Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Flyover Sitinjau Lauik oleh Siapa dan untuk Siapa?


TintaSiyasi.com -- Sitinjau Lauik adalah kawasan di Sumatera Barat yang menghubungkan kota Padang dan Solok. Jalan ini cukup dikenal dengan banyaknya tikungan tajam dan curam sehingga sering terjadi kecelakaan. Selain itu longsor pun sering terjadi, terlebih lagi di musim hujan. Derasnya aliran air, juga menjadi salah satu penyebab kondisi tanah yang mudah longsor. Sehingga kondisi ini sangat membahayakan pengguna jalan.  

Atas dasar inilah Pemprov Sumbar mengajukan proposal pembangunan flyover di Sitinjau Lauik ke pemerintah pusat, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dukungan pun disampaikan oleh kementerian PUPR. Bahkan menteri PUPR Basuki Hadimuljono didampingi Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi dan Anggota Komisi V DPR RI Athari Gauthi Ardi sudah melakukan tinjauan langsung. Ia juga menyatakan bahwa akan dibangun flyover sitinjau lauik dengan prioritas panorama 1, sedangkan panorama 2 ditangani parsial dengan perbaikan geometri jalan (epidp. Pu.go.id, 2/11/2022).

Harapan masyarakat untuk mendapat keamanan terus meningkat. Termasuk dalam menggunakan fasilitas umum sebagai sarana yang mempermudah aktivitas. Namun bagaimana jika skema pembangunan fasilitas umum harus melibatkan Badan Usaha atau swasta? Akankah tak ada masalah di masa mendatang?


Pemerintah Lepas Tangan, Swasta Memanfaatkan

Dengan alasan keuangan negara yang minim, maka pemerintah menyarankan opsi lain. Kerjasama dengan pihak swasta menjadi pilihan. Untuk mewujudkan keinginan masyarakat Sumbar dan orang berkepentingan.

Sebagaimana yang dikutip dalam laman Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR, dari pak Basuki, bahwa skema pembangunan sitinjau Lauik dilakukan melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha ( KPBU). Harapannya konstruksi ini mulai terealisasi pada 2023 mendatang termasuk mengurus izin hutan lindung. Kebenaran kerjasama ini juga diperkuat dengan pernyataan Kepala Dinas Bina Marga Cipta Karya dan Tata Ruang (BMCKTR) Sumbar, Era Sukma Munaf. Beliau menyatakan bahwa untuk rencana Flyover Sitinjau Lauik pada tahap pertama untuk kawasan Panorama I, perkiraan dananya Rp 1,6 triliun. "InsyaAllah langsung dilaksanakan dengan sistem KPBU dengan Hutama Karya (HK)," pungkas Era (Kompas, 4/11/2022).

Kerjasama ini juga mendapat dukungan dari wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif. Sudah menjadi hal yang biasa jika setiap jalinan kerjasama, maka akan ada kesepakatan tertentu. Begitu juga dengan pembangunan flyover Sitinjau Lauik melalui kerjasama pemerintah dan badan usaha dengan kementerian PUPR untuk mengadakan sarana layanan publik. Pasalnya kerjasama ini diikat dengan perjanjian. Bentuk perjanjian tersebut tergantung kontrak dan pembagian resiko.

Di Indonesia, PPP dikenal sebagai Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), yakni kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur bertujuan untuk kepentingan umum. Ini mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD. Sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak (www.djkn.kemenkeu.go.id).

Adapun tujuan KPBU, di antaranya: Pertama, mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam penyediaan infrastruktur melalui pengerahan dana swasta; kedua, mewujudkan penyediaan infrastruktur yang berkualitas, efektif, efisien, tepat sasaran, dan tepat waktu; ketiga, menciptakan iklim investasi yang mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat; keempat, mendorong digunakannya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan kemampuan membayar pengguna; kelima, memberikan kepastian pengembalian investasi Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur melalui mekanisme pembayaran secara berkala oleh pemerintah kepada Badan Usaha (kpbu.kemenkeu.go.id). Sehingga dapat dilihat, bahwa pembangunan flyover ini tidak terlepas kepentingan. Usaha dan investasi menjadi bagian dari tujuan kerjasama. Bahkan, akan ada kemungkinan akan dikenakan tarif bagi pengguna flyover ini.


