Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Biaya Haji Naik, Bentuk Kapitalisasi Ibadah dalam Kapitalisme

TintaSiyasi.com -- Beberapa waktu lalu, pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69 juta. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta. Secara akumulatif, komponen yang dibebankan pada dana nilai manfaat sebesar Rp5,9 triliun.

Artinya, biaya haji tahun ini melonjak hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35 juta. Cnnindonesia.com (20/1/2023) 

Dengan alasan prinsip institha'ah atau kemampuan menjalankan ibadah haji kedepankan dalam menentukan biaya haji tahun ini. Indonesia tahun 2023 menetapkan kouta haji sebesar 221.000 orang. Hal ini berdasarkan MoU antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi pada 9 Januari 2023. Kouta ini terdiri dari 203.325 jamaah haji reguler dan 17.680 jamaah haji khusus. Padahal dari pihak pemerintah Saudi berupaya untuk memfasilitasi lebih banyak jemaah umroh. 

Sebagaimana dikutip dari Arabnews.com sebanyak 17 Januari 2023 pemerintah Saudi telah mengurangi biaya asuransi komprehensif sebesar 63% untuk jamaah umroh di luar negeri. Kementerian haji dan umroh mengurangi biaya asuransi dari Saudi Rial 2305 (Dh229,79) menjadi SR87 (Dh85) turun 63% mulai dari 10 Januari 2023. (Selasa, 17/1/2023) 

Tarif asuransi akan diturunkan dari 109 SAR (29 USD) menjadi 29 SAR (7,7 USD) untuk setiap jemaah haji, yang menunjukkan penurunan sebesar 73%. Tarif premium untuk umrah juga akan dikurangi sebesar 63% dari 235 SAR (62,6 USD) menjadi 88 SAR (23,4 USD). Atlas-mag.net (13/01/2023) 

Sayang, ibadah haji yang bersifat sakral yang merupakan ibadah fardu ain bagi kaum muslim yang memenuhi syarat serta mampu sebagaimana dinyatakan dalam Surah Ali Imron ayat 97. Namun yang ada, dalam sistem kapitalis sekarang ibadah haji dikerdilkan sebagai ibadah ritual semata dan dimanfaatkan sebagai ladang bisnis oleh penguasa kapitalisme. Penguasa kapitalisme yang berorientasi pada materi dalam setiap kebijakannya memandang bahwa semakin banyak kuota jemaah haji maka akan semakin banyak keuntungan yang didapat. 

Ibadah haji selain bernilai ibadah mahdhah, haji juga memiliki makna politik dan syiar agama Islam. Ini bisa kita liat pada bersatunya kaum muslimin ketika wukuf di 'Arafah. Kaum muslimin di seluruh dunia hanya diikat oleh akidah yang sama, Alquran yang sama, memiliki kiblat yang sama, tidak ada perbedaan kelas dan strata. Seluruh kaum muslimin berkumpul di Arafah  untuk menyerukan seruan yang sama, yakni bacaan talbiah, tahlil, tahmid, takbir ,dzikir dan doa. 

Hal ini tentu berbeda dengan pelayanan ibadah haji dalam sistem Islam yang disebut Khilafah. Penguasa dalam sistem ini adalah khadimul ummah (pelayan umat). Setiap kebijakan mereka senantiasa diupayakan untuk memudahkan urusan rakyatnya tak terkecuali masalah ibadah haji. Untuk mengatur penyelenggaraan haji, selain terkait dengan syarat, wajib dan rukun haji, Khilafah juga akan memastikan masalah hukum ijra'i yang terkait dengan teknik dan administrasi termasuk uslub dan wasilah. 

Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Al-Jahizah ad-Daulah Khilafah menjelaskan bahwa prinsip dasar negara Khilafah mengatur masalah manajerial adalah sistemnya sederhana (basathah fi an-nizham), eksekusinya cepat (su'ah fi al-injaz) dan ditangani oleh orang yang profesional. Karena itu, sebagai satu negara yang menangani lebih dari 50 kaum muslimin, Khilafah akan mengambil kebijakan berupa;

Pertama, membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umroh dari pusat hingga ke daerah. Tugas departemen ini mengurus persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan ke daerah asal. Dalam melaksanakan tugas ini, departemen haji akan bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam menguras kesehatan jamaah termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal. 

Kedua, ongkos naik haji (ONH) ditentukan bukan dengan paradigma bisnis seperti penguasa kapitalisme saat ini. Besar kecilnya biaya ditentukan berdasarkan jarak wilayah para jemaat dengan tanah haram yakni Mekah dan Madinah, serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Khilafah akan menyediakan opsi rute baik dari darat, laut dan udara dengan konsekuensi biaya yang berbeda. 

Ketiga, penghapusan visa haji dan umrah. Negara khilafah merupakan satu kesatuan dari negeri-negeri kaum muslimin, sehingga untuk melakukan berkunjung dari satu wilayah ke wilayah lain hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP dan Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslimin yang menjadi warga negara kafir baik kafir harbi hukuman maupun fi'lan

Keempat, pengaturan kouta haji dan umrah. Khilafah akan menggunakan database warga negaranya untuk menentukan urutan prioritas pemberangkatan ibadah haji. Dalam hal ini khilafah akan memperhatikan dia hal, yakni; Pertama, kewajiban haji dan umrah berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan mampu. 

Kelima, pembangunan infrastruktur Mekah-Madinah untuk semakin memudahkan para tamu Allah dalam beribadah. Diantara bukti nyata pengaturan Khilafah dalam mengurus ibadah haji terlihat pada kebijakan Sultan Abdul Hamid II, seorang khalifah pada masa Khalifah Utsmaniyah. Beliau membangun sarana transportasi massal berupa jalur kereta api (Hijaz railway) dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Bahkan Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah seorang Khalifah Abbasiyah, Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz. Dimasing-masing titik Dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. 

Tidak hanya itu, Khalifah Harun ar-Rasyid  juga memiliki kebiasaan menghajikan 100 orang ulama dan anak-anak mereka bila beliau naik haji. Jika sedang berjihad sehingga tidak berangkat haji, beliau menghajikan 300 orang ulama dan anak-anak mereka. Semua biaya itu berasal dari harta pribadi Khalifah. Inilah secuil fragmen sejarah Khilafah Islam dalam melayani para tamu Allah yang tidak akan pernah bisa diwujudkan dalam sistem kapitalisme saat ini. 

Wallahu a’lam bishshawab

Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd
Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments