Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Antara Kemiskinan Ekstrem, Kualitas SDM, dan Pengelolaan SDA


TintaSiyasi.com -- Mendekati bulan Ramadhan, bahan-bahan pokok makin naik saja. Di sisi lain, berita kemiskinan ekstrem kian melanda negeri ini. Berbagai langkah ditempuh pemerintah untuk atasi kemiskinan namun bertambah parah. Apa yang sebenarnya terjadi, apakah setiap menjelang akhir tahun dan tahun baru bahan-bahan pokok terus akan naik, apakah tidak akan bisa turun atau bahkan gratis? Pun dengan kemiskinan, dapatkah berkurang seiring bahan pokok melonjak naik?


Di Balik Kemiskinan Ekstrem

Sejak Indonesia merdeka kemiskinan masih melanda hingga kepemimpinan saat ini. Bahkan kemiskinan menjadi ekstrem merata terjadi di berbagai daerah. Berbagai upaya dilakukan namun kemiskinan sulit sekali berkurang. Sebagaimana yang diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, sangat sulit untuk mencapai target kemiskinan ekstrem nol persen dan miskin 7 persen di 2024. Mengingat, angka kemiskinan ekstrem di Maret 2022 masih mencapai 2,04 persen dan penduduk miskin pada September 2022 sebesar 9,57 persen (kumparan.com, 30/1/2023). 

Kemiskinan ekstrem adalah sejenis kemiskinan yang didefinisikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai "suatu kondisi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan primer manusia, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi (Wikipedia). Indikator kemiskinan ekstrem yaitu penduduk yang berpendapatan di bawah US$1,91 PPP (purchasing power parity) per kapita per hari (setara Rp9.089 per hari). PPP didefinisikan sebagai jumlah unit mata uang yang diperlukan untuk membeli barang dan jasa yang umum, dapat dibeli oleh satu unit mata uang umum/referensi. 

Salah satu daerah yang mengalami kemiskinan ekstrem adalah Jawa Timur. Jumlah penduduk miskin Jatim tahun 2021 sebanyak 4.572.730 orang (10,59% dari jumlah penduduk), di mana 1.746.990 jiwa (38,21%) di antaranya tergolong miskin ekstrem. Sebanyak lima kabupaten yaitu Bangkalan, Sumenep, Probolinggo, Bojonegoro, dan Lamongan (umm.ac.id, 10/8/2022).

Sebenarnya ungkapan ekstrem, genting, darurat, atau apapun namanya tetap saja problem kemiskinan butuh solusi cepat dan tepat. Sebab kemiskinan ekstrem bisa jadi karena pemerintah tidak tanggap, adanya kelalaian, bahkan tidak tepat sasaran. Pun banyak proyek yang tidak berjalan. Alhasil rakyat miskin harus menunggu bantuan yang tak pasti sementara kebutuhan mereka harus segera dipenuhi. Apalagi ditengah gelombang resesi ekonomi saat ini.

Jika ditelusuri, kemiskinan ekstrem tidaklah muncul begitu saja namun sebelumnya sudah terbentuk secara sistemik. Hal ini ditandai dengan kondisi ekonomi, seperti kenaikan bahan pokok, listrik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Ditambah sulitnya mendapatkan pekerjaan sehingga berimbas pada anak-anak, tak sedikit yang putus sekolah akibat masalah biaya. Alhasil mereka turut menjadi tulang punggung keluarga. 

Dampaknya melebar hingga ke tataran sosial. Tak sedikit yang memilih bekerja di luar negeri yang jauh dari kata aman. Tak ayal muncul kasus pelecehan seksual menimpa WNI (Warga Negara Indonesia) terutama dari kaum wanita. Pun kasus trafficking yang hingga kini masih menjadi benang kusut. Kenyataan negara dalam negeri tak mampu melindungi sementara negara luar berbuat seenaknya. Selain itu muncul pengemis online dengan berbagai cara meraih cuan juga masih banyak lagi yang tak terekspos media.


Kualitas SDM

Jika diteliti, muncul kemiskinan ekstrem ini tidak lepas dari kondisi SDM (Sumber Daya Manusia)-nya. Pejabat yang seringkali tidak amanah, korupsi, melakukan praktek kecurangan, bantuan sosial yang salah sasaran, dan lainn-lain. Adapun anggaran untuk rakyat miskin justru digunakan pada kegiatan yang tak penting. Alhasil anggaran yang harusnya dialokasikan untuk rakyat miskin justru lamban. Menyebabkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah da kinerja pemerintah berkurang. Janji tinggallah janji. Mereka hanya ingin eksis namun moralnya krisis.