Pembangunan untuk Keselamatan Mendatangkan Ancaman

PPP atau KPBU bukanlah barang baru. Skema ini naik daun ketika banyak negara giat membangun infrastruktur elit, tapi keuangan negara melilit. Di Indonesia, skema ini gencar dipromosikan sejalan dengan agenda pembangunan infrastruktur yang masif. Kocek Pemerintah Indonesia yang tak cukup untuk mendanai proyek (baik di pusat ataupun daerah), mengharuskan mereka beralih mencari pendanaan di tempat lain, seperti menggaet swasta dan melakukan mitra dengan badan usaha. Hal ini dianggap sebagai solusi yang tepat dan cepat.

Sudah sering demi menggencarkan pembangunan, segala cara dihalalkan. Padahal tak semua infrastruktur tersebut dibutuhkan atau dianggap penting. Seharusnya ada skala prioritas yang benar untuk dijadikan program. Sehingga tidak ada kebocoran dana untuk pembangunan unfaedah, sedangkan fasilitas umum yang penting dan darurat justru terabaikan karena dianggap tidak menghasilkan.

Akan terdapat ancaman nyata saat pemerintah memutuskan untuk bermitra dengan swasta dalam mengurus rakyatnya. Karena seyogyanya bantuan itu untuk kepentingan mereka juga. Seperti penguasaan sumber daya alam, dan investasi. Hal ini juga jadi bukti nyata ketidakmampuan pemerintah mengelola aset strategis negara untuk menyejahterakan rakyat.

Bermitra dengan swasta pun pemerintah harusnya punya perhitungan. Sebab, swasta bergantung pada daya tarik dan iklim investasi, apakah menguntungkan atau tidak, termasuk menghitung risikonya. Swasta tentu tak akan mau bermitra dengan pemerintah jika proyek yang digarap tak memberikan keuntungan atau berisiko rugi. Apalagi kondisi perekonomian yang dibayang-bayangi ketidakpastian dan ancaman resesi adalah horor tersendiri bagi investor.


Menilik Potensi Sitinjau Lauik

Jika akan ada resesi di 2023, justru Sumbar akan sedang membangun proyek sitinjau Lauik. Atas pertimbangan apa pihak swasta memberi dananya? Maka ini menjadi pertanyaan besar.

Sitinjau Lauik yang merupakan jalan nasional jelas merupakan akses strategis. Jalan ini tidak hanya sebagai infrastruktur umum yang digunakan masyarakat, tapi juga biasa digunakan untuk mendistribusikan barang yang dilakukan oleh perusahaan. Flyover ini dibangun untuk akses bagi para pengusaha batu bara, sawit, cpo, dan lain-lain mengangkut hasil produksinya. Maka tak jarang jika kita mendapati antrian kendaraan besar melintas di sana, bahkan tak jarang tergelincir. Maka dengan adanya flyover ini akan sangat menguntungkan bahkan memangkas biaya.

Di sisi lain sumber air yang begitu melimpah menjadi aset nyata. Yang mana air berstatus kepemilikan umum yang seharusnya dimanfaatkan bersama. Tapi tak menutup kemungkinan jika ada swastaisasi atau privatisasi maka air disana pun akan menjadi bagian penguasaannya.

Kekayaan alam pun begitu melimpah di daerah tersebut. Terlebih statusnya sebagai hutan lindung yang pasti memiliki sumber daya. Ini semua adalah kepemilikan umum yang juga harus dikelola negara untuk kepentingan rakyatnya. Namun secara jelas saat ini sedang diajukan izin hutan lindung. Terlalu banyak yang tergadai untuk proyek ini saja, yang seharusnya bisa memberi kesejahteraan masyarakatnya.

