TintaSiyasi.com -- Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang hampir ditemukan di setiap negara, termasuk Indonesia yang terkenal dengan kekayaan alamnya. Setiap tahun jumlah penduduk miskin bertambah, tak berkurang sedikitpun meski berbagai program dilakukan. Bahkan terjadi kemiskinan ekstrem. Kondisi di mana manusia tidak bisa mencukupi kebutuhan pokok nya. Untuk makan saja tidak bisa apalagi untuk kuliah dan beli rumah.
Bengkulu sendiri menempati posisi kedua sebagai provinsi dengan jumlah persentase penduduk miskin terbesar kedua di Sumatera. Pada Maret 2022 jumlah penduduk miskin 292.930 orang atau 14,34 % dari total jumlah penduduk (rakyatbengkulu.disway.id, 27 Januari 2023). Sungguh ironis dengan kondisi kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Bumi Raflesia ini memiliki potensi alam berupa sawah, hasil hutan seperti rotan damar kayu. Belum lagi laut dan perikanan, perkebunan (kopi, sawit, karet, kakao, kelapa, lada, aren, cengkeh, kayu manis) dan tambang (batu bara, emas, pasir besi, batu apung dan bentonit). Namun, kekayaan yang dimiliki tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
Upaya yang dilakukan pemerintah hanya seputar pada dua kategori yaitu kategori mengurangi beban pengeluaran melalui bantuan sosial, dan pemberian BPJS gratis. Ditambah program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pembentukan dan dukungan penuh pada UMKM. Kedua upaya ini tidaklah efektif, dan terbukti tidak juga menuntaskan kemiskinan. Bantuan sosial baik berupa BLT dan bantuan sembako tidak bisa mencukupi kebutuhan pokok ditengah naiknya harga. Sedangkan program pemberdayaan ekonomi baik melalui bantuan modal UMKM produk lokal dan memberikan tempat untuk promosi produk tersebut tetap tidak mampu menyaingi perusahaan besar baik dari sisi teknologi modal pemasaran, jelas UMKM kalah jauh.
Solusi Islam
Yang dibutuhkan rakyat miskin saat ini bukanlah bantuan tunai, bantuan sembako, ataupun toilet. Bagaimana rakyat akan memenuhi kebutuhan hidupnya jika tidak ada penghasilan, penghasilan yang ada pun tidak mencukupi biaya hidup yang semakin mencekik akibat pajak. Tidak adanya modal (ketrampilan, teknologi, uang), belum lagi tidak adanya tempat penampung hasil pertanian ditambah infrastruktur yang buruk berpengaruh terhadap distribusi barang. Semua kebijakan ini hanya bisa dilakukan oleh negara. Dari sektor pertanian saja, negara belum membantu petani. Penyediaan pupuk, teknologi pertanian sampai industri pengolahannya masih jauh dari harapan. Dari sektor pertanian saja, jika diurusi dengan baik bisa menjadikan negri ini swasembada pangan. Belum sektor lain jika dikelola dengan baik pasti akan menjadikan Indonesia menjadi negeri makmur.
Akar masalah kemiskinan bermula dari pengelolaan SDA yang tidak tepat dan pengelolaannya diserahkan pada swasta. Pemerintah seharusnya bisa memetakan potensi alamnya dan dikelola baik. Jangan mengubah tatanan alam dengan potensi masing-masing. Misal, wilayah lumbung padi, jangan diubah menjadi perumahan. Hutan dengan kandungan tambangnya dieksplorasi tanpa merusaknya, pantai dengan kondisi khasnya (tanah rawa) jangan diubah menjadi wilayah pemukiman atau wisata. Sudah salah kelola, diserahkan ke swasta (pemilik modal baik pribumi dan asing). Jika sudah dikelola swasta maka semua akan ditabrak (izin AMDAL), tentunya kekayaan alam tersebut akan disedot habis habisan. Papua adalah contoh nyata betapa rakusnya Freeport menyedot emas di sana, belum wilayah lain.
Islam memandang kekayaan alam adalah milik umat. Negara mengelola untuk kemaslahatan umat. Hasil dari pengelolaannya digunakan untuk membiayai negara, memfasilitasi rakyatnya agar sejahtera baik itu melalui bantuan modal, bantuan teknologi, tersedia infrastruktur, fasilitas umum yang terjangkau (pendidikan dan kesehatan). Namun, apalah daya ketika aturan diserahkan kepada manusia. Kekayaan alam diserahkan pada swasta secara legal melalui undang undang. Negara dibiayai dari pajak rakyat dan utang luar negeri. Akhirnya negeri ini pun akan tetap miskin. Sungguh ironis. []
Oleh: M. Vidya Anggreyani, S.I.Kom.
Aktivis Muslimah
0 Comments