Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Liberalisasi Barat Makin Deras, Negara Seharusnya Jadi Tameng Umat

TintaSiyasi.com -- Aturan mengenai penyimpangan harus ditindak tegas. Terlebih pada penyimpangan orientasi seksual. Pemberian sanksi kepada pelaku penyimpangan seksual oleh negara memang harus dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh seperti Parlemen Rusia. Dilansir dari Liputan6.com (25/11/2022), Parlemen Rusia menyetujui RUU yang memperluas larangan propaganda LGBT dan membatasi tampilan LGBT. Rezim Vladimir Putin telah resmi melarang propaganda LGBT di Rusia dengan memberikan hukuman denda maksimal mencapai sekitar Rp 25 juta bagi pribadi hingga Rp 258 juta bagi perusahaan.

Tindakan Rusia yang tegas berkata tidak pada LGBT harus dijadikan sebagai perhatian dan peringatan bagi negara-negara lain yang memiliki orientasi agama lebih dibanding Rusia, seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Rusia merupakan negara yang menganut paham komunis yang tentunya sebagian besar penduduknya adalah agnostik atau atheis yang berarti tidak menjadikan agama tertentu sebagai pegangan hidup. Namun, keputusan rusia memberikan sanksi agar perilaku LGBT tidak menjamur di negaranya merupakan bukti bahwa Rusia tegas melarang tindakan yang melawan fitrah manusia. Hal ini sejatinya karena sedari dulu, awal penciptaan manusia, hanya ada dua gender yakni laki-laki dan perempuan. 

Keputusan pemerintah Rusia bukan tanpa alasan. Mereka memastikan bahwa generasi mereka aman dari penyelewengan. Walaupun orientasi pelarangan bukan berdasarkan konsep beragama, namun Rusia mendasarkan pelarangan tersebut pada fakta yang ada. Seperti rusaknya generasi, hingga penyakit menular seksual yang mengiringi tindakan LGBT. Jika kita bandingkan dengan keadaan yang saat ini sedang ramai. Masyarakat berbondong-bondong meneriakan kebebasan akan orientasi seksual berdasar pada Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka menginginkan kehidupan yang liberal, bebas dari aturan. Parahnya, mereka turut menganggap bahwa menolak promosi LGBT merupakan tindakan yang tidak open minded. 

Hal ini seperti yang dilakukan oleh salah satu influencer muda asal Indonesia yang berdomisili di Jerman, Gita Savitri. Dirinya ramai diperbincangkan karena dianggap pro terhadap LGBT dan mengecam Qatar pada Piala Dunia 2022. Pernyataannya yang menjelaskan bahwa Qatar sejatinya homophobia terhadap LGBT sangat dibanjiri komentar. Pasalnya jika kita lihat latar belakangnya sang influencer, dia adalah seorang muslim (Viva.co.id, 25/11/2022).

Sungguh ironi di saat kaum muslim turut pasang badan terhadap kaum penyeleweng. Padahal dalam agama Islam yang mereka anut, Allah jelas mengharamkan tindakan yang demikian. Tindakan penyelewengan semacam ini sangat bertentangan dengan fitrah penciptaan. Apalagi jika dilihat dalam sejarah, kaum Nabi Luth telah mencontohkan betapa besarnya murka Allah terhadap kaum penyuka sesama jenis. 

Dalam Islam, penyuka sesama jenis harus dihukum mati. Hal ini karena Islam menganggap bahwa kesalahan dalam orientasi seksual merupakan suatu penyakit menular. Jika satu orang terjangkit, maka tidak menutup kemungkinan orang-orang di sekelilingnya akan melakukan penyelewengan yang sama. Hal ini karena si pelaku memberi pengaruh bibit-bibit keharaman itu pada lingkungannya. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan generasi ataupun lingkungan, maka hukuman mati yang patut diberikan pada si pelaku. 
 
Tindakan Rusia ataupun Qatar yang tegas menolak paham LGBT sangat perlu diparesiasi. Walaupun jika kita bandingkan hukum yang ada di Rusia masih jauh jika disandingkan dengan hukum Islam yang Allah tentukan. Namun, setidaknya sikap Rusia yang tegas dalam melawan LGBT perlu ditiru oleh negara lain. Di Indonesia sendiri, pelaku LGBT tidak dapat dikenai sanksi hukum. Menurut Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan pasal pidana bagi L687 di Indonesia tengah digodok dalam RUU KUHP. Namun, karena ada banyak perlawanan menyebabkan RUU itu ditunda untuk disahkan. Sangat kontras jika kita bandingkan dengan RUU lain yang walaupun menerima kecaman tetapi tetap saja disahkan, UU Omnibuslaw misalnya. 
 
Pemerintah adalah tameng bagi rakyatnya. Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab dalam meriayah umat. Umat akan merasa aman dilindungi oleh aturan pemerintah yang tegas dalam menghadapi kerusakan. Dalam Islam, Allah telah sangat rinci melarang tindakan yang bertentangan dengan syariat. Bukan saja pelaku, tapi juga pendukung. Jika pemerintah saja abai dan tidak tegas, maka jelas kemakah arah dukungan itu mengalir. Jelas akan ada balasan dari setiap yang ditanam. Jangan sampai bentuk kebebasan yang berlandaskan pada Hak Asasi Manusia (HAM) ini mengundang murka Allah. 

Islam adalah agama sempurna. Tidak ada keraguan di dalamnya. Tidak ada aturan yang salah atau perlu diperbaiki oleh manusia. Bukannya tidak ada kebebasan dalam Islam. Namun kebebasan dalam Islam berbatas pada hukum-hukum syara’ yang harus dipatuhi. Sejatinya, kebebasan tanpa rambu-rambu hanya berakhir pada kerusakan yang hakiki. Allah Swt. berfirman, 

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). 
Jelas bahwa penganut agama selain Islam, sebaik apapun amalannya maka hanya akan berakhir dengan kesia-siaan dan ia termasuk orang-orang yang merugi di akhirat kelak. Allah Swt. berfirman,

 “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Ali Imran: 85).

Sudah keharusan bagi Muslim untuk berbangga terhadap ajaran agamanya, menjunjung tinggi, mendakwahkan, bukan berdiam diri apalagi takut, benci, ataupun khawatir saat ajaran agamanya sendiri disuarakan hingga diamalkan oleh umat (Islamophobia). Wallahu ‘alam bishowab.

Oleh: Hima Dewi S.Si., M.Si
Aktivis Muslimah



Baca Juga

Post a Comment

0 Comments