TintaSiyasi.com -- Tindakan Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Selatan (Satlantas Polrestro Jaksel) menetapkan Muhammad Hasya Atallah Saputra sebagai tersangka kasus kecelakaan lalu lintas sebagai bentuk rekayasa kasus. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) pun merasa tindakan kepolisian itu seperti mirip ulah Irjen Ferdy Sambo dalam kasus kematian Brigadir J. "Bagi kami, fenomena ini seperti Sambo jilid dua. Kepolisian makin hari makin beringas dan keji, kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan," kata Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang.
Hasya menjadi korban kecelakaan di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jaksel pada Kamis (6/1/2023) malam WIB. Mahasiswa FISIP UI tersebut meninggal tidak lama setelah kecelakaan yang melibatkan AKBP (Purn) Eko Setio Budi Wahono. BEM UI geram karena Hasya yang menjadi korban malah ditetapkan sebagai tersangka. Meskipun mendesak agar pensiunan perwira menengah (pamen) Polri itu bisa dijerat pidana. BEM UI memastikan siap mengawal kasus tersebut hingga tuntas. "BEM UI akan terus bersuara demi tercapainya keadilan bagi almarhum Hasya dan keluarganya," kata Melki (Republika.co.id, 29/01/2023).
Aneh memang ketika korban meninggal justru yang dijadikan tersangka. Kasus ini menjadikan profesionalisme penegak hukum dipertanyakan. Profesionalisme menjadi salah satu hal penting yang harus dimiliki dalam profesi apapun, apalagi pada institusi penegak hukum. Dan dalam sistem kapitalis, hukum sering diperjualbelikan
Sungguh sangat miris melihat hal ini, di mana selalu rakyat kecil yang dirugikan. Aparat penjaga keamanan harusnya bisa melindungi rakyat kecil yang membutuhkan bantuannya. Tetapi dalam sistem demokrasi kapitalisme, rakyat kecil selalu saja dirugikan dalam persoalan hukum. Inilah mengapa kita seharusnya mencari solusi yang terbaik agar masalah hukum di Indonesia bisa segera diatasi. Tidak dijadikan hukum yang bisa dimanipulasi kapan saja oleh yang berkuasa. Hukum seyogianya bukanlah sebuah permainan tangan. Hukum saat ini sudah makin terlihat kebinasaannya.
Masyarakat terkadang lebih mempercayai sosial media dari pada hukum yang sepihak. Buktinya jikalau ada masalah dan itu viral baru akan diatasi dengan cepat.
Oleh karena itu, mengharap keadilan pada sistem saat ini hanyalah sebuah mimpi yang sulit untuk terwujud. Kapitalisme adalah biang kebobrokan hukum saat ini yang mengambil asas sekuler sebagai tolok ukur perbuatannya. Jadi, tak heran jika kita melihat masih ada oknum yang masih mengambil kesempatan untuk menyelamatkan diri dalam sebuah perkara.
Sudah saatnya kita berkaca pada Islam yang sudah berjaya hinggal 13 abad lamanya. Kapitalisme sungguh sangat berbeda dengan sistem Islam yang menjunjung tinggi supremasi hukum.
Islam memandang suatu jabatan, apa pun itu merupakan amanah. Namanya amanah, kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Maka dari itu, dalam sistem Islam sangat kecil kemungkinan para penegak hukum akan berani menyeleweng dari amanahnya. Justru, mereka akan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya, yang bersumber pada syariat Allah.
Rasulullah SAW pernah berkhutbah, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadis tersebut, dapat dilihat bahwa keadilan dalam Islam itu sangat dijunjung tinggi, bahkan ditekankan jika Fatimah putri Rasulullah pun melakukan tindakan yang melanggar syariat, maka Rasulullah pun akan menghukumnya.
Betapa indahnya bersyariat Islam dalam sebuah tatanan sistem yang sahih sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Keadilan hukum akan tegak. Semua masyarakat dengan berbagai macam status memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Lihat saja penegakkan hukum Islam pada Abdurrahman bin Umar! Dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, Ibnul Jauzi meriwayatkan bahwa Amr Bin al-Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamr terhadap Abdurrahman bin Umar (Putra Khalifah Umar). Saat itu Amr bin Al-Ash menduduki jabatan sebagai gubernur Mesir.
Biasanya, pelaksanaan sanksi hukum semacam itu diselenggarakan di sebuah lapangan umum di pusat kota dengan tujuan agar penerapan sanksi tersebut memberikan efek jera bagi masyarakat. Namun. Amr bin al-Ash justru melaksanakan hukuman tersebut di dalam sebuah rumah. Pada saat Khalifah Umar bin al-Khattab mendengar perihal tersebut, maka beliau langsung melayangkan sepucuk surat kepada Amr bin al-Ash untuk tetap melaksanakan hukuman di hadapan publik.
Demikian contoh sikap yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar. Dengan berpegang pada syariat Islam, beliau mengimplementasikan bahwa setiap masyarakat mempunyai persamaan di hadapan hukum Islam. Tidak peduli apakah dia putra khalifah ataukah bukan. Ketika putranya sendiri melakukan kesalahan, maka hukum Islam ditegakkan dan dilaksanakan.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Dila Rahmawati
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Buton
0 Comments