TintaSiyasi.com -- Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Lewat didikan seorang ibu akan melahirkan banyak generasi hebat harapan umat di masa depan. Akan tetapi hal tersebut hanya bisa terjadi jika sang ibu memiliki bekal dalam mendidik anak. Salah satu bekal yang penting dimiliki oleh seorang ibu adalah pemahaman agama.
Saat ini, Banyak kalangan ibu yang sudah berinisiatif untuk selalu mengikuti pengajian rutin dalam rangka menambah pemahaman agama seperti mengikuti pengajian majelis taklim ataupun kegiatan keagamaan lainnya. Akan tetapi kenyataan tersebut tidak disambut baik oleh Ketua Dewan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sekaligus presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri.
Melansir kabar dari Republika.co.id (19/2/2023), Megawati Soekarnoputri memicu kontroversi di media sosial dengan salah satu ucapan dalam pidatonya saat menjadi pemateri dalam Seminar Nasional Pancasila dalam Tindakan: ‘Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting, Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan, Kekerasan dalam Rumah Tangga, Serta Mengantisipasi Bencana’ di Jakarta Selatan pada Kamis 16 Februari Lalu Megawati mempertanyakan mengapa banyak ibu-ibu saat ini yang senang ikut pengajian. Dia juga berpesan agar para ibu bisa membagi waktu agar waktunya tidak habis untuk pengajian dan melupakan gizi anak. Seolah pengajian menjadi biang kerok yang bisa membuat para ibu melalaikan gizi anak dan aktivitas yang harus segera ditinggalkan.
Buah Pemikiran Sekuler
Pernyataan tersebut merupakan buah dari pemikiran sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Kegiatan mengkaji agama oleh para ibu yang seharusnya diapresiasi positif malah dianggap sebagai bentuk kegiatan yang akan membawa masalah. Ilmu agama dalam sistem kapitalis sekuler saat ini tidak dianggap sebagai hal yang penting untuk dipelajari karena agama hanya digunakan dalam aspek ritual semata dan tidak digunakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Seorang ibu yang mengemban pemikiran sekuler ini akan mendidik anak-anaknya sesuai pemahaman yang dimiliki. Ilmu agama tentunya tidak menjadi prioritas. Banyak orang tua yang panik jika anaknya mendapatkan nilai akademik yang rendah, sebaliknya terlihat santai saja jika anaknya belum lancar membaca Al-Qur’an atau jika belum melaksanakan kewajiban shalat lima waktu. belum lagi jika ditinjau dari pemahaman terhadap akidah, adab, akhlak, hingga politik Islam tentu lebih miris lagi.
Pemikiran sekuler ini menempatkan kesuksesan hanya berorientasi mencetak generasi yang sukses dalam pencapaian materi. Orientasi kesuksesan dan kebahagiaan seorang manusia hanya untuk dunia bukan akhirat. Dengan pemikiran seperti ini maka wajar jika lahir persepsi buruk kepada orang-orang yang ingin mempelajari agamanya dengan lebih mendalam. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang mabuk agama yang harus segera disadarkan. Agama dianggap sebagai racun yang membawa keburukan bagi manusia terutama para ibu. Istilah pengajian yang bermakna positif seolah dikerdilkan. Padahal antara rutinitas ibu-ibu yang mengikuti pengajian dengan pembagian waktu mengurus anak bukanlah dua hal yang perlu dipermasalahkan. Keduanya bisa berjalan beriringan bahkan tidak boleh ditinggalkan salah satunya. Justru dengan mengikuti pengajian, seorang ibu akan memiliki bekal ilmu agama dalam mendidik anak. Mengikuti pengajian adalah bentuk pelaksanaan kewajiban menuntut ilmu dan mengurus anak adalah kewajiban sebagai seorang ibu yang telah diamanahkan memiliki anak oleh Allah SWT.
Pemikiran sekuler yang masih tetap eksis melahirkan generasi yang mudah tergerus rusaknya zaman dan menjadi pelaku kerusakan. Banyaknya anak dengan akidah yang lemah, mudah terombang-ambing pergaulan bebas, narkoba, hamil di luar nikah, dan segudang perilaku rusak lainnya tak bisa dipisahkan dari peran orang tua terutama peran ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya yang lalai dan abai dalam pendidikan agama anak.
Pentingnya Pemahaman Agama Seorang Ibu
Dalam asuhan para wanita terutama seorang ibu merupakan awal tumbuhnya generasi baru yang menjadi tugas yang sangat mulia dalam perannya memperbaiki masyarakat. Dalam sebuah ungkapan syair dikatakan “ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya”. Seorang ibu harus punya bekal ilmu terutama ilmu agama.
