TintaSiyasi.com -- Masih jelas dalam ingatan masyarakat ketika minyak goreng mengalami kenaikan harga yang sangat tinggi, muncullah minyak subsidi dari pemerintah yaitu MinyaKita dengan harga 14.000,-/liter. Namun yang terjadi saat ini MinyaKita pun mengalami kelangkaan di sejumlah daerah.
Di pasar tradisional Kota Surabaya dan daerah lainnya MinyaKita mengalami kenaikan di atas harga eceran tertinggi dari Rp 14.000,- menjadi Rp 16.000,-. Menurut pedagang kenaikan harga ini disebabkan pasokan dari produsen berkurang. Mahal dan langka di pasaran, ada apa dengan MinyaKita?
Dilansir dari cnbnindonesia.com, 3/2/2023, MinyaKita yang raib dari peredaran menjadi heboh belakangan ini. Pasalnya, menurut pemerintah, masyarakat cenderung lebih memilih minyak goreng kemasan sederhana dengan harga Rp14.000 per liter itu.Kondisi ini kemudian memicu persoalan baru, yaitu mendongkrak kenaikan harga karena tingginya permintaan.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan salah satu penyebab kelangkaan MinyaKita adalah realisasi suplai pasokan dalam negeri yang harus dipenuhi perusahaan sebelum melakukan ekspor atau domestic market obligation (DMO) turun sejak November lalu. Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengungkap hal berbeda. Menurutnya ada perubahan regulasi yang menyebabkan produsen mengalihkan produksi MinyaKita ke minyak curah. Produsen keberatan karena biayanya lebih mahal (BBC News Indonesia, 2/2/2023).
Regulasi yang rumit, tata kelola yang tak jelas arah dan keberpihakan kepada rakyat menjadi sesuatu yang lumrah dalam sistem kapitalis saat ini. Pengusaha seperti menjadi penentu akan kebijakan dari pemerintah, padahal seharusnya pemerintahlah yang memiliki kekuatan penuh dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk dalam hal ketersediaan minyak goreng ini. Alih-alih ingin menyelesaikan masalah justru pemerintah menambah masalah lain dengan pematokan harga minyak ini.
Lain halnya dengan Islam. Islam adalah agama yang sempurna dan komprehensif mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dan syariat Islam telah mengharamkan pematokan harga secara mutlak berdasarkan yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Anas yang berkata: Harga melonjak pada masa Rasulullah SAW. Lalu mereka berkata, “Ya Rasulullah, andai saja Anda mematok harga.” Beliau bersabda, “Sungguh Allah-lah Yang Menciptakan, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Memberi Rezeki, dan Yang Menetapkan Harga. Aku sungguh berharap menjumpai Allah dan tidak ada seorangpun yang menuntutku dengan kezaliman yang aku lakukan kepada dia dalam hal darah dan tidak pula harta.” (HR Ahmad).
Dalam mekanisme sistem Islam, jika terjadi kelangkaan barang karena kondisi masa peperangan atau krisis politik, negara wajib menyediakan barang tersebut dengan mendatangkan dari berbagai wilayah atau tempat lain. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab pada masa paceklik dan kelangkaan makanan serta harga yang melonjak tinggi, beliau tidak melakukan pematokan harga tertentu untuk makanan. Namun beliau mengirim surat dan mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga harga turun tanpa perlu pematokan harga.
Tentu saja hanya dengan sistem Islam sajalah yang dapat menyelesaikan permasalahan ini, dan tak akan ada masalah kelangkaan dan kenaikan harga tinggi di negeri yang kaya akan sumber daya alamnya. []
Oleh: Eva Ummu Naira
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
0 Comments