TintaSiyasi.com -- Bunga mawar
Bunga melati
Startup gak bisa jadi penawar
Hanya Islam yang bisa mengobati
Sepertinya pantun itu cocok untuk mewakili kondisi banyak startup di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Ibarat pendaki tebing, tatkala mendaki maka akan mengencangkan penopang pada pohon atau penyangga yang paling kokoh agar dapat membantu naik ke puncak lebih mudah dan cepat dengan selamat pula. Harusnya hal itu pula yang dilakukan oleh penguasa negeri ini dalam menyelesaikan berbagai masalah. Kesalahan memilih penyangga bukan saja memperlambat Indonesia menuju puncak kejayaannya, bahkan malah membuatnya makin terpental jauh ke bawah.
Ini terbukti dengan upaya pemerintah melalui berbagai kebijakannya yang menganjurkan agar sekolah-sekolah dan perguruan tinggi menyediakan jurusannya agar mudah diterima di perusahaan startup. Pasalnya perusahaan tersebut digadang-gadang sebagai dewa penyelamat ekonomi, karena akan banyak menyerap tenaga kerja. Penghasilan yang dijanjikan pun sangat menggiurkan. Tak ayal banyak generasi muda yang menjadikannya sebagai sebuah cita-cita.
Namun sepertinya hal itu hanya mimpi yang harus segera dibangunkan, hanya khayal yang harus segera disadarkan, hanya harapan yang tinggal angan. Sebabnya kini banyak startup yang akan runtuh dan ambruk. Bahkan saat ini sedang mengalami badai PHK dan diprediksi tidak hanya terjadi tahun ini, tetapi akan berlanjut hingga tahun 2023.
Beberapa raksasa digital yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut di antaranya adalah Shopee yang telah melakukan PHK secara berulang selama enam bulan terakhir. Sea, Ltd., induk perusahaan Shopee telah merumahkan 7.000 karyawan, atau sekitar 10% dari total karyawannya. Selain itu, Shopee juga telah menutup dan membatalkan perluasan bisnisnya di sejumlah negara.
Selain Shopee, GoTo juga banyak merumahkan karyawannya. Gabungan Go-Jek dan Tokopedia yang mengaku sebagai perusahaan teknologi nomor 1 di Indonesia ini telah melakukan PHK pada 1.300 karyawannya atau mencapai 12% dari total karyawan. Menyusul Shopee dan GoTo, Ruangguru juga menempuh langkah yang sama. Startup di bidang pendidikan ini telah merumahkan ratusan karyawannya (cnbcindonesia.com, 20/11/2022).
Meski banyak yang menyebutkan bahwa ini akibat resesi ekonomi, namun banyak pula yang menapikan. Pengaruh resesi hanyalah debu dari badai ini, hal lain yang menjadi penyebabnya adalah rapuhnya sistem bisnis ini karena tidak berbasis pada ekonomi riil sehingga ketika bisnis tidak mampu berjalan, karena berbagai sebab (tidak diterima pasar, dana habis, dan sebagainya) akhirnya perusahaan startup memilih melakukan efisiensi. Efisiensi yang paling memungkinkan adalah mengurangi jumlah karyawan, karena perusahaan digital tidak punya aset gedung, mesin, kendaraan, dan sebagainya, sebagaimana perusahaan konvensional. Aset perusahaan startup adalah sumber daya manusia dalam jumlah yang banyak. Oleh karenanya, PHK besar-besaran dilakukan.
Pendanaan perusahaan startup pun sangat tergantung pada suntikan dana dari investor. Sebelum menyuntikkan investasi, investor akan melihat kinerja perusahaan terlebih dahulu yang tecermin dari pendapatan perusahaan. Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang, investor bersikap lebih hati-hati. Jika perusahaan menghasilkan profit, barulah dana investasi akan diguyurkan. Jika tidak profit, dana akan sulit cair. Hal ini pula yang menjadi faktor dominan bisnis ini sehingga rapuh dan mudah goyah.
Belum lagi beban promosi yang senantiasa harus dikeluarkan demi memenangkan persaingan. Ditambah gaya hidup manajemen yang dipaksa harus hedonis demi kesan sultan bagi value perusahaan, makin menambah beban berat finansial.
Inilah buah kapitalisasi ekonomi yang hanya mengejar keuntungan materi tanpa didukung sistem yang kuat, juga pendanaan yang kuat. PHK pada perusahaan startup merupakan fenomena yang wajar terjadi dalam sistem kapitalisme. Sistem ini menuhankan materi sehingga bisnis akan dijalankan semata demi meraih materi sebesar-besarnya. Bisnis akan terus dibesarkan meski fondasinya rapuh, termasuk fondasi pendanaannya.
Peran pemerintah seharusnya adalah sebagai eksekutor, bukan sekadar regulator. Dalam hal penyelesaian masalah pengangguran, pemerintah harus turun tangan langsung menyediakan lapangan kerja, bukan sekadar membuat regulasi atau mempertemukan angkatan kerja dengan pengusaha.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, bisnis dibangun dengan struktur yang solid. Strategi perusahaan tidak disandarkan pada untung rugi semata, tetapi juga berdasarkan pada kesesuaian dengan syariat. Modal sangat diperhatikan dalam Islam sehingga fikih seputar syirkah diatur dengan sangat detail. Strategi promosi juga dipilih secara hati-hati agar tidak menabrak koridor syarak.
Penguasa dalam sistem Islam akan mengelola kepemilikan umum yang selama ini dikuasai asing. Dengan demikian, akan terbuka lapangan kerja yang banyak karena tambang dan sejenisnya terkategori sektor primer yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Penguasa juga akan melakukan pembangunan infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan rakyat, seperti pembangunan jalan, sekolah, masjid, rumah sakit, dan fasilitas publik yang lain, terutama untuk daerah yang masih minus. Pembangunan infrastruktur ini juga akan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Iklim usaha yang kondusif juga akan diwujudkan dengan memberikan jaminan keamanan, fasilitas bantuan modal nonribawi, pendampingan usaha, pelatihan keterampilan usaha, tidak ada pungutan pajak usaha, dan sebagainya. Dengan demikian, pengusaha turut mendukung penguasa dalam membuka lapangan kerja.
Semua hal ini hanya akan terwujud ketika penguasa memposisikan dirinya sebagai raain (pengurus) rakyat, bukan lepas tangan seperti di sistem sekarang. Maukah kita beralih ke sistem Islam?
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Comments