TintaSiyasi.com -- Akhirnya setelah bergulir beberapa tahun penundaan UU KUHP pada Selasa 6 Desember 2022 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) resmi disahkan oleh DPR. Walaupun tidak banyak dihadiri oleh anggota DPR, namun nampaknya pemerintah tetep ngotot untuk cepat mengesahkannya menjadi undang-undang.
Beberapa elemen yang tergabung dari aliansi masyarakat tentu menolak pengesahan KUHP bahkan mereka juga menggelar aksi protes, namun tak dihiraukan oleh penguasa. Dalam hal ini jelas terbuka tabir buruknya sistem demokrasi. Pasalnya dalam draft undang-undangnya KUHP mengandung unsur pasal karet, bahkan seperti yang diungkapkan Koalisi sipil, Isnur, menyoroti sejumlah pasal dalam RKUHP yang dinilai anti demokrasi, melanggengkan korupsi, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, dan mengatur ruang privat masyarakat.
Sejumlah pasal itu hanya akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Pasal-pasal RKUHP masih akan sulit untuk menjerat kejahatan yang dilakukan korporasi kepada masyarakat.
Kemudian ada sejumlah pasal yang menjadi sorotan Pasal 240 yang menyebutkan, yang menghina pemerintah dan lembaga negara dihukum tiga tahun. Ini pasal karet yang akan menjadikan negara Indonesia dari negara demokrasi menjadi negara monarki, kemudian pasal-pasal bermasalah yang pernah ditolak publik pada 2019, kini diajukan lagi. Salah satunya adalah pasal penghinaan terhadap presiden. Pada pasal 218 ayat 1 berbunyi, “Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Jika kita runut ke belakang, pasal penghinaan presiden berasal dari KUHP Belanda, tepatnya Artikel 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881) alias KUHP Belanda. Isinya mengatur tentang penghinaan yang disengaja untuk raja dan ratu Belanda dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 300 gulden. Pasca-Indonesia merdeka, pasal itu diadopsi mentah-mentah oleh Pasal 134 KUHP dan hanya menggantikan frasa raja dan ratu Belanda menjadi presiden dan wakil presiden.
Tampaklah bahwa pasal penghinaan terhadap presiden merupakan produk hukum kolonial yang bertujuan untuk melanggengkan penjajahan di Indonesia dengan cara membungkam suara kritis rakyat. Di era yang katanya penuh keterbukaan seperti saat ini, dengan pemimpin yang katanya merakyat, hadirnya pasal bercita rasa kolonial ini tentu membuat publik ragu akan kesediaan penguasa untuk menerima kritik.
Dalam Islam, menyampaikan kritik (muhasabah) merupakan kewajiban. Kaum Muslim berkewajiban mengontrol serta mengoreksi tugas-tugas dan kebijakan para penguasa. Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk melakukan muhasabah al-hukam (mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan.
Perintah Allah tersebut merupakan perintah yang bersifat tegas, yaitu untuk melakukan muhasabah terhadap para penguasa dan mengubah perilaku mereka jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikannya kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
0 Comments