Bagaimana mungkin seorang ibu bisa menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya tanpa ilmu agama yang baik, Hal itu sangat tidak masuk akal. Seorang ibu adalah teladan bagi anak-anaknya. Tentunya jika ingin mencetak generasi yang bertakwa maka sang ibu juga harus bertakwa. Jika ingin anaknya menjadi orang yang baik, maka tentu seorang ibu harus menjadi seseorang yang baik terlebih dahulu.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Furqaan ayat 74: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami dan keturunan kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi golongan orang-orang yang bertakwa.”
Dari ayat di atas, orang tua dituntut untuk menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Semua itu bisa diwujudkan jika para ibu senantiasa bersemangat untuk terus memperbaiki diri dengan mempelajari agama dan mengamalkannya serta mengajarkan kepada anak-anaknya.
Hadir di pengajian dianggap melalaikan anak adalah tuduhan tak berdasar. Ini adalah bentuk salah paham terhadap aktivitas menuntut ilmu agama yang hukumnya fardhu ain bagi setiap Muslim termasuk Muslimah. Jika tidak dilaksanakan maka akan terhitung sebagai pelalaian kewajiban sebagai Muslim dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Pengajian menjadi alternatif untuk memahami berbagai hukum Allah secara kaffah yang dibutuhkan dalam mengarungi kehidupan, termasuk dalam mendidik anak agar selalu dalam ridha Allah. Ilmu wajib yang justru tidak didapatkan di bangku sekolah yang memiliki kurikulum sekuler justru bisa didapatkan melalui kegiatan pengajian yang diadakan di luar pendidikan formal bahkan terkadang dengan biaya yang gratis. Ilmu agama dianggap tak penting sehingga hanya diberi waktu 2 (dua) jam per minggu bahkan diwacanakan untuk dihapus dari kurikulum pendidikan di Indonesia.
Dalam negara Islam, mengkaji Islam secara kaffah merupakan bagian dari program pembinaan kepribadian setiap individu yang terintegrasi dalam kurikulum dan kebijakan negara lainnya sehingga akan menghasilkan individu yang beriman dan bertakwa, tinggi taraf berpikirnya, kuat kesadaran politiknya yang juga menjadi bekal bagi para ibu untuk mendidik anaknya menjadi Muslim berkepribadian Islam calon pemimpin masa depan.
Peradaban Islam telah melahirkan banyak teladan perempuan mulia yang telah berhasil mencetak generasi yang bertakwa. Imam syafi’i yang merupakan seorang yatim dapat menjadi seorang imam besar yang ilmunya menebar banyak manfaat bagi kaum muslimin hingga akhir zaman, beliau dilahirkan dan dibesarkan oleh seorang ibu yang begitu peduli dengan pendidikan anaknya. Terdapat pula kisah seorang ibu yang luar biasa dalam menghasilkan seorang tokoh besar tabi'at-tabi’in seorang fakih yang disebut sebagai pemimpin umat Islam dengan hadis nabi yang selalu dinasehati ibunya untuk semangat menggapai pengetahuan dan rela menanggung biaya pendidikan anaknya dengan memintal benang. Atau kisah ibu Imam Ahmad Bin Hanbal yang ditinggal wafat suaminya di usia 30 tahun dan enggan menikah lagi. Ia hanya fokus memenuhi kebutuhan anaknya dan berhasil menjadikannya sebagai salah seorang imam besar bagi kaum Muslim, ia adalah salah satu imam madzhab yang empat.
Dari beberapa kisah tersebut terlihat bahwa betapa besarnya pengaruh seorang ibu yang memiliki pemahaman agama dan keimanan yang kuat. Mereka akan mencetak generasi yang hebat dan membawa manfaat bagi umat. Mereka tiada mengharap balasan duniawi, tetapi ridha Allah dan surganya adalah harapan terbesar mereka. Mental para ibu yang bervisi surga pencetak generasi bertakwa hanya mampu dilahirkan dengan membuang pemikiran sekuler dan menggantinya dengan pemikiran Islam. Tentunya kondisi tersebut hanya bisa diwujudkan dengan sempurna jika ideologi Islam diemban oleh individu dan masyarakat serta diterapkan oleh negara dalam setiap aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh:
Suhailah Bassam Ariqah, S.Pd.
Guru dan Aktivis Muslimah
0 Comments