TintaSiyasi.com -- Serentetan bencana alam mendera negeri ini. Bahkan gempa Cianjur belum berakhir. Disusul batuknya Semeru, banjir di Pati dan Garut. Sungguh menyedihkan menjelang akhir tahun 2022 ini. Berita awal bulan Desember 2022 dikejutkan dengan penangkapan Densus 88 di daerah Sukoharjo Jawa Tengah. Penangkapan yang terjadi disertai barang bukti yaitu buku iqra dan buku-buku untuk mempelajari agama. Saksi warga sekitar bahkan mengganggap buku-buku tersebut tidak berbahaya. Pelaku pun dinilai warga orang yang baik. Publik mulai mempertanyakan ada apa dengan buku iqro.
Masa kecil anak-anak Muslim biasanya akan dibiasakan untuk mempelajari baca tulis hijaiyah dan Al Quran di masjid sekitar mereka. Kegiatan TPA sekarang dimudahkan dengan buku-buku iqro yang beraneka ragam sesuai metode masing-masing. Maka buku iqro menjadikan barang bukti ini sesuatu yang membingungkan bukan? Belum lagi penangkapan Densus yang cenderung heboh disorot berbagai media. Dan tentu saja hal ini pun kembali memancing komentar negatif. Seolah terorisme dan radikalisme adalah bahaya terbesar bangsa ternyata proyek Densus berlanjut.
Dengan alasan Jaringan teroris dan paham radikal bisa saja masuk hingga ke lapisan masyarakat. Sehingga dianggap sangat penting untuk memberikan sosialisasi kepada warga. Profesi yang ditargetkan untuk sosialisasi adalah masyarakat nelayan Ternate. Tanggal 7 Desember 2022 publik kembali dikejutkan dengan adanya ledakan bom di polsek Astanaanyar Bandung. Bahkan berita liputan 6 menyebutkan adanya potongan tubuh usai ledakan tersebut. Tentu saja berita semacam ini langsung mengingatkan kita pada berita sebelumnya.
Sebutlah berita seorang bergamis dan cadar membawa pistol ke istana negara. Ada juga penubruk kantor polisi. Hingga hari ini berita terorisme radikal selalu menuai pro kontra. Tidak ada kejelasan dan klarifikasi memadai untuk penyelesaian kasus. Apalagi pelaku kasus-kasus terorisme selalu diarahkan pada agama Islam. Baju koko, celana cingkrang, jenggot, gamis, cadar, buku agama dan iqro. Wajar bukan jika umat Islam protes dan marah. Luar biasanya lagi kejadian semacam ini berulang kali terjadi dan bertepatan dengan akhir tahun. Wajar bukan jika rakyat menganggap ini adalah proyek akhir tahun.
Memalukan dan ironi yang terjadi dalam sistem rusak kapitalisme ini. Rakyat disuguhi skenario berseri - seri yang endingnya tidak mencerdaskan rakyat. Skandal biasa diciptakan dengan membuat seolah-olah ada kasus genting dan penting. Sebagaimana kejadian-kejadian terorisme. Herannya mengapa lakon semacam ini terus berulang?
Terorisme radikalisme yang berkembang bukanlah definisi obyektif. Barat sudah melabeli kedua sebutan itu hanya untuk orang-orang yang tidak mendukung kapitalisme liberal, para pengemban kebenaran Islam Ideologis dan pejuang dakwah Islam yang tidak tergoyahkan dengan materi. Meskipun terkadang digeneralisir membabat seluruh kaum muslimin juga.
Maka masihkah kita diam dan hanya sibuk dengan urusan sendiri ketika Islam semakin lama semakin dilecehkan dan dituduh membabi buta? Bukankah sangat jelas dalam sistem kapitalisme sekuler Islam selalu menjadi kambing hitam dan dicari kesalahannya. Sudah saatnya kaum Muslimin tidak diam lagi dan berjuang bersama.
Oleh: Retno Asri Titisari
Pemerhati Generasi dan Sosial Politik
0 Comments