Kondisi tersebut tak lepas dari kehidupan serba materialis, hedon, dan minim empati membuat moral para pejabat bobrok, mudah tergiur oleh gerlapnya dunia. Masih ada pejabat yang tega memperlihatkan gaya hidup serba wah. Padahal sikap seperti itu tak pantas dilakukan ditengah penderitaan rakyat. Sementara masih dipertanyakan kinerja para pejabat, kalaupun ada hanyalah bantuan demi pencitraan. Bantuan pun tidak merata dan tidak menyeluruh sebab masih ada rakyat miskin yang tidak tercatat. Karena data kemiskinan bisa saja berubah dan justru lebih banyak dari data sesungguhnya. Maka kualitas SDM perlu penanganan serius agar para pejabat sadar betul akan besarnya tanggung jawab sebagai pelayan rakyat bukan untuk dilayani.


Salah Kelola SDA

Semua ini dampak dari diterapkannya kapitalisme sekuler. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh negara tidak sesuai dengan fitrah manusia mengakibatkan karut marut. Ditambah campur tangan perusahan swasta/asing baik dari dalam negeri maupun luar negeri, mengakibatkan rakyat mengalami kerugian besar. Swasta banyak mengambil keuntungan sedangkan rakyat dipaksa harus membeli. Negara hanya fokus pada keuntungan/materi saja sebaliknya mengabaikan tugas utamanya memenuhi kebutuhan rakyat termasuk sandang, pangan, papan yang mana semua itu harusnya dipenuhi negara dari hasil pengelolaan SDA.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Pengelolaan SDA wajib dikelola negara dan tidak boleh ada campur tangan asing di dalam pengelolaannya apalagi diperjualbelikan. Sebab SDA adalah milik umum yang diperuntukkan bagi semua rakyat sebab kebutuhan rakyat tidak akan pernah cukup. Sebagaimana sabda Rasul SAW, "Manusia berserikat pada tiga hal yaitu padang rumput, air, dan api" (HR. Abu Daud dan Ahmad). Selama ini, Indonesia jauh dari sejahtera karena kerakusan kapitalisme sekuler yang diterapkan tidak memikirkan dampaknya sebab semua diukur berdasarkan asas manfaat/materi, bebas memiliki apapun tanpa menimbang dari sisi halal dan haram. Kapitalisme sekuler yang dapat untung sedangkan rakyat menerima buntung. Benar saja kemiskinan ekstrem tak mampu dikurangi hingga nol persen. 

Padahal kekayaan SDA di Indonesia sangatlah melimpah ruah bahkan pernah dijuluki sebagai tanah surga, tongkat, batu, dan kayu jadi tanaman. Maka sungguh memalukan bila negeri kaya SDA namun terdapat kemiskinan ekstrem. Akibat sistem ekonomi neoliberal semua bisa bebas menjual dan membeli tanpa melihat halal dan haram. Akhirnya ada yang diuntungkan dan dirugikan. Untuk itu Islam hadir sebagai solusi masalah kehidupan. Negeri Muslim harus mandiri dan terbebas dari segala bentuk penjajahan yang membuat negara tidak maju. Dengan sistem Islam kesejahteraan mampu diwujudkan sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW, dan khulafaurasyidin kala itu. 

Apalagi kualitas iman dan takwa beliau beserta sahabat kepada Allah SWT, sangatlah tinggi bahkan tidak ada yang mampu menyaingi ketakwaannya. Hal itu mutlak diperlukan apalagi sebagai pemimpin dan wakil rakyat. Dengan menerapkan ideologi Islam secara menyeluruh, akan membuahkan kesejahteraan. Padahal saat itu dalam pengelolaan SDA tak ada alat canggih dan alat berat namun mampu mengelolanya dengan benar sesuai aturan Islam. Walaupun terdapat muslim yang tidak mampu itupun minim sekali dan teratasi dengan segera, justru dengan aturan Islam dapat meminimalisir kemiskinan. Sebab Islam tidak membedakan kaya dan miskin, yang membedakan hanyalah ketakwaannya di hadapan Allah SWT. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Punky Purboyowati, S.S.
Komunitas Ngopi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments