TintaSiyasi.com -- Direktur Mutiara Umat Institute Ika Mawarningtyas membeberkan tiga kebijakan pemerintah yang mengakibatkan konflik di Morowali.
"Ada tiga kebijakan pemerintah yang menyebabkan konflik di Morowali," tuturnya dalam Obrolan Sore: TKA China Dimanja, Pekerja Lokal Ditindas? di Youtube Aliansi Buruh Indonesia(ABI), Ahad (22/01/2023).
Pertama, kerja sama pemerintah dengan China adalah kerja sama turnkey project. "Kebijakan tersebut berpotensi membuat perusahaan-perusahaan dari China memegang kendali penuh terkait proyek yang digarapnya. Mereka bisa mendatangkan bahan baku sendiri dari negaranya, bisa membawa tenaga kerja juga, tidak tenaga kerja ahli, bahkan buruh pun juga dari mereka. Dan kebijakan ini mengerdilkan peran negara," ujarnya.
Kedua, mementingkan kepentingan korporasi dan mengabaikan kejahatan yang dilakukan korporasi. "Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan, dipicu adanya kekecewaan antar buruh Indonesia dan asing. Melainkan akumulasi dari rentetan kebijakan serta regulasi pemerintah yang hanya mementingkan pelaku industri dan abai terhadap segudang kejahatan korporasi atas buruh," jelasnya.
Ia mencontohkan, ketika ada konflik di Morowali, Presiden Jokowi hanya meminta aparat mengusut dan menangkap orang-orang yang terlibat dalam konflik tersebut.
"Tetapi, penyebab konflik itu terjadi tidak diurai. Hal itu mengonfirmasi penguasa dan sistem hari dalam penegakan hukum aparat kepolisian lebih penting melindungi investasi, dari pada keselamatan rakyat dan lingkungan, serta kesejahteraan buruh itu sendiri. Inilah model sistem sekuler kapitalistik," terangnya.
"Kapitalisme membuat pemerintah tidak berdaya dengan ulah korporasi dengan dalih demi investasi dan investasi. Maka, investasi ini seolah-olah menjadi topeng asing untuk menjajah negeri ini. Nampaknya investasi, tetapi sebenarnya penjajahan dan penjarahan," imbuhnya.
Ketiga, kapitalisme mengejar keuntungan materi tanpa memperhitungkan dengan cermat keselamatan kerja dan lingkungan.
"JATAM mencatat, sebelum smelter nikel PT GNI diresmikan Jokowi hingga terjadi bentrokan pada 14 Januari kemarin, lanjut Taufik, JATAM telah menemukan sejumlah kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan PT GNI. Pada 2018 saat pertama kali beroperasi di Bunta, Petasia Timur pembangunan pembangkit listrik (PLTU batubara) dan pabrik smelter, menurutnya telah membendung sungai Lampi tanpa ada proses konsultasi dan pembebasan lahan. Bahkan, lahan-lahan produktif warga juga diklaim sepihak perusahaan, dan melarang warga untuk mengelola lahan-lahan itu," kutipnya.
Ia melanjutkan, sejak pertama kali PT GNI beroperasi hingga kini, sudah terdapat 10 pekerja yang tewas. Ia merinci, korban pertama berinisial HR, meninggal karena tertimbun longsor pada 8 Juni 2020 malam kemudian pada Mei dan Juni 2022, juga terjadi peristiwa bunuh diri tenaga kerja asing asal China. Keduanya berinisial MG dan WR.
"Lalu, kecelakaan kerja lainnya menimpa YSR, AF, NS, dan MD. YSR terseret longsor saat mengoperasikan bulldozer tanpa penerangan dan tenggelam ke laut di kedalaman 26 meter. Sementara AF, hilang saat bekerja di tungku enam smelter 1 PT. GNI. Dia ditemukan tak bernyawa setelah jatuh di sebelah tuas kontrol mesin hidrolik. Dua korban yang meninggal dunia pada ledakan tungku smelter 2 GNI pada 22 Desember 2022," kutipnya.
Ia mengatakan, bahkan JATAM menuntut Jokowi agar menghentikan operasi dan mencabut izin PT GNI. Sekaligus mengaudit serta mengevaluasi seluruh tindakan kejahatannya, baik terhadap buruh, warga terdampak, maupun lingkungan hidup.
"Inilah dampak nyata kapitalisme sumber daya alam. Potensi penjajahan dan penjarahan nyata terjadi atas nama kerja sama dengan asing (turnkey project); mengejar investasi; efisiensi dan sebagainya. Apabila ini dibiarkan, negara ada bukan lagi untuk menyejahterakan rakyat, tetapi hanya memikirkan para investor asing," pungkasnya. [] Rina
0 Comments