Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa, Perpanjangan Tangan Oligarki?

TintaSiyasi.com -- Unjuk rasa sejumlah kepala desa di depan gedung DPR RI pada 17 Januari 2023 menuai polemik. Meski mereka diterima anggota dewan dan dijanjikan tuntutannya akan diakomodir dalam revisi UU Desa, tapi tak sedikit yang justru mengkritiknya. Sebab, tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun berpotensi melanggengkan oligarki. Sebagai gambaran, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hingga 3 kali periode (secara berurutan atau terputus-putus). Artinya, jika seorang kepala desa terpilih tiga periode secara berturut-turut, maka ia menjabat sebagai orang nomor satu di sebuah desa selama 18 tahun. Namun bagi Robi Darwis, salah satu peserta unjuk rasa di depan gedung DPR RI tersebut, masa jabatan 6 tahun sebagai mana diatur Pasal 39 UU No. 6 tahun 2014 masih terlalu singkat. 

Peneliti kebijakan dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro beranggapan, indikator pembangunan desa bukan dari masalah masa jabatan, melainkan soal kepercayaan warga desa kepada kinerja aparatur desa mereka. “Jika pun hanya masa jabatan 2 tahun, selama punya kinerja dan bukti nyata, maka kepala desa itu terpilih kembali, kan, untuk periode mendatang,” kata Riko, Rabu (18/1/2023). Jika mengacu pada indikator kinerja, kata dia, maka kebijakan perpanjangan jabatan dikhawatirkan sebagai upaya mendorong kepentingan politik pribadi. Hal ini diperkuat jika tidak ada warga desa yang meminta jabatan kades diperpanjang. Riko menyayangkan sikap kepala desa yang mendorong penambahan masa jabatan tersebut. 

Analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah beranggapan, ada kesalahan logika dalam tuntutan masa jabatan kepala desa. Ia menilai, opsi yang diambil sebaiknya adalah semakin dibatasi dan bukan diperpanjang. “Sebenarnya masa jabatan kepala desa untuk saat ini tidak ada urgensi perubahan, jika pun ada perubahan akan jauh lebih baik jika di batasi, bukan diperlama,” kata Dedi kepada reporter Tirto. Dedi mengingatkan bahwa tidak sedikit kepala desa tersangkut kasus korupsi. Perpanjangan masa jabatan justru akan membuat potensi korupsi semakin besar. Pendapat Dedi bukan tanpa alasan. Mengutip data Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan hasil pemantauan tren penindakan korupsi semester I 2022, 134 dari 252 kasus yang diungkap adalah kasus penyalahgunaan anggaran. Kemudian angka penindakan terbanyak menyasar pada desa, yakni 62 dari total 192 kasus. Angka korupsi desa pun mengalami kenaikan secara konsisten dengan total tersangka pada 2021 mencapai 245 orang atau lebih tinggi dari 2020 yang hanya 172. (tirto.id,19-10-2023)

Rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa menuai tanda tanya. Pasalnya, tak sedikit kepala desa yang justru terjerat kasus korupsi. Meskipun banyak juga desa yang berhasil membangun kemandirian dan mensejahterakan rakyatnya. Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie mengatakan penambahan masa jabatan menabrak semangat otonomi desa. Ia pun menganggap debat berapa tahun  dan periode jabatan kepala desa terkesan pragmatis. "Tampak nafsu berkuasa tanpa batas melupakan filosofi Pancasila yang mensyaratkan nilai-nilai kepemimpinan yang penuh hikmah, kebijaksanaan (wisdom), musyawarah (syuro), keterwakilan," kata Gugun kepada Republika.co.id. 

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar berharap revisi UU Desa ihwal gagasan penambahan masa jabatan Kepala Desa segera ditindaklanjuti dan dibahas dalam agenda program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2023. Menteri yang akrab disapa Gus Halim ini mengatakan, tambahan masa jabatan Kades ini sebenarnya sudah ia sampaikan sejak Mei 2022 lalu saat bertemu dengan para pakar di Universitas Gajah Mada (UGM). "Tepatnya sekitar bulan Mei tahun lalu (2022), saya sudah menyampaikan pemikiran itu di depan para pakar ilmu. Jadi usulan ini juga dikaji secara akademis sehingga sesuai antara kebutuhan dan tindakan yang diambil. Oleh karena itu periodisasi tersebut bukan menjadi arogansi kepala desa namun menjawab kebutuhan untuk menyelesaikan ketegangan pasca-Pilkades," ungkapnya dalam keterangan dikutip Jumat (20/1/2023). 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanees Tuba Helan menilai, perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi sembilan tahun berpotensi menyuburkan kembali praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di desa. Tuba mengatakan, hal itu menanggapi tuntutan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan permintaan perpanjangan periode kepemimpinan dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Tuntutan tersebut disampaikan ratusan kepala desa yang mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat. (Republika, 17-01-2023).

Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan pihaknya segera mengkaji efektivitas perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun dalam satu periode. "Efektivitasnya harus kita kaji dulu, tidak boleh terburu-buru, makanya memang kita harus melihat substansi yang mendasar terkait aspirasi teman-teman kades," kata Puan Maharani, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis. Puan juga menyebut DPR RI telah menerima dan memahami aspirasi terkait perpanjangan masa jabatan kades, usai ratusan kades dari berbagai daerah di Indonesia menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta. (Republika, 17-01-2023).

Usulan perpanjangan masa jabatan dibutuhkan untuk melaksanakan program pembangunan karena 6 tahun hanya cukup untuk konsolidasi. Apalagi jika dikaitkan dengan banyaknya kepala desa yang menjadi pelaku korupsi. Di sisi lain, hal ini menunjukkan perbedaan paradigma akan makna kekuasaan. Lamanya masa jabatan tidak akan menjadi persoalan selama kekuasaan ditempatkan sebagai amanah dalam mengurus rakyat yang disadari akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT kelak di akhirat. Paradigma seperti ini hanya ada di dalam sistem politik Islam, yang menjadikan syariat Islam satu-satunya pijakan dalam menetapkan aturan dan kebijakan.

Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah dalam mengurus rakyat yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, yang wajib terikat kepada hukum syara. Islam sangat mendorong agar para pemimpin, penguasa maupun pejabat negara selalu bersikap adil. Sayang, pemimpin adil tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler yang jauh dari tuntunan Islam. Sistem zalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim, tidak amanah, dan jauh dari sifat adil. Pemimpin yang adil hanya mungkin lahir dari rahim sistem yang juga adil. Itulah sistem Islam yang diterapkan dalam institusi pemerintahan Islam. Dalam Islam seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya, karena kelak dia akan dimintai pertanggungjawabannya pada hari kiamat atas amanah kepemimpinannya itu.

Oleh: Noor Diani
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments