TintaSiyasi.com -- Euforia presidensi G20 yang menggaungkan penguatan ekonomi terus bergemuruh di tanah air sepanjang tahun 2022 ini. Pasalnya, untuk pertama kalinya Indonesia mendapat kesempatan menjadi presidensi G20 sejak mulai bergabung dalam kelompok kerjasama multilateral tersebut di tahun 1999.
Selepas penyelenggaraan pertemuan puncak atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Presidensi G20 Indonesia yang diselenggarakan di Bali, pada 15-16 November 2022 lalu, banyak orang yang dibuat takjub, bangga dan merasa diuntungkan dengan keintelektualan bahasa yang digunakan oligarki untuk mendeskripsikan benefit yang akan didapatkan Indonesia dengan turut aktif menyetujui 52 poin kesepakatan yang termuat dalam dokumen deklarasi yang berjudul G20 Bali Leaders Declaration tersebut.
Di balik jargon membentengi dunia dari krisis ekonomi, pandemi serta problem iklim, ada maksud pengukuhan liberalisasi ekonomi dan politik serta penguatan perdagangan bebas yang sangat jelas terindera.
Konsep komunitas negara-negara yang terbentuk di sistem sekularisme seperti saat ini selalu saja tidak pernah jauh-jauh dari ambisi dan kepentingan tertentu. Sulit mengendus fakta benefitnya dalam mengatasi krisis ekonomi, apalagi krisis lingkungan.
Bagi negara maju, menginisiasi kerjasama dengan negara-negara berkembang menjadi salah satu teknik licin menguasai sumber daya alam serta pengeksploitasian sumber daya manusia. Sedangkan bagi negara berkembang, menyetujui keikutsertaan bekerja sama dengan negara-negara maju adalah umpan terbaik untuk memancing investor-investor asing. Itupun tidak dalam rangka mengeluarkan rakyat dari krisis, namun untuk makin mengukuhkan kekayaan oligarki di negara berkembang tersebut.
Bahkan untuk perserikatan sekelas PBB yang cakap melantangkan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional tetap saja tidak mampu meredam konflik Palestina-Israel, perang sengit Rusia-Ukraina bahkan berdiam diri pada penindasan Muslim Uighur di Cina dan gerakan permusuhan yang ditujukan untuk kaum Muslim di India.
G20 hanyalah satu dari sekian banyaknya komunitas kerjasama antar negeri yang beraroma kapitalis, juga menjadi jalan penjajahan yang beroperasi secara halus.
Jika kita ingin menarik garis lurus dari masa sebelum G20 itu terbentuk, maka kita akan menemukan bahwa G20 adalah transformasi dari G7. Group of Seven atau G7 terdiri dari negara-negara adidaya antara lain Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.
Klaim media Internasional menyebutkan bahwa G20 dibentuk karena komunitas internasional kecewa atas kegagalan Group of Seven (G7) mencari solusi dari permasalahan ekonomi global yang dihadapi saat itu. Negara-negara berkembang juga memiliki pengaruh ekonomi secara sistemik sehingga harus pula ikut serta dalam perundingan demi mencari solusi permasalahan ekonomi global. Didasarkan oleh hal tersebutlah, G20 terbentuk. Tentu bisa ditebak maksud dan tujuan negara adidaya melebarkan keanggotaan G7 menjadi G20.
Sepanjang keeksisan G20 dengan pergantian presidensi setiap tahun, G20 tidak lagi hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga mulai merambat pada isu-isu sosial, ketenagakerjaan, krisis pangan dan lingkungan. Barangkali disebabkan banyaknya gerakan masyarakat yang mulai mengindera tujuan liberalisasi ekonomi yang dihasilkan dari kerjasama tersebut. Sehingga untuk meredam pergolakan gerakan masyarakat yang kontra, maka G20 tidak lagi hanya berfokus membicarakan ekonomi global. Padahal dari segi ekspektasi dan ambisi, titik berat pada penjajahan ekonomi sulit untuk ditepis.
Para kapitalis global menginginkan agar kontrol negara dalam mengatur perekonomian makin menyusut bahkan ditiadakan. Hal ini hanya dapat dicapai dengan merangkul penguasa negara berkembang agar takluk menyetujui kesepakatan internasional sehingga mengeluarkan kebijakan ekonomi yang tidak menghalangi usaha mereka dalam menguasai pasar dunia.
Berlindung di balik manisnya jargon-jargon demokrasi, mereka berharap dapat melegitimasi ekspansi kebijakan pro perdagangan bebas. Sehingga pusaran harta akan beroperasi menurut kehendak pasar yang tentu amat mengabaikan keadilan sosial.
Dalam upaya meliberalisasi ekonomi, tidak akan pernah ada yang diuntungkan melainkan para makhluk bergelar oligarki di berbagai negara. Berharap nasib wong cilik menjadi baik disebabkan oleh jalinan kerjasama orang-orang berdasi di sistem sekularisme sama halnya dengan mengharapkan siput berlari kencang.
Mudah bagi manusia menyusun bahasa kesepakatan seintelektual mungkin untuk mengelabui maksud lain yang tersembunyi dari keabstrakan kata yang tersusun politis. Namun kita tentu bisa dengan jujur menerima fakta bahwa sepanjang perjalanan demokrasi hingga hari ini, sekelumit persoalan negeri justru adalah buntut dari penerapan sistem yang berasal dari standar baik buruk manusia.
Manusia, alam semesta dan kehidupan berasal dari penciptaan. Berjalannya ketiga aspek ini merupakan buah dari eksistensi Pencipta. Kita semua dan perjalanan hidup kita adalah produk dari Tuhan Yang Esa.
Keharmonian dari kebermanfaatan suatu produk hanya dapat diketahui oleh pencipta produk tersebut. Jika penerapan sistem kehidupan menggunakan sesuatu yang tidak berasal dari pencipta, output-nya pasti berujung pada kerusakan.
Allah SWT telah menurunkan Islam yang syamilan wa kamilan (sempurna dan paripurna). Islam memiliki kepengaturan yang sempurna dalam menata perjalanan kehidupan manusia baik skala individu maupun masyarakat. Maka memandang Islam hanya sebatas agama ritual belaka adalah bukti dari tidak mendalamnya pengkajian kepada Islam itu sendiri. Islam memiliki konsep politik yang berprospek pada pe-riayah-an umat dan menyebar dakwah Islam, bukan pada pada faktor kepentingan apalagi tumpuan materialisme.
Liberalisasi ekonomi tidak akan mungkin teraplikasikan jika sistem Islam diterapkan secara sempurna sebab Islam memiliki konsep kepemilikan yang telah terporsi masing-masing untuk ranah umum, negara maupun individu.
Kebijakan-kebijakan Islam menjadikan sulit bagi negara asing menginvansi wilayah yang menjadi area kekuasaan daulah Islam sebab banyak indikator yang prasyaratkan oleh syariat dalam menjalin kesepakatan dengan negara lain.
Selain itu konsep ekonomi Islam meniscayakan sumber daya alam dan sumber-sumber harta lainnya tersalurkan secara merata atau dengan kata lain tidak berporos hanya pada segelintir orang kaya saja.
Namun dalam penerapan sistem hari ini, oligarki melalui tangan para penguasa negeri sibuk membahas solusi terlepas dari berbagai krisis global dalam event-event berkelas beranggaran melimpah.
Padahal krisis pangan, kemelut lingkungan dan kemiskinan kronis yang membanjiri laman media global hari ini adalah justru hasil praktik dari tangan-tangan mereka sendiri.
Memilih berdiam diri pada kapitalisme menandakan kita ridha pada kezaliman mengakari setiap lini kehidupan. Fakta-fakta aniaya di luar sana telah cukup memekakkan mata batin kita bahwa dunia sudah cukup haus pada perubahan tatanan sistem. Dan hanya dengan sistem yang diridhai-Nya yang akan membawa kita pada kehidupan yang rahmatan lil alaamin. []
Oleh: Musdalifah Rahman, ST.
Aktivis Muslimah
0 Comments