh alam. Wallahu A'lam bishshawab.[]
Oleh: Pipit NS
(Sahabat Tintasiyasi)
0 Comments