TintaSiyasi.com -- Harga beras terpantau masih melonjak tinggi sejak akhir tahun 2022, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional (03/02/2023), beras kualitas bawah I sebesar Rp11.750 per kilogram, beras kualitas bawah II senilai Rp11.450 per kilogram, beras kualitas medium I sebesar Rp12.900 per kilogram, dan beras kualitas super I sebesar Rp14.250 per kilogram.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras di penggilingan untuk kualitas premium Rp11.345 per kilogram atau 15,48% dibandingkan periode Januari 2022 (finance.detik.com, 01/02/2023).
Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog), Budi Waseso menerangkan ada beberapa penyebab harga beras terus mengalami kenaikan. Pertama, permintaan dan ketersediaan beras tidak seimbang menyebabkan harga meningkat, sehingga bulog terus melakukan impor 500.000 ton beras diperuntukkan untuk cadangan beras pemerintah (CBP).
Kedua, adanya permainan dari oknum yang menguasai pasar dan memanfaatkan harga beras. Ia mengklaim sudah gencar melakukan operasi pasar namun tidak dapat dapat menekan harga beras. Bulog sendiri sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp10.000,00 per kg, namun realisasinya melebihi harga yang telah ditetapkan.
Untuk meredam kenaikan beras, Budi Waseso sudah mulai mengguyur cadangan beras pemerintah (CBP) ke perusahaan ritel modern, seperti Indomaret dan Alfamart. Bulog juga sudah melakukan kerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Hal ini sebagaimana perintah dari Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi yang tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 01/KS.02.02/K/1/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Penjualan beras ke ritel modern semakin mengkonfirmasi bahwa negara telah lepas tangan dalam mengurusi kebutuhan pokok rakyat. Praktik politik demokrasi-kapitalis melahirkan penguasa sebagai regulator. Begitu pula dengan bulog yang malah menjadi lembaga bisnis.
Dalam sistem kapitalisme juga memberi jalan kepada pengusaha pangan dalam mengendalikan arah kebijakan pangan sesuai dengan kepentingannya. Juga merajalelanya para penimbun, spekulan, hingga kartel pangan. Sehingga harga beras sangat mudah untuk dikendalikan dan tidak lagi mengatur sesuai mekanisme supply dan demand.
Mekanisme di atas sangat berbeda dengan Islam, di mana sistem ekonomi Islam berpijak pada syariat Islam. Kebutuhan pangan menjadi tanggung jawab penuh pemimpin (Khalifah). Islam memandang keberhasilan distribusi tidak dilihat dari ketersediaan beras di ritel-ritel namun keberhasilan distribusi dipandang dari terjaminnya seluruh rakyat mampu membeli beras.
Khalifah akan mengupayakan ketahanan pangan di wilayahnya, salah satunya dengan optimalisasi pengelolaan lahan pertanian yang sesuai dengan ketentuan syariat. Sehingga supply dan demand bisa teratasi. Khalifah juga akan melakukan pengawasan untuk meminimalisir terjadinya distorsi pasar seperti penimbunan, kartel,dsb. Terkait dengan distribusi pangan, negara akan menciptakan pasar yang sehat. Jikalau ada yang kesulitan maka negara akan segera turun tangan, sebagaimana di masa Khalifah Umar ibn Khattab yang bergegas mengambil sekarung bahan makanan dari Baitul mal untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan. Bentuk tanggung jawab negara seperti ini hanya dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Wallahu’alam bishowab
Oleh: Nabila Sinatrya
Aktivis Muslimah
0 Comments