Walhasil, rakyatlah yang akan menjadi tumbal dari apa yang disebut partnership tersebut. Rakyat seperti anak ayam yang kehilangan induk. Tak ada yang mengurusi, sementara mereka harus berjibaku dengan kondisi ekonomi yang serba sulit. Sedangkan mereka pemilik modal, mudah saja mendikte pemerintah untuk melayani kepentingan bisnis mereka.


Wajah Kapitalisme: Tidak Ada Bantuan, Tanpa Keuntungan

Membangun bantuan swasta melalui investasi bukanlah solusi yang tepat dan tidak akan mampu memulihkan ekonomi suatu daerah. Terlebih dalam kapitalisme, investasi bukan sekadar bicara keuntungan bisnis. Lebih jauh, investasi telah menjelma menjadi alat penjajahan gaya baru (neoimperialisme).

Penjajahan lama melakukan pemaksaan untuk mengambil kekayaan di tanah tercinta. Saat ini juga mereka mengambil sumber daya alam dengan ikatan perjanjian. Sama saja keduanya adalah bentuk penjajahan dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Menggerus kekayaan, bahkan menyerang perlahan dengan merusak para agen perubahan sebagai harapan untuk membebaskan dari ikatan penjajahan.

Mereka sudah cukup bangga menyandang status warga negara kaya. Mereka juga bangga hidup dengan fasilitas ala negara Barat sana. Tapi mereka tidak sadar masa depan teramat suram, jika membiarkan oligarki bertindak sesuka hati. Atas nama di bolehkan aturan mereka menancapkan kekuasaan.


Keberkahan Pembangunan Diraih dengan Islam

Sistem Islam memandang pembangunan infrastruktur sebagai bentuk pe-riayah-an terhadap rakyat. Apalagi itu terkait fasilitas umum yang mempengaruhi aktifitas dan membahayakan keselamatan. Jadi infrastruktur berfungsi sebagaimana mestinya.

Negara harus mencegah adanya dharar sebagaimana sabda Nabi SAW, “Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada kemudharatkan (membahayakan) –(baik diri sendiri maupun orang lain) (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daruquthni).

Dengan demikian seorang khalifah akan mendahulukan pembangunan yang penting, mendesak, dan darurat, seperti jalan dan jembatan. Sedangkan pembangunan lain yang hanya berfungsi sebagai penunjang akan ditunda terlebih dahulu. Keselamatan yang utama, karena nyawa begitu berharga.

Sistem Islam juga tidak memberi celah masuknya penjajahan dalam bentuk apapun. Karena sudah ada aturan terkait sistem kepemilikan. Tidak semua hal bisa melibatkan swasta apalagi menyerahkan kepemilikan atau pengelolaannya. Perjanjian bukan untuk berbagi keuntungan, tapi untuk pencegahan penguasaan pihak lain. Dengan demikian rakyat tak terjajah di negerinya sendiri.

Islam juga memiliki solusi yang khas dalam membiayai pembangunan infrastruktur, yakni memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti minyak, gas dan tambang, dan mengambil pajak dari umat/rakyat yang boleh dilakukan ketika Baitul Mal tidak ada kas yang bisa digunakan. Itu pun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital, dan hanya diambil dari kaum Muslim, laki-laki, dan mampu.

Seorang pemimpin haruslah serius mengurus rakyatnya. Menganggap jabatan bukan hanya amanah rakyat tapi amanah Allah SWT. "Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari).

Membangun keimanan dan kesadaran berpolitik Islam sangat penting karena akan mengantarkan pada keberkahan. Karena sejatinya Islam akan membawa rahmat bagi seluruh alam. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Ai Qurotul Ain
Pemerhati Kebijakan
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments