TintaSiyasi.com -- Dilansir dari Tirto.id (19/01/2023) bahwa telah terjadi unjuk rasa yang dilakukan oleh sejumlah kepala desa di depan Gedung DPR RI pada tanggal 17 Januari 2023. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Sebab, menurut mereka masa jabatan 6 tahun sebagaimana yang diatur pasal 39 UU Nomer 6 tahun 2014 masih terlalu singkat. Mereka berdalih, waktu 6 tahun hanya habis untuk konsolidasi. Hal ini disampaikan oleh Robi Darwis, salah satu peserta unjuk rasa di depan Gedung DPR RI tersebut. Kemudian, unjuk rasa ini mendapatkan respon persetujuan dari pemerintah. Dewan Perwakilan Rakyat RI dan pemerintah bersedia untuk mengakomodir tuntutan ini. Presiden Jokowi menyatakan bahwa tuntutan ini masuk akal. Menurutnya, dinamika di desa berbeda dengan dinamika di kabupaten seperti pemilihan gubernur.
Meskipun begitu, tak sedikit pihak yang justru mengkritik tuntutan ini. Peniliti kebijakan dari Institute For Development OF Policey And Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro beranggapan, indikator pembangunan desa bukan dari masalah jabatan. Melainkan soal kepercayaan warga desa kepada kinerja aparatur desa mereka. Menurutnya, jika mengacu pada indikator kinerja, maka kebijakan perpanjangan jabatan justru dikhawatirkan menjadi upaya mendorong kepentngan politik pribadi. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya warga yang menuntu perpanjangan jabatan Kades.
Analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurniasyah juga mengkritik. Ia mengatakabn bahwa perpanjangan masa jabatan justru akan membuat potensi korupsi semakin besar. Mengingat data KPK sejak 2012-2021 tercatat Kades di tanah air terjerat kasus korupsi. Jadi, opsi yang sebaiknya diambil adalah semakin dibatasi dan bukan diperpanjang.
Dedi juga menyatakan bahwa kebijakan penambahan masa jabtan patut dicurigai sebagai bagian dari kebijakan gratifikatif. Terlebih saat menjelang Pemilu ini. Ia khawatir ada bargaining politik terkait regulasi itu. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kemunculan gerakan kepala desa mendukung 3 periode.
Cengkraman Oligarki
Dalam sistem sekuleisme (Pemisahan agama dari kehidupan) tentu meniscayakan penolakan terhadap campur tangan Tuhan (Agama) dalam mengatur kehidupan. Manusia mengambil alih hak Tuhan dalam membuat hukum dengan mengklaim bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Sehingga rakyatlah yang menjadi penentu benar-salah, baik -buruk, dan halal-haram.
Dengan demokrasi rakyat bisa menentukan nasibnya sendiri. Berlindung dari prinsip itulah, oligarki bekerja. Mereka bisa menentukan siapa yang duduk mewakili rakyat. Tidak mungkin orang baik yang tidak punya sumber daya finansial bisa menjadi wakil rakyat. Yang bisa, hanyalah mereka yang memiliki uang atau orang yang dibiayai oleh para oligarki. Hal ini tentu berlaku di setiap level penguasa, termasuk kepala desa.
Kuasa oligarki tentu saja sangat membahyakan negeri. Bila terus dibiarkan, negeri ini akan semakin terpuruk ke jurang korporatokrasi. Bukan lagi rakyat yang berdaulat sebagimana yang diteorikan. Jelaslah rakyat hanya akan dijadikan alat legitimasi untuk nafsu serakah mereka, para oligarki. Keadilan ekonomi, politik, dan hukum serta kedailan sosial semakin jauh dari nyata.
Inilah akar seleuruh problematika yang menyelimuti rakyat. Penerapan sistem seuleris-kapitalis yang melahirkan demokrasi. Menyerahkan timbangan baik-buruk atau halal-haram jelas sebuah kesalahan fatal. Asas manfaat yang didambakan ternyata hanya merugikan rakyat banyak.
Maka, jelaslah bahwa kebijakan pemerintah dalam merespon tuntutan ini merupakan bagian dari kebijakan gratifikatif. Kedua belah pihak sama-sama ingin melanggengkan kekuasaaanya demi memperkaya dirinya. Sebagimana yang kita ketahui, dalam demokrasi jabatan dan kekuasaan menjadi alat untuk memperkaya diri. Setelah sebelumnya sistem ini menciptakan kontes politik mahal yang meniscayakan keterlibatan cuan dan oligarki. Maka pantas saja, jika para pejabat yang dilahirkan oleh sistem demokrasi adalah para pejabat yang tak lagi bervisi sebagi pengurus rakyat. Dan justru berusaha menjadi musuh rakyat dengan terus mengeksploitasi kekayaan rakyat.
Tega melaksanakan politik transaksional, jual-beli jabatan dan kebijakan selagi punya sumber daya finansial. Hingga tak heran lagi jika hukum dan kebijakan yang dihasilkan hanya berputar pada kepentingan korporat dan oligarki.
Hanya Islam Sebagai Solusi
Berbeda dengan sistem islam yang hanya mampu diterapkan dalam sebuah institusi negara. Dalam sistem Islam, kedaulatan berada di tangan syara’. Konsekuensinya semua hukum dan perundang-undangan bersumber dari Al-quran, as-sunnah, ijma’ sahabat, dan qiyas syar'i. Semua hukum yang ditetapkan oleh dalil syara’ tersebut wajib diterapkan. Tak ada konsekuensi lain ketika para pejabat ini termasuk pemimpin tertinggi melakukan penyimpangan dari syara’ selain ia akan dilengserkan dari jabatannya.
Dalam Islam, seorang kepala negara tidak bisa membuat hukm sendiri. Semuanya harus tunduk patuh pada syara’. Maka tentu ia tidak boleh menerima gratifikatif untuk merubah hukum dan demi memperkaya diri. Ia juga tentu akan memberikan pengawasan dan memonitor aktivitas para pejabat dan aparatur dibawahnya. Maka, dalam sistem Islam masa jabatan tidak dibatasi dengan masa tertentu. Bahkan bisa sampai akhir hayatnya selagi ia berhukum dengan syara’.
Pemimpin dalam Islam laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Dan tanggung jawab ini tentu tidak hanya di dunia. Tetapi ia akan berdiri bertanggung jawab atas rakyatnya dihadapan Allah SWT pada hari kiamat kelak. Maka, tak ada jalan lain untuk menghilangkan cengkraman oligarki atau korporatokrasi selain dengan diterapkan sistem Islam. Sehingga syariat islam mampu diterapkan secara keseluruhan dan mampu melahirkan para pejabat yang bervisi sebagai pengurus umat. Selain itu penerapan syariat Islam juga tentu akan mengundang turunnya rahmat Allah SWT bagi negara ini. Wallahu a’lam bis shawab.
Oleh: Diajeng Annisaa
Aktivis Muslimah
0 Comments