Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak Memalak Rakyat, Haruskah Menjadi Tumpuan Ekonomi?


TintaSiyasi.com -- Berganti tahun dari tahun 2022 menuju 2023 masyarakat mengharapkan banyaknya perubahan yang lebih baik terutama dari segi ekonomi. Harapan itu hanyalah khayalan belaka. Awal tahun disambut dengan kekecewaan. Adanya kekecewaan itu dengan hadirnya sejumlah kebijakan yang makin menzalimi rakyat. 

Sebagaimana yang dilangsir Investor.id Pemerintah secara resmi mengatur tarif baru pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan berlaku mulai 1 Januari 2023. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang PPh. Hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang diteken Jokowi 20 Desember 2022.

Perubahan tarif pajak ini sejalan dengan dirilisnya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). "Penerbitan PP bertujuan untuk memberikan kepastian hukum penyederhanaan administrasi perpajakan, kemudahan dan keadilan bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dalam jangka waktu tertentu, serta untuk melaksanakan perjanjian internasional bidang perpajakan dengan tetap memperhatikan tata kelola pemerintahan yang baik, perlu diberikan kebijakan fiskal melalui penyesuaian pengaturan di bidang pajak penghasilan," ucap beild yang dikutip Rabu (28/12).

Dalam kapitalisme mengartikan pajak sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan lain-lain. Pajak merupakan pungutan kepada individu rakyat, harta kepemilikan, atau aktivitas untuk mendukung pembiayaan pemerintah. Pajak juga berarti pembayaran yang dibebankan kepada individu (rakyat) atau kelompok (korporat) untuk mendukung pembiayaan bagi pemerintah. Jadi, pajak adalah harta yang dipungut dari rakyat untuk keperluan pengaturan negara. 

Yang menjadi keresahan rakyat saat ini adalah karyawan bergaji Rp5 juta ternyata juga terkena PPh. Jika dihitung dengan ketentuan beleid terbaru, karyawan bergaji Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun, setiap tahunnya terkena PPh Rp300 ribu per tahun atau Rp25 ribu per bulan.

Banyak warga yang merespons PP ini dengan mengatakan bahwa selalu saja rakyat susah yang menjadi sasaran, sedangkan pejabat yang kaya malah dibiarkan. Pengusaha kaya beromzet triliunan rupiah juga malah mendapat keringanan pajak. Hal tersebut makin memperlihatkan bahwa pemerintah hari ini kian tidak memihak rakyat kecil. Untuk saat ini, gaji Rp5 juta per bulan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak. Harga pangan pokok, tarif air dan listrik, iuran BPJS, serta sejumlah fasilitas umum (kesehatan ataupun pendidikan), semua terhitung mahal dan tidak sebanding dengan gaji mereka.

Selama ini, pajak memang dianggap berperan penting dalam meningkatkan berbagai aspek agar Indonesia makin bagus. Sehingga Rezim membuat statman bahwa yang tidak bayar pajak adalah mereka yang tidak cinta Indonesia dan tidak mau Indonesia maju, dan bahkan meraka dianggap menetang aturan negara. Dengan dalih mengatakan bahwa pada dasarnya pajak adalah oleh dan untuk rakyat. Pajak yang terkumpul digunakan untuk membiayai sektor publik, semisal listrik, BBM Pertalite, dan LPG 3 kg, yang semua itu disubsidi menggunakan pajak. Fasilitas sekolah, rumah sakit, dan puskesmas pun memakai uang pajak. Jalan raya, kereta api, internet, kapal selam, gaji prajurit, polisi, guru, hingga dokter, semua dari pajak.

Pemerintah keukeuh mengatakan bahwa pajak semata untuk rakyat. Padahal, rakyat tidak merasakan kebermanfaatan pajak lantaran semua yang diklaim dibangun oleh pajak atau disubsidi pajak, faktanya tetap mahal. Sebut saja tarif listrik dan air, ataupun Pertalite yang katanya telah disubsidi, harganya masih saja selangit. Dibuktikan dengan biaya kereta api, jalan tol, rumah sakit, ataupun sekolah, semuanya berbiaya mahal. Bahkan, rakyat harus membayar iuran BPJS untuk bisa mengakses layanan kesehatan. Terlebih jalan tol, sudahlah tarifnya mahal, keberadaannya pun jarang dinikmati warga biasa. Sedikit sekali rakyat yang menggunakan fasilitas tersebut. 


Pajak dalam Pandangan Islam

Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama dalam penerimaan Baitul mal (sebutan APBN dalam Khilafah). Perlu diketahui, dharibah atau pajak dalam Islam jauh berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Pajak tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga. Hanya kaum muslim yang kaya saja yang dipungut dharibah. Skema pemungutannya pun bersifat temporal, hanya jika kas negara kosong dan saat itu butuh dana sesegera mungkin. Misalnya, ketika negara butuh dana untuk menanggulangi bencana, tetapi kas negara kosong, kewajiban pun jatuh pada kaum muslim yang kaya. Dari sinilah dipungut dharibah atas mereka. Akan tetapi, setelah kas negara terisi kembali dan keperluan selesai, penarikan dharibah harus dihentikan.

Meski demikian, kondisi Baitul mal yang kosong sangat jarang terjadi. Ini karena ada regulasi kepemilikan yang mengharamkan swasta untuk memiliki SDA yang menjadikan sumber kas negara melimpah. Begitu pun pengeluaran yang mengenal skala prioritas, akan menahan pembangunan yang dianggap tidak urgen dibutuhkan umat.

Sumber-sumber pendapatan Baitul Mal dalam Khilafah Islam yang telah ditetapkan syariat sebenarnya cukup untuk membiayai pengaturan dan pemeliharaan urusan dan kemaslahatan rakyat. Karena itu, sebetulnya tidak perlu lagi ada kewajiban pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Syariat Islam telah menetapkan pembiayaan atas berbagai keperluan dan bidang, yang dibebankan kepada Baitul Mal, tentu ketika terdapat harta di Baitul Mal. Namun, ketika di Baitul Mal tidak terdapat harta atau kurang, sementara sumbangan sukarela dari kaum Muslim atas inisiatif mereka juga belum mencukupi, maka syariat menetapkan pembiayaannya menjadi kewajiban seluruh kaum Muslim.

Hal itu karena Allah telah mewajibkan yang demikian. Sebab, tidak adanya pembiayaan atas berbagai keperluan dan bidang itu akan menyebabkan bahaya bagi kaum Muslim. Allah telah mewajibkan kepada negara dan umat untuk menghilangkan bahaya itu dari kaum Muslim.
Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh mencelakakan orang lain dan tidak boleh mencelakakan diri sendiri. (HR Ibn Majah dan Ahmad).

Negara yang memalak rakyatnya hanya akan ditemukan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Kalau dalam Islam, pajak atau dharibah ini sangat jarang ada sebab kas negara selalu penuh terisi dari sumber-sumber lainnya.

Oleh karenanya, wahai kaum muslim, jika syariat Islam diterapkan sempurna secara kaffah , rakyat tidak akan terbebani lagi oleh pajak. Kehidupan rakyat akan sejahtera karena penguasanya menjadikan rakyat sebagai “tuan” yang harus terpenuhi seluruh kebutuhannya.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nani, S.Pd.I.
Pemerhati Kebijakan Publik
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments